Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Bayangkan sedang berada di daerah pesisir di suatu pulau. Siang bolong. Terik matahari centang-perenang. Saat kulminasi musim kemarau. Derajat hawanya setara suhu puncak demam tifoid. Embusan angin begitu kering. Air bersih yang diharapkan menyegarkan berasa payau. Satu-satunya sumber kesejukan adalah oksigen yang dikeluarkan pohon-pohon mangrove di pesisir Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan.
Tim TelusuRI menemukan itu semua di desa yang terletak di sebelah barat Pulau Bengkalis, Riau. Akibatnya? Tiga personel tumbang. Kepayahan yang didera hanya dari tiga jam keliling mengamati kawasan mangrove sekitar Sungai Kembung dan Pantai Senekip di dekat perairan Selat Malaka.
Di lantai rumah kontrakan milik Samsul Bahri (55), yang jadi sekretariat Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), tubuh kehilangan daya dan sakit kepala. Terbaring lemas mengiba pada tenaga kipas angin—disetel putaran tertinggi—untuk meluruhkan cairan keringat yang terbuang. Kalau masih kurang sejuk, mungkin kami akan memilih rebahan ke masjid di seberang rumah. Ada banyak kipas di sana.
Samsul Bahri, tuan rumah sekaligus juru perahu kami tadi, terlihat anteng-anteng saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada keluhan berarti dari Ketua Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap itu. Ia malah merasa kasihan kepada kami.
“Kekebalan” Pak Samsul, sapaannya, terhadap cuaca membara di Bengkalis tidak tercipta tiba-tiba. Lebih dari dua dekade menanam puluhan hektare mangrove, hanya dibantu seperlunya oleh segelintir orang, kulit pria berdarah Jawa itu sudah berdamai dengan ganasnya sengatan matahari. Bahkan sampai pada taraf nyaris terbakar, terutama ketika beraktivitas di laut karena saking panas dan keringnya. Sesuatu yang ia alami, ia lakoni hampir seumur hidupnya. Setiap hari, selama puluhan tahun. Nyaris tanpa setop.
“Ya, begitulah bapak. Enggak cuma ngurus mangrove, tapi juga sering jadi imam masjid, khatib Jumat. Dulu malah sempat jadi guru ngaji,” tanggapnya. Ia sering menggunakan diksi “bapak” untuk menyebut dirinya, daripada “aku” atau “saya”.
Selama di sana, kami seperti anak yang baru pulang dari perantauan nan jauh. Dan Samsul adalah seorang bapak yang teramat rindu, ingin lekas bertukar cerita dengan anak-anaknya.
Menyambut panggilan laut
Menanam mangrove sebagai jalan hidup tidak pernah terbayangkan Pak Samsul sebelumnya. Masa remaja putra dari pasangan Sucipto dan Sirah, transmigran asal Pacitan, itu lebih banyak ikut orang tuanya menggarap lahan pertanian dan membalak kayu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pak Samsul juga membantu pekerjaan sampingan bapaknya, yang memiliki keahlian sebagai tabib—mengobati orang sakit.
Di masa-masa itu, selain bekerja di pertambangan minyak, gas, dan batubara—penopang ekonomi terbesar Bengkalis—banyak orang Bengkalis menyeberang ke Malaysia. Mengadu nasib, mencari kerja apa pun. Biasanya dilakukan selama satu bulan penuh, lalu pulang ke Bengkalis. Begitu seterusnya. Dahulu masyarakat bebas keluar masuk antarnegara. Perbatasan belum seketat sekarang.
Sampai pada 2002, banjir rob setinggi 50 sentimeter menerjang Teluk Pambang. Dalam setahun, rob biasa terjadi pada bulan Oktober—Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar.
