TRAVELOG

Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (2)

Pelan-pelan rembulan menarik diri diiringi kepergian bintang-bintang. Dari sebelah timur, cahaya berangsur-angsur muncul seturut kokok ayam di pekarangan rumah seberang.

Satu pekan berlalu, nyaris dua kali proses pembuatan tempe terlewatkan. Hari yang ditunggu telah tiba, Selasa pagi (9/9/2025), saya beserta Angel, Devi, Dian, dan Syifa kembali ke rumah Pak Didik untuk memenuhi janji uji coba membuat tempe.

Sampai di rumah Pak Didik, kami langsung diarahkan menuju dapur. Seperti biasa, tiap pagi Pak Didik bertugas menggoreng keripik tempe. Sama seperti kami yang bukan warga asli Blora, beliau mulai bercerita dan mengawali perjumpaan, “Saya dulu [waktu muda] juga ke mana-mana, merantau. Jadi, sudah biasa hidup di luar kota, [pernah] di Kalimantan, Bali, Lampung.”

Sembari menggoreng keripik tempe, Pak Didik menitipkan pesan, “Sing penting (yang penting) kuliah sesuai jurusannya, nanti cari kerja juga sesuai. Tapi, ya, kadang [kenyataan] tidak sesuai yang kita bayangkan. Kerja iki enak, kerja iku enak (kerja ini enak, kerja itu enak). Belum tentu.”

Saya jadi teringat petuah Pak Didik satu pekan sebelumnya, “Pengalaman tanpa ilmu jadi kebiasaan. Lebih baik kebiasaan yang menghasilkan daripada ilmu tanpa pengalaman.”

Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (2)
Proses perebusan kedua/Atana Syifa

Hari yang Ditunggu Tiba

Setelah satu pekan belajar membuat tempe, akhirnya kesempatan uji coba datang. Ini saatnya merasakan pengalaman pertama membuat tempe. Bermodal catatan yang belum sempat dirapikan, kami mulai menakar kedelai di atas timbangan pasar atau neraca duduk.

Proses pertama uji coba yang saya lakukan di hari Selasa adalah mencuci dan merebus kedelai. Saat itu saya menghitung ada sekitar 45 menit dari menyalakan kompor sampai kedelai benar-benar matang.

Kedelai yang telah matang diangkat untuk kemudian ditiriskan. Begitu kering, kedelai dimasukkan ke dalam wadah dan didiamkan satu malam. Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB, esok hari kami harus merebus kembali pada waktu yang sama untuk pembersihan ganda.

Proses perebusan dan pembersihan pertama telah usai. Selagi bersantai, Pak Didik membagikan es teh kepada kami berlima yang tengah membungkus keripik tempe.

Di tengah-tengah tahap pembungkusan, saya teringat alat perekat, sealer, untuk menyegel keripik tempe. Seketika saya bertanya pada Pak Didik mengapa lebih memilih melipat dengan tangan dan menyegelnya dengan staples.

Seraya mengajari cara membungkus keripik tempe, Pak Didik menjawab, “Kalau di sealer, plastik itu enggak bisa lengket. Susah lengket. Kadang terlihat lengket, tapi malah terbuka, akhirnya melempem,” ungkapnya.

Sedotan sudah berbunyi, tetes terakhir es teh saya telan sambil mengorek dasar gelas.  Tak berselang lama kami saling melirik satu sama lain dan beranjak dari kursi. Siang itu kami pamit pulang untuk melanjutkan kesibukan lain.

Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (2)
Dian meratakan kedelai yang telah ditabur ragi/Atana Syifa

Hari kedua tiba, Rabu itu (10/9/2025) giliran kawan saya, Angel, merebus ulang kedelai. Tahap perebusan kali ini hampir sama seperti langkah sebelumnya. Terhitung ada 30 menit agar kulit ari yang menempel terlepas sempurna.

Ketika Angel meniriskan kedelai, Pak Didik menjelaskan alasan mengapa dilakukan perebusan ganda, “[Ketika] proses fermentasi jamurnya keluar karena setelah direndam muncul busa-busa. Kalau langsung [sekali perebusan] biasanya busuk, [tempenya] enggak jadi.”

Proses berlanjut ke tahap penirisan. Kedelai yang telah ditiriskan kemudian dihamparkan ke tampah dan didiamkan sampai sore datang. Ada sekitar empat jam menunggu dari pukul 11.00 WIB hingga Asar tiba.

Peragian dilakukan tepat pukul 15.30, kini giliran Dian yang menuntaskannya. Sebanyak enam gram ragi ditaburkan di atas dua kilogram kedelai yang terhampar. Setelah menabur ragi, ratakan ke seluruh sisi agar kedelai mendapatkan proses yang sama.

