Saya tak akan pernah siap untuk melarungkan pertanyaan ini dari hulu ke hilir Watugede, membasuhnya dengan tirta wangsuhpada lalu menghaturkannya pada ibunda Ratu Ken Dedes. Mengapa Tumapel turut moksa bersamanya? Mengapa di jantung Kota Malang saat ini, saya tak berdetak bersamanya?
Lebih dari satu dekade pertanyaan itu menghantui―menguasai. Padahal seorang pengelana, betapa pun rumitnya labirin Daedalus, gelapnya tambang berlian Raja Sulaiman, lingkar amuk Poseidon mencipta gugus alam Cyclades, terasingnya Odysseus di lautan terdampar berkali-kali tak menemukan jalan pulang, seorang pengelana pastilah akan menemukan apa yang ia cari. Begitu janji mitos, dikukuhkan kitab suci. Tapi kota ini, Malang sekali.
Hampa makna, hampa identitas. Malang yang saya kenal, aduh, kalut rasanya bila menyadari ini. Bisa jadi sudah berada di titik nihilisme ekstrem Friedrich Nietzsche (1968), ketiadaan―kehampaan―tanpa makna (hal. 35). Padahal, saya tak segan bila harus segila ahli zoologi Prancis William Scoresby dan Thomas Beale untuk mencari makna itu atau mengisi ketiadaan itu. Tak kurang saya selami bahasa walikan Malang, seperti obsesi William Jones atas bahasa timur. Atau jadi tukang pel di kapal Luffy, One Piece, membantu Robin memecahkan teka-teki kuno. Bila membantu Robin terlalu delulu, baiklah kalau begitu Jean-François Champollion saja.
Ya, kurang patriotik apa semua ini? Mengais makna di jurang kehampaan. Belum berangkat, saya sudah seheboh Don Quixote. Ditemani sahabat saya yang tentu saja tak asing dengan kegilaan ini, Firda Putri (wallahi, ia tak berkarakter Sancho Panza). Seheboh itu, padahal cuma ke Alun-alun Merdeka Malang. Titania, dewi cinta buta gubahan Shakespeare, tak perlu menyewa seluruh peri hutan untuk menertawakan saya. Oalah, cuma Alun-alun Merdeka, orang satu ini sudah sok akan menemukan makna Kota Malang dalam kehampaan segala!
Kami berdua tawaf area Merdeka-plein van Malang: Alun-alun Merdeka, Titik Nol, Societeit Concordia dan sekitarnya; diimami pemandu tur Jelajah Malang, Dini Rachmawati. Jamaah ini berjalan kaki, karena begitulah pelancong ideal ala Henry David Thoreau; jangan remehkan pengetahuan para pejalan kaki. Buktinya, pelancong ideal ala Leo Tolstoy juga dua pejalan kaki renta, yang tak punya apa-apa selain sepasang kaki menuju Yerusalem.
Walaupun, rute perjalanan kami pantas diremehkan, alun-alun kota, mau cari apa nona? Kami memang tak membidik pemandangan baru. Marcel Proust selalu enggan menyasar itu dalam tujuan perjalanannya; kami mencari pandangan—perspektif—baru.
Chairil, Ampunilah Kami
Juni 2024, mestinya ini sudah menjadi album lama. Karena, saya tak berhasil menumbuhkan mawar dalam ketiadaan, gagal memaknai Malang. King Lear, raja tua narsis bikinan Shakespeare, mencemooh saya lima bulan lamanya; perempuan satu ini memang susah dibilangi, “Nothing can come of nothing, speak again!”
Lagi pula saya sudah bersaksi, saya kalah. Namun, tampaknya alam tidak akan membiarkan saya berpihak pada King Lear.
Destinasi satu ini justru dipicu oleh kegelisahan. Chairil memunggungi gereja neo-gotik, Gereja Paroki Hati Kudus Yesus. Kegagahan monumennya turut melanggengkan cagar budaya sebagaimana tugas Dewa Kala. Di sinilah titik temu kami. Sayangnya pantat monumen trem mangkrak tak elok dengan sengaja tepat di muka Pelopor Penyair Angkatan 45, Si Binatang Jalang itu.
Trem bernuansa eksentrik yang nilainya sudah alpa terdistorsi itu bukan satu-satunya yang menodai monumen Chairil Anwar dan Gereja Paroki Hati Kudus Yesus. Gerbong tanggung lainnya mangkrak di depan ruko-ruko yang dulunya dipakai sebagai pusat administrasi Pemerintah Belanda. Sekarang besi-besi aus gerbong ini berhiaskan peta-peta ludah basah dan kering, menguarkan bau pesing, dan bertebaran puntung rokok.
Kalaupun Roald Dahl mau serius dengan kajian ilmiahnya dalam William and Mary, menghidupkan kembali jaringan otak Nietzsche yang sudah lama inna lillahi, sang nihilis tidak akan bisa membantu memaknai benda yang memang dibikin asal tak bermakna. Lalu tanpa susah payah ia bakal menyimpulkan, “Dua benda itu memang tidak berguna.”