Padahal posisi kediaman Pak Samsul, yang berada di tepi jalan kabupaten, masih berjarak sekitar tiga kilometer dari Pantai Senekip, kawasan pesisir terdekat. Ditengarai salah satu sumber penyebab yang membawa air laut pasang dengan cepat adalah meluapnya aliran anak Sungai Kembung yang bermuara ke laut. Anak sungai itu berjarak setengah kilometer ke arah barat dari rumahnya. Ia juga biasa menambatkan perahu miliknya di sana.
Mayoritas warga menganggap banjir rob adalah musibah alam semata. Hampir tidak ada satu pun penduduk yang mengetahui pentingnya peran “pagar hidup” mangrove sebagai pelindung pesisir. Sampai-sampai tidak menarik sama sekali untuk dikerjakan. Tidak terkecuali Pak Samsul.
Namun, mengingat besarnya dampak air pasang yang meresahkan dan merepotkan tersebut, kesadaran hati itu akhirnya mengetuk hati pak Samsul. Gejolak laut memanggil, memilih Pak Samsul sebagai lokomotif perubahan di kampungnya.
Suami Siti Wasiah (52) itu menyadari hutan mangrove di belakang rumahnya nyaris gundul. Banyak ditebang dari pucuk batang hingga akar. Pelakunya kebanyakan orang suku lokal suruhan pengusaha panglong arang yang beroperasi di desa-desa pinggiran Sungai Kembung, seperti Teluk Pambang dan Kembung Luar.
Secara keseluruhan kondisi lingkungan rawa dan ekosistem mangrove di Pulau Bengkalis saat itu memang terbilang genting. Salah satu wilayah pesisir paling terancam di Provinsi Riau. Menurut Fikri (2006, seperti dikutip dalam Miswadi dkk., 2017), diperkirakan terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992—2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.
“Maka dari itu, bapak ingin memperbaiki tata ruang lingkungan,” ujar Pak Samsul. Ia bertekad menjadikan [pelestarian] mangrove sebagai pekerjaan utamanya. “Satu [hal] yang bapak pikirkan adalah regenerasi anak cucu yang akan datang, karena pada saat ini mungkin alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Jadi, mangrove ini perlu kita jaga.”
Konservasi mangrove adalah dunia baru baginya. Pak Samsul, yang waktu itu berusia 35 tahun, segera menemui mendiang Pak Sa’dullah (60), orang Jawa Bengkalis yang juga aktivis mangrove. Di tempat Pak Sa’dullah, ia belajar menanam, memahami peran mangrove, dan potensi ekonominya. Darinya, Pak Samsul seperti mendapat suntikan energi yang dahsyat untuk memulai perjuangan merehabilitasi mangrove.
“Ada satu pesan dari beliau yang bikin bapak masih terngiang sampai sekarang, ‘nek dudu kowe sopo maneh?’ (kalau bukan kamu siapa lagi?).” kenang Pak Samsul.
Tak air hujan ditampung, tak air peluh diurut, tak air talang dipancung. Di tahun yang sama, Pak Samsul tancap gas, mengerahkan segala daya dan upaya menyelamatkan ekosistem mangrove di pesisir Teluk Pambang. Ia mengajak segelintir tetangganya untuk bergiat lingkungan dengan menanam kembali mangrove.
Tahun 2004 Desa Teluk Pambang memiliki dua kelompok pelopor untuk mengelola mangrove dengan skema perhutanan sosial. Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) itu terdiri dari KPM Belukap dan KPM Perepat yang diketuai Pak M. Ali B. Keberadaan KPM diperkuat Surat Keputusan Bupati Bengkalis No. 824 Tahun 2004, yang muncul bersamaan saat pendampingan program restorasi mangrove dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari dalam dan luar negeri.
Payung hukum tersebut mendorong Pak Samsul melesat lebih kencang. Tak jarang ia harus menanam mangrove dan patroli sendirian sehari penuh. Ia mencukupi kebutuhan nafkah keluarganya dengan melaut.
Banyak orang mencibir Pak Samsul. Menilai tindakannya sia-sia. Bahkan musuhnya tidak sedikit. Tak terhitung Pak Samsul adu urat dengan pengusaha panglong arang, yang sempat berniat memasukkannya ke penjara.
