Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?

Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?

by Rifqy Faiza Rahman

Gunung Kembang tidak setinggi Lawu, Merbabu, Sumbing, atau Sindoro, “ibu kandungnya”. Namun, gunung ini punya sesuatu yang istimewa.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
Tutupan hutan yang rapat di jalur pendakian Gunung Kembang via Blembem/Rifqy Faiza Rahman

Saya akhirnya kesampaian pergi ke Gunung Kembang pada Agustus lalu. Namanya sudah berseliweran di pikiran ketika gunung ini viral diadopsi oleh Eiger tahun 2022. Basecamp Skydoors, pengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem, dianggap berhasil menerapkan peraturan ketat soal lingkungan dan keselamatan.

Program adopsi gunung tersebut merupakan pilot project dari tim EIGER Adventure Service System (EAST). Eiger bekerja sama dengan pengelola basecamp untuk memastikan pendakian gunung bebas dari sampah (zero waste mountain). Dalam acara yang digelar 19—20 Maret 2022, dilakukan kegiatan sharing session, pendakian bersama, dan aksi konservasi penanaman anggrek hutan. Hadir para pendaki legendaris, seperti Djukardi “Bongkeng” Adriana, Galih Donikara, dan Iwan “Kwecheng” Irawan.

Selain komitmen kuat soal lingkungan, sosok-sosok besar di dunia pendakian Indonesia tersebut juga memicu saya untuk segera menelusuri Gunung Kembang. Bahkan nama gunung ini belakangan baru saya tahu kalau letaknya persis di sebelah barat daya Gunung Sindoro. Makanya banyak orang menyebutnya anak Sindoro.

Karena waktu terbatas, saya memilih mendaki tektok. Naik dan turun di hari yang sama. Melihat jalurnya terlebih dahulu sebelum suatu saat mencoba menginap dan berkemah. 

Saya berangkat dari Magelang bersama istri saya dan adiknya, yang berarti membawa dua sepeda motor. Perjalanan dari Magelang ke Basecamp Gunung Kembang via Blembem, Wonosobo, memerlukan waktu tempuh sekitar dua jam.

Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Bagian dalam Basecamp Gunung Kembang via Blembem/Rifqy Faiza Rahman

Syarat utama: administrasi dan aklimatisasi

Basecamp Gunung Kembang via Blembem menempati kompleks bangunan gudang yang dahulu berfungsi menyimpan hasil panen teh. Lokasi basecamp memang dikelilingi perkebunan teh Bedakah yang menjadi bagian dari PT Perkebunan Tambi. Menurut Alfan atau Yayang, pengurus basecamp, pihaknya membuka jalur pendakian resmi pada 1 April 2018. Namun, perintisannya sudah dimulai pada 1997.

Bangunan utama basecamp yang terletak di ketinggian 1.339 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu cukup luas, kira-kira seukuran lapangan futsal. Bisa menampung puluhan orang. Selain posko kesehatan dan loket pembayaran, pihak basecamp menyiapkan beberapa peralatan pendakian yang bisa disewa. Tersedia pula jasa pemandu dan porter bagi yang memerlukan.

Fasilitas umum yang bisa diakses pendaki adalah toilet, musala, dan kantin sederhana. Toilet lebih banyak tersedia di luar basecamp. Di seberang basecamp merupakan lahan parkir motor dan mobil. Satu area dengan tempat pengecekan dan pemilahan sampah yang dibawa pendaki. Secara umum, kondisi basecamp cukup bersih dan nyaman.

Sekitar pukul 07.00, seorang petugas basecamp berkacamata bernama Arif, dengan jaket jenis down warna hijau menghampiri kami. Ia menyodorkan dua lembar kertas seukuran A5. Isinya daftar perlengkapan, makanan, minuman, dan obat-obatan yang dibawa. Dan selembar surat pernyataan denda sebesar Rp1.025.000 per item barang yang berpotensi sampah, tetapi dibuang sembarangan atau tidak dibawa turun.

Meskipun hanya mendaki tektok, ransel kami tetap dibongkar. Istri dan adiknya membawa tas kecil berkapasitas 10 liter. Sementara saya membawa ransel 55 liter, karena berisi cukup banyak bahan makanan—kentang rebus, roti tawar, buah—sekaligus melatih fisik. Plus, satu tas selempang untuk kamera. 

