Generasi Z (Gen Z), merujuk Pew Research Center, ialah generasi yang lahir setelah 1997. Sebagian besar dari kami barangkali mulai mendaki setelah 5cm, film yang menceritakan sekelompok sahabat yang bertualang mendaki Gunung Semeru, tayang di layar lebar.

Saya sendiri melakukan pendakian perdana dua tahun setelah peluncuran film itu. Mengapa saya memberitahukan soal kapan pertama kali saya mendaki? Karena saya tak ingin sidang pembaca sekalian menganggap ini ditulis oleh seorang pendaki lawas, bahwa ini dibuat untuk menggurui Gen Z. Bukan. Tulisan ini lahir dipancing oleh keresahan penulis tentang generasinya sendiri. Ini semacam protes—atau autokritik—dari Gen Z untuk Gen Z.

“Bimbinglah kami sehingga menjadi pendaki senior seperti kalian….”

Saya menemukan komentar di atas di sebuah postingan Instagram yang berisi pendapat pendaki sarat pengalaman terhadap newbie. Membaca itu saya terhenyak, lalu berpikir: Bukankah di hadapan alam kita sama? Lalu apa yang membuat generasi kita berbeda dari generasi di atas? Mengapa kita dianggap sebagai pendaki yang tak tahu apa-apa?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mari kita meluncur ke sebuah berita di Kompas.com yang berjudul “Kecelakaan Pendakian Gunung di Indonesia Meningkat 4 tahun terakhir.” Merujuk pada data Basarnas, portal Kompas.com melansir bahwa, tahun 2015, terjadi 12 kecelakaan pendakian; 2016, 15 kecelakaan; 2017, 15 kecelakaan; dan 2018, 23 kejadian.

Tidak semua kecelakaan itu berakhir dengan kematian memang. Namun, di antara korban meninggal, masih menurut berita Kompas.com itu, banyak yang berusia belasan tahun. Mereka Gen Z. Di lain sisi, ada pula Supriyadi (kala itu 26 tahun) yang mampu bertahan di Semeru kala tersesat selama 5 hari. Rasanya tak perlu saya katakan dari generasi mana Supriyadi berasal.

Melihat data di atas, tak dapat saya membantah: ya, pendaki Gen Z memang tidak tahu apa-apa.

Pendaki Generasi Z dan “goals”

Lalu saya jadi penasaran. Apa, sih, sebenarnya yang bikin pendaki Generasi Z berbeda dari pendaki generasi sebelumnya (yang selanjutnya kita sebut pendaki lawas)?

Karena bukan peneliti, yang bisa saya lakukan hanya merefleksikan diri.

Umumnya, pendaki lawas yang saya jumpai bukanlah tipikal pendaki yang melanglang buana. Mungkin mereka hanya mendaki satu hingga tiga gunung, namun dengan frekuensi yang sering. Dengan kata lain, mereka paham secara mendalam medan yang mereka telusuri. Mereka terbiasa dengan kondisi gunung-gunung itu.

Lalu bagaimana dengan Gen Z? Tentu sidang pembaca sekalian bisa melihat fenomenanya. Kami cenderung memikirkan goals berupa mendaki puncak-puncak gunung yang berbeda; kami tahu hanya sedikit-sedikit.

Kami tidak puas hanya dengan satu puncak, sebagaimana generasi-generasi pendahulu. Penyebabnya tak lain tak bukan adalah persoalan eksistensi. Coba, deh, kita tanya diri sendiri: keren ‘kan disebut anak gunung?

Sudah, mengaku saja.

Memotret pemandangan pegunungan dengan kamera ponsel via pexels.com/Oleg Magni

Kawan, saya sama sekali tak menyalahkan padangan generasi kita. Lagian, positif sekali ‘kan jika di usia muda kita bisa bertualang jauh? Syukur-syukur bisa paham soal budaya—atau sekalian permasalahan setiap daerah yang kita kunjungi meski tidak intens.

Hanya saja, kita semua mesti terus belajar. Dan, sekarang ini mudah sekali bagi kita untuk belajar; kita punya semua informasi dalam genggaman tangan.

Sebuah usulan: manfaatkan kecenderungan audiovisual kita

Judul sebuah artikel di Forbes menarik sekali: “The Key to Gen Z is Video Content.” Kunci untuk (masuk) ke Gen Z adalah konten video. Dasarnya adalah hasil survey Business Insider terhadap orang-orang berusia 13-21 tahun alias Gen Z di Amerika Serikat, bahwa 65% di antara mereka mengecek Instagram setiap hari, sementara 62% dari mereka adalah pengguna harian YouTube.

“Lho, itu kan Amerika Serikat. Indonesia beda, dong?”

Mungkin iya. Tapi takkan sejauh itu juga bedanya.

Jadi, sebagai generasi pendaki yang sepertinya lebih tertarik pada sesuatu yang bersifat (audio)visual, kita bisa (saling) memperkaya pengetahuan lewat, misalnya, akun-akun Instagram atau YouTube yang mem-posting pengetahuan-pengetahuan pendakian.

Lewat kanal-kanal YouTube seperti “barkaaah” atau “The Woodstock Gear” kita bisa belajar soal survival. Melalui akun-akun Instagram seperti PNDKID kita bisa belajar sedikit-sedikit soal pendakian dan teknik-tekniknya, misalnya mengenai jalur pendakian, packing, atau tali temali.

Sebaliknya, jika kita punya sesuatu untuk dibagi, tak ada alasan untuk ragu-ragu membaginya ke kawan-kawan lain. Kita bisa membuat video pendek untuk Instagram atau video-video agak panjang soal dasar-dasar mountaineering untuk kanal YouTube pribadi. Itu jelas lebih berkontribusi positif ketimbang mengunggah foto-foto selfie.

Saya yakin bahwa generasi kita mampu berubah menjadi pendaki yang lebih berwawasan dengan cara kita sendiri. Kita memang bukan pendaki dengan slayer di leher. Tapi buff yang kita pakai juga takkan jadi penghalang bagi kita untuk terus belajar.

Rasa-rasanya generasi kita sudah cukup merepotkan pendaki terdahulu yang senantiasa siaga bolak-balik mencari serta menggendong pendaki Gen Z yang tersesat ataupun sakit.

Akhir kata: semangat!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar