Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh, penjajahan, perbudakan, dan pamer kekayaan. Indonesia tentu paham betul dengan kondisi ini. Di sekolah-sekolah, sejarah Indonesia diajarkan sebagai penjajahan yang mengejar komoditas yang kini sepele, tetapi dulu jadi rebutan, seperti pala dan cengkih.
Tentu, pelajaran sekolah tidak bisa mencakup semua sejarah di Indonesia. Apalagi, sejarah komoditas yang menyimpan banyak cerita ini bisa berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lain. Kisah tersebut jadi makin seru karena komoditas bukan hanya berpengaruh di tempatnya berasal, melainkan “bertualang” melalui proses pengangkutan ke tempat-tempat lainnya. Untuk itu, sejarah “petualangan” komoditas tersebut perlu dilengkapi dengan catatan-catatan dari masing-masing komoditas dan daerah.
Buku Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981 adalah salah satunya. Buku yang ditulis Imam Syafi’i ini diangkat dari tesisnya di Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Pembahasannya berfokus pada aspek penting dalam pengelolaan komoditas, yakni pengangkutan, khususnya garam Madura. Jadi, bagaimanakah rasa petualangan garam?

Sejarah Madura: Di Antara Tegalan dan Pantai
Sebelum bertualang, hendaknya kita mengenali wilayah keberangkatan. Syafi’i memulai dengan membedah ekologi Madura terlebih dahulu melalui pendekatan ekologi budaya, yakni adaptasi konsep dan asas ekologi pada aspek-aspek spesifik partikular dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia (hal. 13). Hasilnya, Syafi’i melihat industri garam di Madura dibentuk oleh ekologi pesisir.
Garam Madura memang sudah terkenal. Banyak kajian yang membahasnya. Namun, Madura juga dikenal karena pertaniannya, seperti yang dituliskan sejarawan Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris: Madura 1850‒1940 (2002). Sayangnya, Kuntowijoyo meletakkan garam Madura dalam sudut pandang ekologi pertanian atau disebutnya “ekologi tegalan” (hal. 14).
Itu sebabnya, Syafi’i merasa perlu menjelaskan ekologi pesisir sebagai latar garam Madura, dari curah hujan, angin, sampai salinitas (keasinan) air laut (hal. 27) yang seolah-olah menakdirkan garam untuk Madura. Tidak hanya geografi Madura, tetapi juga kependudukan serta pergantian kekuasaan di Madura turut berpengaruh, terutama karena kepemilikan tanah yang bergantung pada pihak yang berkuasa (hal. 43). Aspek penting lainnya adalah komunitas masyarakat yang terlibat dalam industri garam tersebut, atau “masyarakat pegaraman” tersebut, mulai dari interaksi dengan VOC sampai pedagang Arab dan Tionghoa.


Suasana tambak garam di Madura (kemungkinan Sumenep), 1920/KITLV
Garam dan Kekuasaan
Kekuasaan memang memiliki pengaruh utama. Madura bukanlah tempat pertama penghasil garam di Nusantara. Garam merupakan komoditas yang dihasilkan di banyak daerah di pantai utara Jawa. Namun, sejak 1870 industri garam dibatasi oleh pemerintah kolonial hanya dilakukan di Madura (hal. 57). Pegaraman, atau disebut paderen, juga dibagi dua: menjadi milik rakyat dan pemerintah kolonial. Industri garam diatur dalam sistem monopoli pemerintah kolonial yang disebut zoutregie. Rakyat yang ingin memproduksi garam perlu memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah kolonial berupa pepel.
Produksi garam dilakukan secara sederhana dengan membuat plot-kolam pembuatan garam. Produksinya amat bergantung kondisi alam, sehingga terkadang produksinya bisa berlebih atau bahkan berkurang. Monopoli pemerintah kolonial mengatur jumlah produksi ini serta menyimpan stok di gudang. Contohnya pada 1928, produksi garam dibatasi karena jumlahnya sudah berlimpah akibat kemarau panjang pada 1925–1926 (hal. 62). Monopoli ini bahkan bertahan sampai setelah kemerdekaan dan secara resmi tidak diberlakukan lagi pada 1957 (hal. 86).
Kelompok penghasil garam disebut mantong. Oleh Kuntowijoyo, kelompok ini terbagi menjadi pemilik lahan sekaligus petani garam dan pegawai yang mengurus hal lainnya, seperti administrasi (hal. 66–67). Syafi’i menambahkan bahwa ada kelompok lain, yakni pekerja pengangkutan garam (hal. 70). Pengangkutan ini tidak lepas dari sektor pelabuhan dan pergudangan garam.
Tiga pelabuhan utama industri garam di Madura adalah Pelabuhan Kalianget, Pelabuhan Kertasada, dan Pelabuhan Pantai di Muara Sungai Raja (hal. 71). Urusan pengangkutan kadang menggunakan perahu tradisional yang disebut janggolan. Gudang disiapkan untuk menyimpan garam baik di area pegaraman dan gudang di beberapa wilayah distribusi yang dimiliki oleh beberapa cabang niaga Perusahaan Garam (hal. 77). Menelusuri pergudangan ini menunjukkan kita lokasi-lokasi garam “berkelana” dari Tjepper (Vorstenlanden), Selatpandjang dan Tandjoengbalai (pantai timur Sumatra), Emmahaven (pantai barat Sumatra), Koeala Kapoeas (Kalimantan), serta Bintoehan (Bengkulu).