  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?

Logistik tersebut terlindungi trash bag plastik hitam di bagian dalam tas. Tujuannya mencegah rembesan air jika terjadi hujan. Tentu trash bag itu sendiri terhitung satu jenis barang berpotensi sampah. Kelengkapan lain yang terhitung berpotensi sampah adalah jas hujan plastik dan kemasan obat-obatan. Petugas tersebut juga meminta kami tetap membawa turun sampah organik.

Kami membawa sejumlah kotak makan untuk menyimpan bekal sarapan dan camilan yang kami bawa. Kami juga menyiapkan masing-masing dua botol air nonplastik untuk bekal minum. Jika suatu saat ingin berkemah, sudah pasti harus membawa jeriken. Pihak basecamp menyediakan beberapa tumbler dan kotak makan untuk dipinjamkan jika ada pendaki yang membutuhkan. 

Usai memilah dan meninggalkan beberapa barang yang tidak perlu dibawa, selanjutnya kami diarahkan untuk cek tensi dan suhu tubuh. Poskonya terletak di dekat pintu masuk basecamp. Tepat di sebelah loket pembayaran. Hasil tensi kami tercatat normal. Artinya, kami diizinkan mendaki. Kuncinya terletak pada aklimatisasi, penyesuaian dengan kondisi iklim dan lingkungan sekitar sebelum pendakian.

Selain ketentuan administrasi, aklimatisasi memang menjadi syarat utama yang harus dilalui pendaki Gunung Kembang via Blembem. Kondisi siap dihasilkan dari tubuh yang bugar, serta telah mendapat asupan makanan dan minuman yang cukup. Menurut petugas basecamp, pendakian tidak akan berhasil jika dilakukan dengan tergesa. Pendakian yang berhasil tidak hanya minim sampah, tetapi juga mampu menekan risiko kecelakaan karena cedera atau minimnya perlengkapan standar.

Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
Menumpang truk bak terbuka menyusuri perkebunan teh ke Istana Katak/Rifqy Faiza Rahman

Dari perkebunan teh hingga hutan lumut

Secarik izin pendakian ditebus seharga Rp80.000 per orang. Perinciannya, 55.000 rupiah untuk tiket masuk, fasilitas basecamp, dan cek kesehatan. Lalu 25.000 rupiah adalah ongkos layanan antar jemput dengan truk bak terbuka dari basecamp ke shelter Istana Katak (1.564 mdpl). Syaratnya minimal ada lima orang, yang berarti harus bergabung dengan pendaki lain.

Seperti direstui alam, di saat bersamaan tim berisi tiga pendaki dari Semarang juga memiliki pikiran yang sama dengan kami. Menghemat tenaga dan waktu adalah alasan terbesar untuk menempuh 1,5 kilometer dengan jalur makadam di tengah perkebunan teh bak labirin. Lima belas menit terasa signifikan daripada berjalan kaki satu jam.

Truk oranye bertuliskan “SKYDOORS” itu mengantar kami ke sebuah lahan datar dekat Istana Katak. Sebelumnya sang sopir, yang juga bertugas di loket basecamp, begitu lihai memutar posisi truk terlebih dahulu sebelum kami turun. Arif, petugas yang mengecek perlengkapan kami tadi, membuka pintu bak belakang. Dari area shelter Istana Katak, keduanya menunjuk ke arah tanjakan menuju Kandang Celeng, yang masih berjarak sekitar 700 meter. Katanya, ikuti saja jalan makadam sampai bertemu gapura dan umbul-umbul ke pintu hutan di ketinggian 1.682 mdpl tersebut.

Berjalan di tengah perkebunan teh mengingatkan saya pada jalur pendakian Gunung Arjuno via Lawang, Malang, Jawa Timur. Treknya panjang. Pemandangan cenderung monoton, tetapi akan berpeluang menyesatkan saat malam karena banyaknya percabangan. Pagi itu saja, perkebunan teh di sekitar basecamp sedang berkabut. Mendung menggelayut cukup rendah.

  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
  • Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?

