
Jika ditanya salah satu kuliner yang paling melekat dengan Papua, tentu banyak orang menyebut sagu dan olahan turunannya, papeda. Bahan pangan yang banyak tumbuh di Papua tersebut biasa disandingkan dengan ragam olahan menu lainnya, seperti ikan kuah kuning dan sagu bakar.
Namun, kedaulatan pangan Papua bukan hanya tentang sagu. DI banyak daerah rawa hingga pesisir Papua, tersimpan potensi pangan yang bernilai gizi dan ekonomi tinggi, serta diolah secara tradisional dan tidak berlebihan. Pemanfaatan sumber daya alam berbasis hukum adat membantu ketersediaan sumber pangan secara berkelanjutan.
Salah satu daerah yang memiliki potensi kuliner khas rawa dan pesisir adalah Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya. Daerah pemekaran dari Kabupaten Sorong ini memiliki kawasan ekosistem mangrove terbesar di Papua Barat Daya, beberapa di antaranya adalah Kampung Konda dan Wamargege. Mayoritas penduduk subsuku Yaben, Nakna, dan Afsya (bagian dari suku besar Tehit) di kampung ini berprofesi sebagai nelayan.
Dua kampung bertetangga di ujung selatan Distrik Konda ini menjadi bagian dari hutan mangrove di DAS Kaibus, salah satu dari 14 DAS yang menyusun zona Green Belt (sabuk hijau) di Sorong Selatan dengan luas tutupan lebih dari 75.000 hektare. Hutan mangrove di sepanjang aliran Sungai Kaibus tersebut menjadi rumah besar bagi berbagai satwa liar, yang juga dimanfaatkan sebagai sumber pangan lokal, seperti udang banana dan kepiting bakau. Udang banana (Penaeus merguiensis) atau dikenal juga dengan sebutan udang putih atau udang jerbung, menjadi komoditas dominan yang paling banyak ditangkap karena memiliki kualitas ekspor.

Udang banana khas Konda: manis dan renyah
Ketika tim TelusuRI melakukan kunjungan liputan ke Konda, udang banana menjadi sajian lauk sehari-hari kami. Melengkapi bahan makanan di antaranya beras, telur, minyak goreng, dan mi instan yang kami beli dari Teminabuan, ibu kota Sorong Selatan.
Selama kurang lebih 3–4 hari di Konda, juru masak diampu oleh Marcelina, seorang warga yang tinggal di seberang sekretariat Koperasi Fgan Fen Sisi. Koperasi bentukan EcoNusa ini dibangun untuk membantu pendampingan ekonomi masyarakat Konda dan Wamargege, dengan fokus komoditas udang banana dan kaldu udang.
Meski kami datang di luar musim puncak udang (biasanya Maret–Mei atau Oktober–Desember), kami masih bisa menjumpainya di rumah timbang swasta, yang salah satunya dikelola Misdam, pria berdarah Bone. Harganya cukup terjangkau, sekitar Rp60.000 per kilogram. Kami membeli dua kilogram, yang jumlahnya sudah sangat berlimpah.
Proses memasak berlangsung di dapur kecil yang sangat sederhana di pojok koperasi. Tidak ada bahan masak yang mewah, hanya sekadar bumbu dasar lalu udang diolah dengan cara digoreng biasa. Sambil menunggu masakan matang, kami biasanya mengisi waktu dengan memancing, berbincang dengan warga lokal, dan membuat kopi.
Semerbak udang banana matang yang berwarna agak memerah mencokok perhatian hidung sebagai indra penciuman. Hanya dengan sepiring nasi putih, sedikit sayur tumis, dan beberapa lauk udang banana yang renyah dan cenderung manis, sudah lebih dari cukup untuk menjadi santapan berat yang mengenyangkan perut.


