Akhir-akhir ini banyak hal yang membuat saya penat, terlebih lagi ada banyak informasi dari berbagai media tentang isu-isu berat. Oleh karenanya, tepat di hari Jumat sore, saya dan beberapa rekan berangkat dari Medan menuju Sibolga.
Terletak di pantai barat Sumatera dan berada pada kawasan Teluk Tapisan Nauli, Sibolga dijuluki sebagai “Negeri Berbilang Kaum” karena di sini terdapat kurang lebih 15 etnis. Adalah etnis Batak Toba, Pesisir, Mandailing, Minang, Jawa, Nias, Tionghoa, Melayu, India, Simalungun, Karo, Aceh, Angkola, Padang Lawas, dan Bugis (Pemko Sibolga, 2019).
Setibanya di Terminal CV Makmur, kami disambut oleh hujan yang tiba-tiba mengguyur dengan begitu derasnya. Tak apa, pikir saya. Perjalanan dari medan menuju kota Sibolga sendiri memakan waktu hingga 9 jam lamanya. Karena Karena perjalanan malam, saya dan keempat teman tidak banyak berbicara. Kami sibuk menghabiskan waktu masing-masing dengan tidur.
Mie Tek-Tek
Kibasan angin dan udara segar menyambut hangat kedatangan kami di Sibolga. Jalanan yang tidak dipenuhi lampu lalu lintas menjadi tanda bahwa tempat ini masih cukup sepi, belum punya banyak ‘perdebatan dan kekacauan’.
Begitu sampai di Terminal Sibolga, kami beristirahat sejenak. Salah satu dari teman kami, Dinda, menyediakan tempat untuk dihuni selama kami berada di Sibolga. Beruntungnya, jarak tempuh dari terminal ke rumahnya tidak begitu jauh, cukup dengan berjalan kaki saja.
Sesampainya di rumah, kami disuguhi makanan yang katanya adalah makanan khas Sibolga yakni mie tek-tek. Karena cacing di perut sudah mulai berdendang, tanpa pikir panjang saya pun menyantap mie yang belum kami ketahui asal mula nama uniknya tersebut.
Tangga Seratus
Salah satu tempat wisata di Sibolga adalah Tangga Seratus, lokasinya tidak begitu jauh dari rumah Dinda. Cukup dengan berjalan kaki sekitar 10 menit untuk sampai di sana. Alasan tempat ini diberi nama Tangga Seratus ternyata karena jumlah anak tangganya ada ratusan. Semudah itu memang, orang Indonesia memberikan nama pada sebuah tempat.
Kami pun mencoba menghitung jumlah anak tangga tersebut, hasilnya adalah 288 anak tangga. Namun, ada peristiwa yang sangat memalukan sekaligus memilukan ketika kami menaiki Tangga Seratus. Sebuah kain celana dalam wanita tergantung pada ranting pohon liar yang tumbuh.
Tak habis pikir, kedua bola mata kami saling berbicara membayangkan kenapa benda semacam ini berada di tempat umum, yang tak lain adalah kawasan wisata. Dinda pun angkat bicara. Ia bilang, Tangga Seratus kerap dijadikan sebagai tempat pemuda “bermain”. Miris, pikir saya!
Akhirnya, kami tiba di anak tangga terakhir. Dari sini, kami melihat panorama kota Sibolga. Langit sedang biru-birunya, seperti warna laut. Pemandangan yang merusak mata tadi tergantikan dengan yang lebih indah.
Ritual Mencari Ikan
Selain dijuluki “Negeri Berbilang Kaum”, Sibolga juga dikenal sebagai “Kota Ikan”. Hal ini tentu karena Sibolga merupakan daerah pesisir. Diceritakan, pada beberapa puluh tahun silam masyarakat merasa sangat bersyukur atas pemberian laut untuk keberlangsungan hidup mereka. Hasil laut nelayan selalu tumpah ruah.
Mereka meyakini bahwa rezeki datangnya dari Tuhan, akan tetapi mereka menyalurkan rasa syukurnya dengan memberikan persembahan kepada laut. Ritual persembahan ini dilakukan dengan menyembelih empat atau lima ekor kerbau tergantung yang diterima dan disediakan oleh para toke dan tekong kapal masing-masing serta memanggil anak yatim untuk makan bersama di atas kapal. Namun sejak tahun 2000-an, ritual ini tidak dilakukan lagi karena tidak ada penerus yang melestarikan. Para tokoh masyarakat yang bisa memimpin ritual, sudah meninggal dunia.
Kini, julukan “Kota Ikan” pun tak lagi ada gaungnya, kata nelayan ikan tidak sebanyak ketika melakukan ritual persembahan.
Sarayan dan Masjid Agung Sibolga
Kami mengajak salah seorang warga yang sedang menjaga barang dagangannya untuk berbincang. Beliau adalah Bapak Sakirin, berusia 45 tahun, belum memiliki anak dan keadaan mata istrinya tidak mampu lagi melihat.
Saat ditanya penyebabnya, Bapak Sarikin mengatakan bahwa ini sudah takdir, walau pada awalnya ia percaya penyakit tersebut dikarenakan gangguan dari makhluk gaib. Meski begitu, Pak Sakirin akhirnya dapat menerima kondisi istrinya.
“Sudah dilakukan pengobatan medis, namun dokter tidak mampu mengatasinya,” ujar beliau.
Perbincangan kami berlanjut. Dari Pak Sakirin, kami diceritakan tentang sarayan, sebuah kepercayaan tentang adanya gangguan dari makhluk halus. Sarayan bisa juga diartikan gangguan saat seseorang tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri dan sama sekali tidak responsif terhadap rangsangan sekitar. Di beberapa tempat, orang menyebutnya kesurupan.
“Sarayan biasa terjadi saat nelayan melaut, ketika pulang tubuhnya mengalami kejang-kejang. Dipercaya, hal ini terjadi karena ketika melaut, orang tersebut tidak meminta izin terdahulu pada alam,” lanjutnya.
Masyarakat di sini juga percaya, jika seseorang terkena serayan, maka ia tak boleh disuntik oleh dokter. “Bisa meninggal,” ia menyebutkan alasannya.
Walaupun demikian, Pak Sakirin memiliki pendapat yang berbeda. Ia mengatakan semua kembali lagi dengan kepercayaan masing-masing. Ia sendiri tidak percaya akan hal tersebut.
Selesai berbincang, kami menunaikan shalat Ashar di Masjid Agung Sibolga.
Senja di Pantai Sibolga
Perjalanan kami lanjutkan ke pantai di sekitaran Hotel Wisata Indah. Untuk masuk ke area pantai, kami tidak perlu mengeluarkan kocek. Hemat!
Rona merah jambu mulai mewarnai langit, pertanda matahari ingin pamit. Deburan ombak menggema di telinga, seakan ikut menyaksikan senja. Tiupan angin berdansa ria menyambut langit yang mulai berubah warna.
Pelan-pelan matahari mulai turun sesuai irama. Warna langit jadi kebiruan. Menutup hari yang menyenangkan.
Anggi Kurnia tinggal di tanah kelahiran Batak. Saat ini selain sibuk memasak, Anggi menyukai petualangan dan dunia travelling serta menulis.
Mantapp bana