Batas perkebunan teh dengan hutan ditandai dengan gapura bertuliskan “Selamat Datang di Kandang Celeng”. Nama itu menggelitik sekaligus bikin merinding. Pihak basecamp tidak mengada-ada. Celeng atau babi hutan liar memang jadi mamalia paling dominan di Gunung Kembang. Hutan lumut yang membentang di hadapan kami hingga tumbuhan semak mendekati puncak adalah habitat satwa yang hidup berkelompok tersebut.

Itulah salah satu alasan basecamp melarang pendaki berkemah di sepanjang jalur di dalam hutan Gunung Kembang. Selain bisa mengganggu jalur jelajahnya, toh kondisi lahan di setiap pos juga tidak ideal untuk mendirikan tenda. Ditambah potensi yang dihasilkan dari aktivitas berkemah. Maka pengelola hanya menyediakan tempat camp di dua tempat, yaitu Bongkeng Sunrise Camp (2.310 mdpl) dan Puncak Gunung Kembang (2.340 mdpl).

Kami seperti memasuki dimensi berbeda ketika mulai melangkah hanya sejengkal dari gapura menuju puncak. Terutama sepanjang jalur di dalam hutan, melintasi Pos 1 Liliput (1.853 mdpl), Pos 2 Simpang Tiga (1.955 mdpl), dan Pos 3 Akar (2.002 mdpl). Vegetasi yang sebelumnya homogen—berupa perkebunan teh—berubah total menjadi kawasan hutan lumut yang lembap, tetapi menyegarkan. Kalaupun hari itu cerah, rasanya cahaya matahari tidak terlalu mampu menembus tutupan hutan yang rapat. Kabut makin menambah nuansa magis.

Bentukan pohon-pohon yang unik membawa saya mengimajinasikan negeri dongeng macam di film-film fiksi. Ada satu area pepohonan yang dinamai Ekor Naga, letaknya di antara Pos 1 Liliput dan Pos 2 Simpang tiga. Memang tampilannya sesuai namanya. Hanya saja tidak ada bagian kepala dengan mata merah seram dan mulut bertaring yang menyemburkan api membara.

  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?

Bagian lain yang menarik adalah jembatan kayu alami yang menyambut di Pos 3 Akar, 300 meter dari Pos 2. Jembatan tersebut pendek saja, melintasi ceruk serupa aliran sungai kecil yang kering dan tidak terlalu dalam. Saya lantas teringat latar hutan Fangorn, tempat bertemunya Aragorn, Legolas, dan Gimli dengan Gandalf The White di The Lord of The Rings: Two Towers (2002).

Suasana hutan yang hijau dan teduh membuat kami berjalan nyaman. Kontur belum terlalu menanjak ekstrem. Tanah yang pekat dan basah enak buat dipijak. Jarak antarpos di dalam hutan pun tidak terlalu jauh, kisaran 200—500 meter. Kami menempuh 1 jam 45 menit dari gerbang Kandang Celeng ke Sabana 2 (2.183 mdpl), area semak terbuka yang berjarak 430 meter dari Pos 3 Akar. Hari itu tidak banyak pendaki. Kami hanya berpapasan paling banyak dua rombongan yang turun setelah camp semalam di puncak. 

Sejauh mata memandang, jalur trekking di dalam hutan memang sangat resik. Taraf kebersihannya berada pada tahap yang tidak sampai membuat saya mengumpat dan geregetan, seperti kerap saya alami di sejumlah gunung lain. Satu atau dua sampah kecil yang berserakan saja sungguh merusak keindahan dan kelestarian gunung, serta mengundang kawanan celeng—atau hewan lain—untuk menyantap sumber makanan yang tidak semestinya. Sampah berperan besar mengacaukan rantai makanan alami satwa.

Puncak yang berdinding kabut

Jalur di dalam hutan tampak kontras ketika kami keluar dari hutan selepas Pos 3 Akar. Trek yang semula basah mendadak berubah kering dan berdebu sampai ke puncak. Sejumlah titik berkerikil sehingga bisa membuat kami terpeleset kalau tidak berhati-hati.