Kaldu udang Saipo ala Mama Yulita
Selain diolah menjadi sajian kuliner, udang banana juga dimanfaatkan sebagai bahan baku kaldu udang. Umumnya menggunakan bagian kepala udang banana yang kerap terbuang menjadi limbah di rumah timbang. Sebab, permintaan pabrik pengolahan di Sorong tidak membutuhkan bagian kepala tersebut.
Seorang mama bernama Yulita Sawor menjadi inisiator usaha rumahan tersebut. Idenya disambut baik Koperasi Fgan Fen Sisi yang memberi pendampingan berupa pelatihan dan pemberdayaan ekonomi, sehingga produk kaldu udang bisa dibuat dengan kemasan yang lebih baik. Nama “Saipo” ia pilih sebagai merek usaha yang tercantum dalam label kemasan. “Saipo” dalam bahasa lokal artinya udang.
Dari satu kilogram kepala udang banana segar, Yulita dibantu oleh dua mama lainnya, Dorsea Sawor dan Miriam Serio, mampu memproduksi 500 gram tepung atau kaldu udang. Jika dimasukkan dalam botol kemasan 100 gram, maka terdapat lima botol dengan harga jual Rp25.000 per botol. Bahan baku udang harus segar dan proses pengolahannya dilakukan pada satu hari yang sama. Sebab, Yulita tidak menggunakan pengawet, sehingga Yulita hanya membuat kaldu udang berdasarkan pesanan.

Kepiting bakau Konda: harga kaki lima, rasa bintang lima
Selain udang banana, kepiting bakau juga biasa jadi bahan pangan masyarakat Konda-Wamargege yang mudah ditemui. Kepiting bakau (Scylla serrata) atau mud crab adalah biota yang hidup di area perakaran mangrove yang tumbuh subur dan menjulang di seberang kampung.
Yang mengejutkan, harganya sangat murah. Warga biasa menjual seikat berisi lima kepiting ukuran sedang seharga Rp30.000. Ada juga kepiting bakau yang berukuran lebih besar dan lebih mahal, tetapi biasanya dijual ke pengepul atau pasar. Bagaimanapun, saya merasa harga segitu terlampau murah jika mengingat keterbatasan dan perjuangan nelayan menangkapnya di perairan bakau.
Karena penasaran dengan rasanya, kami pun membeli satu ikat dan menyerahkannya kepada Marcelina untuk dimasak. Tujuannya, sepulang liputan di sekeliling kampung, kepiting bakau tersebut sudah siap dimakan.
Oleh Marcelina dibuat kepiting asam manis. Untuk pelengkap, ia juga menumis sayur sawi yang bukan sekadar lalapan, melainkan juga berfungsi sebagai serat yang memudahkan pencernaan. Lalu sumber karbohidrat tetap memakai nasi.
Satu hal menarik, sayur-sayuran segar yang ada di kampung merupakan dagangan yang dijual oleh seorang pria bernama Nuryanto. Ia merupakan penjual sayur asal Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah, yang sudah merantau sejak lulus SD tahun 1996 bersama orang tuanya ke Moswaren, Sorong Selatan. Dalam seminggu, ia akan jualan ke area Distrik Konda setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu pada pukul 7–8 pagi.


Kepiting bakau berukuran sedang yang dijual per ikat (kiri) dan menu makan siang kepiting bakau asam manis dengan pemandangan alam memanjakan mata/Rifqy Faiza Rahman
Kepiting bakau agak berbeda dengan kepiting laut biasanya. Meskipun dagingnya tidak terlalu banyak, tetapi tetap empuk. Bagian cangkangnya tidak terlalu keras sehingga gampang dibuka. Saya bahkan sangat menikmati saat menyeruput baluran bumbu asam manis yang menyelimuti permukaan kepiting bakau tersebut. Tak disangka, dari bahan bumbu sederhana, rasanya seperti sajian hotel bintang lima.
Barangkali, suasana bisa memengaruhi kelezatan makanan yang disantap. Bayangkan, hanya sepiring nasi, tumis kangkung dengan lauk udang banana goreng dan kepiting bakau asam manis, ditambah riak air Sungai Kaibus dan embusan angin yang teduh, seakan melupakan beratnya perjalanan yang ditempuh dari Teminabuan ke Konda.
Untuk menjangkau Sorong Selatan dan mencoba kuliner pesisirnya, ada pilihan transportasi paling praktis berupa sewa mobil dan sopir rute Sorong–Teminabuan–Konda, dengan harga sekitar 2–1,5 juta rupiah sekali jalan. Opsi lainnya adalah naik pesawat twin otter Susi Air selama 30 menit dari Sorong ke Teminabuan. Namun, pesawat ini hanya beroperasi setiap Selasa (07.00 WIT) dan Jumat (11.30 WIT) dengan harga tiket Rp250.000-an, dan operasionalnya tetap tergantung pada kondisi cuaca. Dari Bandara Teminabuan, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menyewa mobil atau motor dengan medan jalan yang cukup rusak, berlumpur, dan banyak lubang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.