“Saya dulu juga pernah memergoki oknum polisi perairan (polair) yang main illegal logging. Saya marahi habis-habisan,” ungkap Pak Samsul.
Seiring waktu berjalan, sekarang dampaknya sangat terasa. Mangrove yang sehat berhasil memperlambat laju abrasi dan menghalang banjir rob naik ke permukiman. Hutan mangrove seluas 40 hektare itu tampak rimbun. Di salah satu titik dekat tambak udang vaname, rata-rata batang pohonnya berdiameter tiga inci. Akarnya mencengkeram permukaan tanah berlumpur. Usia pohon sudah mencapai 12—15 tahun, di luar rumpun pohon yang sudah ada sejak lama dan berumur lebih tua. Pohon tertingginya mencapai 20 meter.
Pak Samsul sendiri tidak menyangka “bayi mangrove” yang ia asuh sejak kecil sudah tumbuh sebesar itu. Menurutnya, sama seperti manusia, merawat mangrove juga harus penuh kasih sayang.
Adagium “biarlah waktu yang menjawab” rupanya benar-benar terbukti di Teluk Pambang. Kakek dua cucu itu kini tidak perlu lagi repot-repot menanggapi cemoohan orang-orang.
Setiap sentinya berharga
Kegigihan Pak Samsul bersama dua kelompok pelopor pengelola mangrove di Teluk Pambang mengundang atensi banyak pihak. Sejumlah organisasi nirlaba ikut turun mengakselerasi perjuangannya merestorasi mangrove. Salah satu yang menonjol adalah YKAN, yang sejak awal 2022 lalu melaksanakan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di dua desa sekitar Sungai Kembung, yaitu Teluk Pambang dan Kembung Luar.
Satu di antara sekian inisiatif program tersebut adalah membantu dan mendampingi penyusunan peraturan desa. Temanya tentang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove melalui skema perhutanan sosial. Keluaran yang ingin dicapai adalah alam tetap lestari dan masyarakat tetap bisa memperoleh sumber penghidupan dari alam.
Proses panjang yang dilalui membuahkan hasil. Pada 25 Agustus 2023 lalu, pemerintah desa menetapkan Peraturan Desa Teluk Pambang Nomor 02 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial Desa Teluk Pambang. Poin penting dari aturan ini adalah pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), yang diketuai Indra Sukmawan (40), seorang wiraswasta lokal. Selain masih menjadi ketua KPM Belukap, di LPHD Pak Samsul juga duduk di Seksi Perlindungan dan Pengawasan. Putra menantunya, Hasnur Rasid (36), mengemban tugas di Seksi Perencanaan.
Selain KPM Belukap dan Perepat, LPHD menambah delapan kelompok baru, yaitu Bumi Hijau, Lenggadai, Nipah, Berembang, Akit, Api-api, Bumi Pesisir, dan Bakau Putih. Luas kawasan restorasi mangrove pun bertambah signifikan, dari 40 hektare direncanakan menjadi sekitar 1.001,9 hektare. Setiap kelompok bertanggung jawab merawat dan memantau rata-rata 100 hektare hutan mangrove.
Tim TelusuRI sempat diajak Pak Samsul melihat lebih dekat area hutan mangrove di sepanjang tepian menuju muara Sungai Kembung dan kawasan pesisir timur Teluk Pambang. Jalur yang akan dilalui juga menjadi rute patroli Pak Samsul selama empat kali dalam sebulan. Jika naik perahu lewat perairan, jarak dari titik mula dermaga—tempat perahu Pak Samsul terparkir—menuju Pantai Senekip sekitar 13—14 kilometer. Sekitar satu jam perjalanan dengan perahu bermesin 15 PK miliknya, yang juga biasa digunakan melaut untuk cari ikan.