Kedelai yang telah dicampur rata dengan ragi selanjutnya dipindahkan ke dalam wadah. Tunggu beberapa jam hingga hari mulai petang. Magrib pun tiba, kedelai yang sudah ditabur ragi siap dicetak. Setelah balok-balok tempe dicetak, diamkan sejenak sebelum diangin-anginkan di hari ketiga. 

Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (2)
Susunan balok-balok tempe yang siap diangin-anginkan/Faza Nugroho

Perjalanan Membangun Usaha

Tepat hari keempat, Jumat pagi (12/9/2025), balok tempe yang sudah matang siap diiris tipis-tipis. Saya sendiri berkesempatan mencoba mengiris dan menggoreng keripik tempe. Kebetulan Pak Didik yang memandu saya menggunakan alat iris.

Alat iris milik Pak Didik sebenarnya memiliki cara kerja yang sederhana, tapi ketika saya mencoba langsung, ternyata sulit juga untuk mengiris satu lembar tempe. Pak Didik bisa dengan mudah mengiris 50 lembar, bahkan lebih banyak, sedangkan saya tak sampai jumlah itu. Banyak lembar tempe yang saya iris kacau tak berbentuk.

Selain mengiris tempe, saya sempat mencoba menggoreng adonan keripik tempe sebelum akhirnya digantikan oleh Devi. Selagi saya beristirahat, Pak Didik dan Bu Didik menawarkan es kopyor kepada kami berlima.

  • Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (2)
  • Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (2)
  • Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (2)

Sembari menyeruput es kopyor, Pak Didik bercerita bahwa keripik tempe yang diproduksi dalam satu hari dapat membuahkan seratus bungkus. “Kalau [bulan] puasa bisa sampai lima ratus bungkus, lima kali lipat dari [hari] biasanya,” imbuhnya.

Sambil mengaduk-aduk gelas, saya menyimak Pak Didik yang tengah melanjutkan penjelasan, “Serabi Solo itu sama ramai peminatnya, tapi kan enggak bisa [tahan] lama. Sama seperti keripik tempe, solusinya ketika permintaan banyak bikin sak akeh-akehe [sebanyak-banyaknya].”

Pak Didik mengaku bahwa permintaan keripik tempe kerap melonjak ketika mendekati libur lebaran. “Kalau liburan [atau] menjelang liburan, habis sahur sampai mau buka [puasa] kompor masih menyala,” tambahnya. 

Jumat pagi terasa lengang untuk bersantai dan menyandarkan badan. Tak ada angin, tak ada hujan, suara bel memanggil dari pintu depan. Hari itu saya menyaksikan proses jual beli produk keripik tempe milik Pak Didik secara langsung.

Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (2)
Foto bersama Pak Didik dan Bu Didik (tengah) usai praktik membuat keripik tempe. Tampak anggota KKNR-11202 UNY Blora Kedungjenar 1, yaitu Dian (paling kiri), saya, Devi, Syifa, dan Angel/Bagas

Setelah menjamu pembeli di depan, Pak Didik kembali menyambung cerita, “Saya dulu kan [melanjutkan] orang tua. Saya [baru] mulai tahun 2008 sampai sekarang. [Ini usaha] turun-temurun.”

Sambil mengenang dan mengingat kembali masa-masa awal memulai usaha, Pak Didik menuturkan suka dan duka yang dialaminya, “Sukanya, sih, kalau pas lagi ramai, biar pun capai kayak apa pun, kita kerja siang [dan] malam.”

Duka yang sesekali Pak Didik rasakan adalah ketika gerai sepi atau mengalami kegagalan saat uji coba. “Saya dulu pernah memasarkan keliling sampai ke mana-mana, tapi ternyata enggak jalan. Lebih jalan [usaha] di rumah,” imbuhnya.

Hari menjelang siang, tak lama lagi seruan ibadah memanggil. Sisa waktu makin sempit, belum sempat kami bicara banyak dengan Pak Didik. Dalam satu kalimat, beliau menutup pertemuan kali itu, “Intinya, bikin tempe kalau sudah jalan pasti ada suka [dan] dukanya. Namanya pekerjaan, ya, kita jalankan.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Faza Nugroho

Faza Nugroho, pemuda Pantura yang tengah sibuk mengembara Yogyakarta. Gemar menyinggahi Indomaret ke Indomaret lainnya di perbatasan Jateng-DIY.

Faza Nugroho

Faza Nugroho, pemuda Pantura yang tengah sibuk mengembara Yogyakarta. Gemar menyinggahi Indomaret ke Indomaret lainnya di perbatasan Jateng-DIY.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Satu Pekan Belajar Menyambung Hidup di Kedungjenar (1)