Vegetasi mulai terbuka, berganti menjadi ilalang dan tanaman semak lainnya. Sisi selatan-barat lereng Gunung Sindoro yang puncaknya tertutup kabut terlihat berselimut hutan rapat. Pemandangan itu sedikit melegakan hati, sampai akhirnya kami harus melihat seutas tali tampar putih menjulur di atas tanah di sepanjang ceruk sempit yang terjal. Tanjakan Mesra—namanya—adalah tantangan sepanjang hampir 150 meter yang harus dilewati sebelum bisa menghela napas kembali di Bongkeng Sunrise Camp (2.310 mdpl).

Pembuatan lokasi kemah Bongkeng Sunrise Camp yang diluncurkan bersamaan dengan pendakian bersama pada Maret 2022 bukan tanpa alasan. Tempat datar dan agak ternaungi pepohonan itu diberi nama demikian sebagai bentuk penghormatan pada dedikasi Kang Bongkeng—sapaan akrab Djukardi Adriana—terhadap dunia pendakian gunung yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.

  • Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
  • Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo

Jika ingin mendapatkan sudut panorama alam lebih luas, Puncak Gunung Kembang memang jadi opsi terbaik untuk nge-camp. Tanggung, tinggal menanjak tipis-tipis sejauh 100 meter lagi. Kami pun yang semula ingin istirahat sejenak setelah dihajar Tanjakan Mesra, sepakat untuk lanjut berjalan dan melepas lelah di puncak. Kami tiba pukul 13.30 atau hampir 4,5 jam perjalanan santai dari basecamp. Rombongan asal Semarang sudah tiba terlebih dahulu, sekitar setengah jam lebih cepat di depan kami.

Puncak tertinggi Gunung Kembang merupakan bagian cincin punggungan yang mengepung kawah mati bak padang rumput seluas dua hektare. Penandanya sederhana saja, berupa tiang bendera merah putih dan plakat yang memvalidasi keberhasilan pendaki tiba di puncak.

Di area puncak tersedia banyak titik berkemah. Diperkirakan bisa menampung puluhan tenda dome berkapasitas empat orang. Namun, pendaki tetap harus mewaspadai keberadaan celeng yang sewaktu-waktu bisa datang “bertamu”. Pendaki diimbau tidak membawa bahan makanan yang berbau terlalu menyengat. Pendaki juga harus mampu mengelola sampah mereka agar tidak secuil pun bertebaran di area tenda. Konsekuensinya jelas. Denda jutaan rupiah tampaknya lebih menakutkan ketimbang logistik direbut celeng. 

Kami segera membongkar isi tas dan mengambil bekal makanan. Beberapa potong kentang rebus, buah jambu kristal, dan roti tawar selai jadi menu makan siang yang terlambat 1,5 jam. Seandainya kabut terselak, pemandangan tentu jadi menakjubkan. Kami akan melihat Gunung Prau, Dieng, hingga Gunung Sumbing. Hanya puncak Sindoro saja yang sempat terlihat sepintas. Itu pun malu-malu dan memilih bersembunyi di balik halimun.

Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Kawah Gunung Kembang berlatar kabut yang menyelimuti Gunung Sindoro/Rifqy Faiza Rahman

Namun, tak mengapa. Kami bertiga sepakat, mampu sampai puncak dalam keadaan sehat sudah jadi bonus tersendiri. Justru kawasan hutan lumutnya yang menancap kuat di ingatan. Kami bisa menghirup oksigen murni darinya. Kami bisa melihat anggrek-anggrek hutan yang sedang bertumbuh di batang-batang pohonnya. Lalu peraturan yang tertib pada asas lingkungan, yang kemudian berdampak pada kebersihan jalurnya, jelas menambah nilai lebih dari rute Gunung Kembang via Blembem.

Itu yang membuat pendakian Gunung Kembang via Blembem berada di level berbeda. Sekalipun di Jawa Tengah ia tidak setinggi Sindoro, Sumbing, Merbabu, Slamet, atau bahkan tidak sepopuler Gunung Prau. Istri saya sampai bilang sejujur-jujurnya, “Kalau ada gunung yang pengin banget diulang, aku lebih memilih mendaki Gunung Kembang lagi.”

Harapan saya hanya satu. Semoga komitmen kuat menjaga hutan, terutama dari Yayang dan rekan-rekan Skydoors, tidak menemui kata lelah dan goyah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

You may also like

Leave a Comment