“Ini mesinnya baru, bantuan program MERA,” ujar Pak Samsul menerangkan mesin tempel perahunya. “Mesin bapak sebelumnya hilang saat malam pulang dari melaut, karena dicuri orang. Bapak lupa bawa pulang.”
Air sedang pasang, yang memang merupakan kondisi ideal untuk membawa perahu ke laut. Di beberapa titik, bagian terdalam Sungai Kembung bisa mencapai 30 meter. Perahu itu meliuk lincah. Mengikuti alur anak sungai di tengah pepohonan mangrove.
Permukaan sungai kecokelatan, memantulkan bayangan pohon-pohon mangrove yang tumbuh merimbun. Beberapa buah dari jenis Xylocarpus granatum seukuran tempurung kelapa menggantung pada ranting yang ramping. Tampak satu-dua ekor biawak muncul ke permukaan lalu kembali menyelam. Sekeluarga monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) asyik bergelantungan dari satu dahan ke dahan lain.
Kami melihat lebih banyak kawanan burung khas pesisir ketika sudah di lepas pantai, antara lain burung kuntul dan elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster). Cuaca sedikit berangin sehingga menyebabkan laut lumayan berombak. Sayang kabut pagi itu cukup pekat sehingga menutupi daratan Kampung Segenting, Johor, Malaysia di kejauhan. Kami hanya menyaksikan bangunan tanggul pemecah ombak sepanjang 600 meter.
Di sepanjang pesisir itulah Pak Samsul dan para anggota kelompok lainnya menempatkan plot-plot penanaman mangrove. Terutama dekat kawasan wisata Pantai Senekip, perbatasan Desa Teluk Pambang dan Pambang Baru. Setiap plot tanam berupa rumpon berukuran 6×25,5 meter. Total ada 13 rumpon yang dikerjakan per kelompok.
“Sekarang pohon tertingginya [masih] sekitar satu meter. Yang lain enggak kelihatan kalau lagi pasang,” jelas Pak Samsul. Saat itu air sedang pasang setinggi 1—1,5 meter sejak pukul enam pagi. “Dulu bibir pantai agak jauh, sekitar 100—200 meter. Sekarang tenggelam [karena] laut makin naik.”
Pohon-pohon mangrove yang ditanam Pak Samsul dan kelompok lain merupakan hasil pembibitan di kebun belakang rumahnya. Sedikitnya ada tiga jenis mangrove yang dibudidayakan, yaitu belukap (Rhizophora mucronata), bakau putih (Rhizophora apiculata), dan api-api (Avicennia marina). Ketiganya memiliki keunggulan masing-masing.
“Api-api cenderung susah disemai dan lebih cocok [ditanam] di dekat perairan daripada di daratan, tetapi batang pohonnya akan tumbuh lebih besar. Kalau belukap atau bakau putih relatif lebih tahan hama,” terang Pak Samsul. Bibit mangrove siap ditanam jika sudah menginjak usia enam bulan.
Ribuan bibit mangrove siap tanam diburu banyak orang atau instansi tertentu yang ingin berkontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Biasanya dibeli dengan skema donasi untuk kegiatan pribadi, komunitas, hingga sektor pemerintahan. Baik di level nasional maupun internasional.
Saking tidak teganya mengeruk uang dari mangrove, ia menerapkan tarif donasi—yang rasanya—terlalu murah dan kurang sepadan dengan miliaran butir cucuran peluh yang menguap. “Per bibitnya Rp1.500—2.000,” kata Pak Samsul menunjukkan bibit setinggi 30—40 sentimeter.
Dalam satu bibit, harga donasi tersebut sudah mencakup biaya polybag, tanah, dan pengambilan propagul (indukan bibit mangrove). Propagul yang digunakan harus diambil dari pohon mangrove berusia minimal 15 tahun agar bibit tumbuh maksimal dan tahan hama.
Pasar bibit mangrove Pak Samsul termasuk salah satu yang terbesar di Riau, selain milik kelompok Pak Darsono di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ada juga pelaku lama di Dumai, tetapi skalanya lebih kecil.