“Trem tidak seperti itu wujudnya,” begitu kata imam kami, Dini Rachmawati. Demi alis Frida Kahlo, saya setuju padanya.
Bukan, maksudnya trem tidak seperti itu karena ukuran monumen diperkecil, melainkan kendaraan ini punya tiga muka. Trem untuk mengangkut manusia, trem khusus untuk mengangkut hasil perkebunan, dan gerbong kereta api yang dibagi menjadi tiga kelas berbeda. Ada juga istilah lori, sedangkan trem memiliki istilah tersendiri. Intinya, tiga jenis trem dan gerbong tersebut, sama sekali, baik secara simbolik maupun metaforik, tidak seperti dua benda tadi.
Intinya, kalau berada di posisi tertentu, monumen Chairil sepenuhnya dirintangi oleh eksistensi trem mini tersebut. Idealnya, memang orang perlu geser posisi sedikit untuk menghayati penampakan sang penyair. Ya, memang harus begitu, karena tidak mungkin monumen Chairil akan tampak menyapa, “Hai pelancong, di sinilah aku berada.”
Kecuali, kalau monumen Chairil bisa cilukba.
Oud Malang, de Societeit Concordia
Pusat perbelanjaan modern pertama di Kota Malang tahun 1947, Mal Sarinah, justru saat ini menjadi tempat yang tidak sibuk-sibuk amat. Kami melihat seonggok batu prasasti yang di sana dibubuhkan kisah momen sejarah. Lebih tepatnya cuplikan sejarah yang terlalu pendek berjudul “Sejarah Situs Sarinah” sejak 1820 (rumah dinas bupati pertama Malang, Raden Toemenggoeng Notodiningrat) hingga terbentuknya Societeit Concordia. Pada 1947 berfungsi sebagai lokasi rapat akbar Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan di tahun yang sama menjadi salah satu objek strategi gerilya, Malang Bumi Hangus.
Cita rasa pembabakan ini, penyederhanaan ini, membuat kehidupan Mal Sarinah berpijak pada angka-angka, seolah ia tak benar-benar hidup. Sebagaimana bila kita bercerita tentang seseorang, dapatkah kita menghayati orang tersebut hanya dengan mengatakan; tahun ini ia lahir, tahun selanjutnya ia bersekolah, lalu tahun ini ia mati. Sangat disayangkan.
Untungnya, makna muncul terjalin tanpa disangka apalagi aba-aba. Ceritanya begini. Pak Akbar, pemilik dan pengasuh Malang Walk Heritage serta DeKlik Kayutangan, pada suatu hari membawa koleksi novelnya Gadis Jawa Bermata Hijau karya Uning Musthofiyah. Dengan tatapan berapi-api, tapi sumpah beliau tidak bermata Helios apalagi Hades, mengatakan, “Mbak, sampeyan harus membaca ini. Harus!”
Meskipun banyak salah ketik, tata letak yang berantakan, dan dokumentasi bersejarah asli yang agak asal tempel, novel ini, aduh betapa magisnya, membantu saya mengarungi Societeit Concordia, Alun-alun Merdeka, SMA Tugu, dan Lapas Perempuan yang tak terselami.
Fungsi sosial dan rekreasi atau kongko Societeit Concordia apabila dibayangkan memang sangat asik; perpustakaan, rumah bola atau biliar―analisis Dwi Cahyono (Ramadhan, 2023), dan area tempat dansa, menjadi muara hore-hore.
Sebagai tambahan, tempat ini juga menjadi peluap hasrat dan pelipur lara. Misalnya, dalam narasi Uning Musthofiyah, nyonya-nyonya yang tidak bahagia dengan perkawinan mereka akan mabuk di Societeit Concordia lalu pulang mengomeli dan memukuli babu-babu rumah tangga mereka.
Apabila kita sepakat bahwa Societeit Concordia memiliki fungsi sosial, ini juga berarti, bangunan ini tidak hanya menaungi orang bercakap dan bertegur sapa saja. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya Belanda, kalau suntuk dan ngamuk di rumah loji, biasanya menuju Societeit Concordia untuk meloloskan tekanan mereka. Terutama di masa-masa awal pergerakan pribumi terdengar, mereka merasa terancam, dan hiburan satu-satunya—ke mana lagi kalau bukan—ke Societeit Concordia?
(Bersambung)
ReferensI:
Nietzsche, F. (1968). The Will to Power (Trans. Walter Kaufmann & R. J. Hollingdale.). New York: Random House.
Ramadhan, F. I. (2023, 22 Oktober). Societeit Concordia, Tempat Gaul Kaum Elite Eropa di Malang. Tirto.id. https://tirto.id/societeit-concordia-tempat-gaul-kaum-elite-eropa-di-malang-deZF.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 komentar
Sangat seru dan menarik. Lebih dari tulisan perjalanan biasa. Cerita yang penuh makna, refleksi, dan selingan jokes bernuansa sastra. 🙂
Hai Mbak Anna baik, makasih udah mampir dan ikut nimbrung di tulisanku ini. Hayuk kita kapan-kapan berburu sesuatu di kota yang malang sekali ini. Hehe.