Semua manusia pasti pernah dilanda gundah dan tentunya berteman dengan masalah. Bukan atas dasar keinginan, namun semuanya sudah diatur dalam suratan. Ditentukan oleh Tuhan dan dijalankan oleh kita para makhluk bernafas. Intisarinya sama, hanya saja persoalannya pasti berbeda.
Tidak memandang tua atau muda, kaya atau melarat, pria atau wanita, semuanya pasti pernah berduka. Begitu pula denganku, seorang gadis biasa yang tengah menginjak fase remaja. Telah melewati awal pubertas dan katanya hendak dewasa. Entahlah, sedikit rumit jika berbicara tentang usia. Apakah itu perlu dipermasalahkan? Hmmm, sepertinya tidak.
Aku tertunduk, melihat sepasang sepatu berwarna kelabu. Kakiku diam membisu, tak bergerak, sama seperti tubuhku yang kaku. Mataku terus menatap lurus, tak berkedip bahkan bisa dianggap membeku. Perlahan, angin sepoi menyapa halus menembus setiap inci dari pori-pori tubuh. Huft, aku mendengus, dan tak menunjukkan sedikit senyum.
Getar pada telepon genggam terus menyapa. Pahaku sedikit bergetar dibuatnya. Berbagai pesan muncul secara bersamaan, membuat emosiku semakin membludak. Segera saja, kumatikan data dan mengesampingkannya untuk beberapa saat. Aku, hanya butuh waktu sendiri agar tetap derana.
Tanpa terasa bendunganku rubuh, karenanya air mataku terjatuh. Aku mengusapnya dengan buru-buru, takut-takut akan ada yang melihat dan menertawaiku. Walau kutau, saat ini aku hanya sendiri dengan sebuah kursi tunggu. Sudah sejam berlalu, tapi aku tetap setia terduduk. Tak menunggu, hanya mencoba merenung di sebuah fasilitas umum.
Beberapa bus telah lalu lalang di hadapanku. Tak jarang beberapa diantaranya berhenti untuk bertanya apakah aku ingin bergabung. Namun jawabku tetap satu, sebuah gelengan dengan bibir mencoba tersenyum. Aku seperti orang linglung, tak heran jika beberapa penumpang berusaha untuk menegur. Aku berdalih, mengatakan bahwa aku sedang menunggu seorang tamu. Akhirnya, tentu saja mereka hanya akan mengangguk dengan lugu.
Priiittt!
Sebuah suara memekik membuyarkan ruang lamunan. Aku sedikit tersentak mendengarnya. Berkali-kali mengerjap mata hingga pandanganku tertuju pada seorang pria di tengah jalan. Pria yang tak lagi muda dengan sebuah peluit kecil dan bendera merah di tangan kanan, berfungsi untuk memberitahukan pengguna jalan bahwa akan ada beberapa orang yang hendak menyeberang. Aku mengamati gerak-geriknya dengan khidmat, terkadang aku juga memandang langit dengan penuh awan. Tidak cerah, namun cukup memikat. Segera, insting liarku berkata bahwa pemandangan ini harus diabadikan.
Cekrek!
Satu gambar yang mungkin beberapa orang akan bilang itu estetik. Kini aku mulai asyik dengan telepon genggam yang tadinya tak kulirik. Menyalakan data, dan mengeditnya dengan energik. Maklum saja, aku memang sangat suka mengedit, dan mengotak-atik. Siapa tahu bukan, nantinya aku juga bisa menuangkan hobiku itu di ranah dunia politik? Tunggu saja sua dari takdir.
Setelah dirasa siap, aku mulai menambahkannya pada laman sosial media. Benar kataku, mereka menyukainya. Beberapa bahkan memintanya secara terang-terangan, dan mungkin saja ada pula yang diam-diam mengambil sebuah tangkapan layar. Tak apa, toh aku juga suka berbagi hasil editan tangan.
Hasrat berkelilingku seketika bangkit. Sepertinya seru jika aku berkeliling, sua sang batin. Dengan sigap, tanganku segera menyiapkan uang recehan untuk tur pribadiku kali ini. Bukan untuk keluar kota, hanya berkeliling menyusuri kota tanah lahir dengan sebuah bus yang disediakan untuk publik.