Pak Samsul tak ambil pusing jika ada beberapa bibit yang gagal melewati “seleksi alam”. Biasanya pertumbuhan tunas kurang sempurna dan ia harus menggantinya dengan bibit baru. Mengulang proses dari awal. Namun, ia mengaku akan tetap menanam bibit tersebut. Setiap senti batang yang bertumbuh sangat berharga. Baginya itu seperti merepresentasikan komitmennya pada konservasi mangrove.
“Kalau tak laku tanam sendiri, kalau laku alhamdulillah jadi ekonomi. Pokoknya tanami terus,” ujar Pak Samsul tegas.
Masa depan perdagangan karbon
Per September 2023, Indonesia resmi terjun ke perdagangan karbon dunia. Langkah progresif tersebut ditandai dengan pemberian izin usaha penyelenggara Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Mekanisme teknis jual beli karbon diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Sistem pencatatan transaksi unit karbon dan basis data IDXCarbon terintegrasi dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sebagai implementasi dari Perjanjian Paris 2015 (COP21), sejak 2020 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) meminta setiap negara menentukan bentuk kontribusi iklim secara nasional, atau disebut Nationally Determined Contributions (NDCs). Langkah ini merupakan percepatan aksi untuk target jangka panjang menurunkan emisi hingga nol pada 2060.
Indonesia memiliki target mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen (dilakukan sendiri) dan 41 persen (melalui kerja sama internasional) pada 2030. Terdapat lima sektor, sesuai kategori NDC, yang menjadi fokus utama pengendalian iklim dan reduksi emisi melalui perdagangan karbon, yaitu energi, limbah, industri dan proses produksi, pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.
Siapa pun bisa terlibat dalam perdagangan karbon, selama mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Mulai dari perorangan, badan hukum, perusahaan, asosiasi, maupun kelompok masyarakat yang terorganisasi. Tidak terkecuali LPHD Teluk Pambang.
Sebelum bergerak lebih jauh di Bursa Karbon, didampingi oleh YKAN, di tahap awal LPHD Teluk Pambang sedang mengajukan permohonan ke Menteri LHK untuk mendapatkan payung hukum pengelolaan hutan desa. Luasnya 1.001,9 hektare, dengan rincian sekitar 996 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan sisanya Areal Penggunaan Lain (APL). Tutupan lahan tersebut didominasi oleh vegetasi mangrove, yang juga diandalkan untuk menghasilkan nilai ekonomi melalui perdagangan karbon.
Mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, rehabilitasi mangrove merupakan satu dari 22 aksi mitigasi perubahan iklim. Bersama dengan gambut, pengelolaan mangrove juga ditetapkan sebagai komoditas perdagangan karbon di sektor kehutanan.
Rasid menyatakan perdagangan karbon menjadi salah satu tujuan pemanfaatan kawasan hutan desa Teluk Pambang. Target lainnya adalah perlindungan mangrove, ekowisata, budidaya perikanan, produk turunan mangrove, dan pertanian—kelapa, karet, pinang, dan sawit dalam skala kecil. Ia mengakui ada potensi ekonomi luar biasa dari perdagangan karbon mangrove.
Pria kelahiran Teluk Sungka, Indragiri Hilir itu sudah mencoba membuat perhitungan sederhana. Dari satu hektare lahan mangrove, yang berisi sedikitnya 5.000 pohon dengan jarak tanam 50—100 sentimeter, berdasarkan hasil penelitian YKAN terdapat potensi 1.900 ton karbon yang dihasilkan. Dengan asumsi harga termurah $5 per ton karbon, maka LPHD bisa menerima uang $9.500 atau sedikitnya berkisar 145 juta rupiah. Sementara luas hutan desa yang akan dikelola mencapai seribu hektare. Bisa dibayangkan betapa besar potensi pundi-pundi uang yang akan diterima. Hasilnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masa depan cerah tampak nyata adanya untuk Teluk Pambang. Belum lagi peluang dari pengelolaan ekowisata maupun pembuatan produk turunan mangrove.
