Sebagai seseorang berdarah Batak sepertinya tak mungkin jika belum pernah menginjak kaki di tanah asal, yakni di Sumatera Utara. Pendapat tersebut bisa dipatahkan oleh pengalaman saya sendiri. Benar, di tahun 2017 tepat umur saya beranjak dua puluh enam tahun pertama kalinya bagi saya dapat merasakan tanah asal saya sendiri, yakni di Balige, sebuah kota di kawasan Toba, Sumatera Utara.
Hasilnya? Saya terpana menikmati alam yang dimiliki tanah darah asal saya tersebut. Ah, terlalu banyak bergaul dengan gedung-gedung pencakar langit memang saya ini hingga lupa akan keindahan asli alam dan adat yang dimiliki kampung sendiri.
Menyusuri Beberapa Kawasan di Sumatera Utara untuk Tiba di Balige, dari Medan hingga Parapat
Mendarat dengan selamat di Bandara Kualanamu kerap membuat saya tersenyum, tentu saja karena bahasa yang sering terdengar adalah bahasa Ibu alias bahasa Batak. Ada sedikit rasa malu di diri ini untuk mengakui bahwa saya tidak bisa berbahasa Batak.
Saya malah lebih bisa berbicara menggunakan bahasa orang luar sana, karena tuntutan pekerjaan di ibu kota. Bandara Kualanamu bukan di Medan, pun sama faktanya dengan bandara Soetta yang bukan berada di Jakarta. Hal itu yang sudah saya ketahui, karena memang tahun 2017 lalu adalah perjalanan kedua saya ke Medan.
Dari Deli Serdang ke kota Medan memang cukup menyita waktu, tapi saat itu saya bisa perkirakan bahwa saya akan tiba di ibu kota Sumatera Utara itu di jam makan siang. Di kepala saya sudah berlarian ide-ide menu makan siang yang akan saya santap. Setibanya di salah satu pool bus trayek Kualanamu-Medan, saya pun turun. Di dalam bus tadi, saya sempat bertanya kepada seorang Inang (Ibu) di mana restoran lokal terdekat dari pool bus ini. Beliau menjawab tentu saja dengan logat Batak yang kental, “Oh, banyaklah lapo di dekat situnya. Tinggal kau pilih. Atau mau bakmi siantar juga ada di sana, banyak.”
Alhasil saya memilih bakmi siantar di salah satu rumah makan yang sederhana, tetapi begitu memasukinya terasa wangi rempah menjalar ke indera penciuman ini. Bakmi siantar yang disajikan juga sangat menggoda terlebih saat disantap siang hari. Setelah santap siang, hari ini saya akan bermalam terlebih dahulu di rumah salah satu saudara. Esok harinya akan saya lanjutkan perjalanan menuju Toba.
Keesokan paginya, saya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Dengan dilengkapi bekal dari sanak saudara, perjalanan berjam-jam ini pasti akan menyenangkan. Dari jendela mobil saya bisa melihat pemandangan tiap kawasan, seperti Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Pematang siantar, hingga tiba di Parapat. Di kawasan Parapat lah, Danau Toba dapat terlihat begitu menawan. Tentu saja, kesempatan seperti ini tidak akan saya buang begitu saja. Saya berencana untuk menginap satu malam di salah satu penginapan di Parapat.
Setelah selesai mengurus penginapan di salah satu hotel dengan akses langsung ke Danau Toba, saya cepat-cepat mencari apa yang menarik di sini dengan bertanya langsung dengan penduduk sekitar. Jawabannya tentu saja menunjuk ke Desa Wisata Tomok. Kemudian, saya pun bergegas ke Pelabuhan Penyeberangan Ajibata untuk bisa menaiki perahu menuju Tomok.
Di atas perahu berkali-kali saya mengambil gambar melalui kamera ponsel menangkap panorama danau vulkanik terbesar di dunia ini. Faktanya bahwa Danau Toba selain danau vulkanik terbesar di dunia, juga masuk ke dalam daftar 15 danau terbesar di dunia dan masuk ke dalam sepuluh besar danau terdalam di dunia. Bagaimana tidak jika kedalaman danau yang masuk ke beberapa kabupaten ini mencapai sekitar 500 meter.
Setibanya di Tomok, tentu saja saya tidak heran berbagai macam lapak buah tangan berada di sini. Desa Wisata Tomok sudah masuk ke dalam tujuan wisata di kawasan Toba. Di sini terdapat Museum Batak, hingga pertunjukkan boneka Sigale-gale menjadi daya tarik untuk para wisatawan. Di sana pun saya juga menyantap siang, tentu saja dengan makanan khas Batak, ada ikan arsik ditambah sambal tuktuk yang dapat menggoyang lidah para penikmatnya.
Perjalanan Kembali ke Tanah Asal, Balige
Keesokan paginya, setelah selesai menyantap lezatnya lampet dan teh manis hangat, saya akan melanjutkan perjalanan ke Balige. Katanya sih sudah tidak jauh lagi dari Parapat. Benar saja, kurang lebih dua jam saya melewati kawasan seperti Porsea dan Humbang Hasundutan, saya sudah tiba di Kota Balige. Sepanjang perjalanan, salah satu hal yang kerap saya dapatkan adalah bangunan makam dengan ukuran lumayan besar selalu ada di samping rumah penduduk.
Tepat di depan pasar tradisional Balige, saya turun dari mobil carteran yang telah mengantar saya ke sini dari Parapat. Musik khas Batak yang dipasang di dalam pasar jelas bisa saya dengar, ya dapat dikatakan menjadi backsound saat saya berjalan ke arah alamat sebuah rumah sederhana. Beberapa kali bertanya ke pejalan kaki di mana alamat tersebut, sepuluh menit kemudian saya telah tiba di depan rumah tanpa pagar. Ada anak kecil yang keluar masuk dari sana.
Butuh belasan jam menggunakan transportasi udara dan darat, melewati berbagai kawasan yang memiliki kekhasannya masing-masing untuk tiba di tempat ini. Tempat yang seharusnya saya katakan sebagai rumah. Sejenak saya pulang ke pangkuan tanah asal di mana orang tua saya dilahirkan dan dibesarkan, di Toba, Balige, Sumatera Utara.
“Horas!” Kata saya seraya langkah pertama memasuki rumah sederhana itu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!
Perempuan berdarah Batak yang lahir di Jakarta, besar di Tangerang, dan kemudian menetap di Jakarta Selatan. Penggila film, kuliner, dan tentu saja traveling!