Menunggu selama 15 menit lebih tentu bukan hal yang menjadi persoalan. Yang menjadi masalah adalah ketika kamu menjadi penumpang namun kamu tidak diberi sebuah kepuasan. Terlalu berdesakan hingga terkadang membuat tubuh susah untuk bernafas. Tapi syukurlah, situasi itu tak kurasakan. Ruangan bus tampak lenggang, bahkan aku bisa merasakan nyamannya duduk di kursi berwarna merah. Setelah mendaratkan pantat, bus melaju dengan pelan. Memulai sebuah perjalanan, walau itu hanya sekadar cara untuk melampiaskan.
Aku yang duduk pada kursi paling belakang terus saja menatap ke arah luar jendela. Memilih bus dengan jalur berbeda, membuatku menyaksikan hal-hal yang tak pernah aku lihat biasanya. Keadaan langit masih tetap sama, mendung dan bertabur dengan awan. Beberapa jepretan gambar tak akan kulewatkan, maklum sebenarnya aku adalah seorang nephophile (penyuka awan).
Pengamatan masih terus kulanjutkan, baru kali ini aku berkelana di Semarang bagian bawah. Pemandangannya sungguh berbeda. Jika biasanya aku melihat aneka gedung dan rumah mewah, kini berderet-deret jambar tersaji di depan mata. Latar belakang tempat tinggal mereka bukanlah sebuah mall atau perkantoran, melainkan sebuah kanal. Aku jadi meragukan keselamatan mereka ketika banjir mulai melanda.
Memang ada perumahan mewah yang biasa aku lihat, namun tak sebanyak perkampungan rakyat biasa yang lebih akrab berbelanja dengan sistem tawar menawar. Mataku terus menatap dan memperhatikan, rasanya tak mau lepas. Kehidupan di salah satu kotaku ini masih sangat sederhana.
Ibu-ibu yang duduk di depan warung sambil asyik mengghibah, para remaja lelaki yang sibuk memodifikasi kendaraan dengan kaos punk yang khas, serta segerombolan anak-anak yang terus bermain bahkan berlarian di pinggir jalan, seakan tidak takut jika bahaya bisa mengincar nyawa. Ah berbicara tentang anak, mengingatkanku dengan komunitas jalanan yang aku punya.
Sayangnya aku tidak bisa mengabadikan momen tersebut, karena bus tidak bisa dituntut. “Huft, kapan-kapan aku akan kembali berkunjung.”
Bus telah mencapai akhirnya, semua penumpang diturunkan dan dipersilakan untuk mengganti koridor dengan arah berlawanan. Termasuk juga aku, memilih bus lain yang tidak pernah kusambangi, sepertinya. Sudahlah, pelampiasan ini membawaku kepada jalur nekat sebuah perjalanan.
Kali ini, bus mengajakku menyusuri daerah yang penuh dengan truk-truk pengangkut barang. Truk itu beragam ukurannya, namun rata-rata yang ada disana sangatlah besar. Bahkan, aku sempat bergidik ketika melihatnya. Aku membayangkan, bagaimana sensasi jika berada di kedua truk besar yang saling berdekatan? Ah! Pikiranku semakin tidak jelas.
Sayangnya, rute kedua ini tidaklah jauh. Baru sebentar, kami para penumpang kembali diturunkan. Ketika melihat sekitar, aku tidak menemukan sesuatu yang bisa kuabadikan. Dengan berat hati, akhirnya aku memilih pulang ke rumah.
Walau begitu, perjalanan seperti ini sangat mengasyikkan. Meluangkan waktu untuk diri sendiri dan melupakan segala masalah yang tengah menerjang. Menyaksikan kondisi dimana banyak orang yang lebih kurang namun mereka bisa lebih bahagia. Sebuah pelajaran yang diambil dari kehidupan, agar diri ini selalu ingat untuk bersyukur pada Tuhan.
“Aku jadi ingin mengulangnya, seru ternyata!”