Perjalanan dan Pengangkutan Garam
Setelah melihat produksi garam, menarik untuk menelusuri penyebarannya, terutama melalui proses pengangkutannya. Pengangkutan ini meliputi pengangkutan via darat maupun laut. Lagi-lagi, bukti sejarah menunjukkan bahwa pengangkutan garam via darat bahkan telah ditemukan di Pariaman, bukan hanya di Madura. Ini makin menunjukkan bahwa industri garam Madura amat dibentuk oleh kekuasaan pemerintah kolonial.
Dengan kebijakan monopoli, industri garam Madura berkembang seiring dengan usaha penangkapan dan pengolahan ikan. Monopoli memerlukan pengaturan pengangkatan karena dampaknya pada harga garam. Tidak jarang, monopoli pengangkutan dan penjualan ini dilawan melalui penyelewengan, seperti yang dilakukan empat perempuan pada 1935 (hal. 97).
Di laut, monopoli pemerintah telah menetapkan perusahaan tertentu untuk mengangkut garam, yakni KPM, MSM, dan kemudian OJZ (hal. 99). KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) merupakan perusahaan milik Kerajaan Belanda. Monopoli pengangkutan garam diberikan pada perusahaan ini pada 1894. Perusahaan lain yang mendapatkan hak monopoli tersebut adalah MSM (Madoera Stoomtram Maatschappij), perusahaan swasta.

Monopoli ini kemudian menjadi bumerang karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk kedua perusahaan tersebut. Untuk mengatasinya, dibentuklah dinas pengangkutan garam yang disebut OJZ (Oost-Java Zeevervoer) pada 1912. KPM kerap beraktivitas di Pelabuhan Kalianget, sedangkan OJZ di pelabuhan lainnya. Ironisnya KPM tetap mendominasi, yang salah satunya ditandai dengan jumlah pengangkutan yang dilakukan KPM jauh lebih besar dibanding OJZ pada 1935.
Garam Madura Sepeninggal Belanda
Setelah Belanda terusir dari Indonesia, industri garam Madura turut berubah. Data di masa Jepang sulit ditemukan sehingga yang bisa dilihat adalah setelah kemerdekaan. Sebelumnya telah disinggung bahwa monopoli garam baru dihapuskan pada 1957. Di sektor pengangkutan, monopoli ini mulai dilonggarkan sejak 1908 dengan membuka kesempatan pengangkutan oleh pelayaran swasta.
Pada 1950-an, swasta ini berkembang menjadi kongsi. Sistem kongsi setelah kemerdekaan ini banyak juga yang dilakukan orang Tionghoa. Meski demikian, ada pula kongsi yang dimiliki oleh orang Madura sendiri. Namun, di kongsi Tionghoa pekerjanya juga merupakan orang Madura. Di masa kongsi ini bahkan terjadi “swasembada garam” yakni pada 1952 dengan ekspor garam ke Jepang.
Sayangnya, menurut Syafi’i, kongsi tidak berbeda dengan monopoli karena kuatnya pengaruh perusahaan garam. Setelah monopoli dihapuskan pada 1957, aktor lokal mulai mengambil pengaruh. Ini terutama dilakukan masyarakat menggunakan janggolan. Sistem pengaturan keuntungannya adalah bagi hasil atau telon (hal. 122).
Bukan berarti bahwa masyarakat Madura di masa sebelumnya tidak berperan. Peran mereka ada, tetapi tertutupi dengan dominasi monopoli perusahaan. Industri garam sendiri justru amat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial budaya. Itu sebabnya, ekologi Madura penghasil garam ini oleh Syafi’i disebut ekologi pesisir, yang berbeda dengan ekologi sawah maupun tegalan. Untuk membaca lebih lengkap, buku ini dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).
Judul buku: Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981
Penulis: Imam Syafi’i
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxv + 186 halaman
ISBN: 978-602-496-296-8
Foto sampul oleh Meita Safitri via LIPI
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.