Setiap negara di dunia memang diminta “ambisius” mengurangi emisi karbon. Namun, di sisi lain perdagangan karbon seperti dua mata pisau. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, mengingatkan potensi kerawanan dan ketidakadilan dari konsep perdagangan karbon untuk mewujudkan keadilan iklim dunia.
Dalam tulisan opini berjudul Keadilan Iklim: Keluar dari Jebakan Greenwashing di Forest Digest (04/12/2023), ia meminta negara mewaspadai modus greenwashing. Greenwashing adalah situasi paradoks. Seseorang maupun perusahaan melakukan klaim palsu terhadap produksi atau tindakan yang dibuat atas nama ramah lingkungan dan keberlanjutan. Menutupi realitas sebenarnya, yang acap kali bertolak belakang dengan bahasa-bahasa manis di permukaan.
Hariadi mengutip salah satu catatan pemikiran dari Bernice Maxton-Lee, yang menulis Narratives of sustainability: A lesson from Indonesia (2018) di jurnal Soundings terbitan Lawrence Wishart, Inggris. Poinnya, jika pengelola hutan—dalam hal ini masyarakat akar rumput—bisa dibayar mahal agar membiarkan hutan mereka menyerap karbon, sementara polusi dan buangan emisi yang dihasilkan oleh pembayar karbon tersebut di tempat lain seolah dapat “dikompensasi”, berarti perdagangan karbon malah bukan menjadi solusi berkelanjutan. Justru yang terjadi adalah ketidakadilan iklim.
Di satu sisi berjuang menghambat laju pendidihan global, di sisi lain aktivitas industri ekstraktif terus berjalan dan kadang lepas kontrol. Di sinilah peran pemerintah untuk lebih berani menjadi batas. Salah satu upaya mendesak yang bisa dilakukan adalah membuat Undang-Undang (UU) khusus tentang Keadilan Iklim. Sebuah peraturan flagship, mengatur aksi iklim yang berbasis keadilan ekonomi dan berpihak pada masyarakat. Merekalah kelompok yang hidup paling dekat dan sangat mengenal dengan alamnya sendiri. Masyarakat berhak memilah partner pembayar karbon yang tidak berpotensi greenwashing.
Yang menarik, Rasid seolah sadar melihat kacamata lain dari perdagangan karbon, tetapi tidak ia sampaikan secara eksplisit. Ia hanya bilang, tidak ingin terlalu membubungkan harapan pada perdagangan karbon semata. Ada urgensi yang jauh lebih penting untuk dikejar.
Dengan berulang-ulang, ia menekankan kepada semua kelompok tetap fokus sesuai target utama pembentukan LPHD, “Kita [harus] lebih banyak [memperluas kawasan] perlindungan daripada pemanfaatan, karena [prioritas kawasan] perlindungan bisa menjadi acuan untuk perdagangan karbon ke depannya.”
Senada dengan sang menantu. Meskipun menyiratkan asa, Pak Samsul menitip pesan penting. Mengutip perkataan bapak mertuanya, Rasid berujar, ”Kita menanam satu pohon mangrove itu sudah dapat pahala. Kita enggak usah hitung duitnya. Yang penting banyak manfaatnya [bagi] orang di seluruh dunia, walaupun [hanya] dari satu batang.”
Tidak ada rem di kaki Pak Samsul
Jauh sebelum dunia mulai berkampanye mewujudkan keadilan iklim, Pak Samsul sudah menciptakan keadilan iklimnya sendiri. Dari puluhan hektare yang ditanam sendirian selama hampir dua dekade, kini meluas menjadi 1.001,9 hektare. Dirawat bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat anggota LPHD Teluk Pambang.
Ia telah memastikan jaminan lingkungan hidup dari asrinya hutan mangrove kepada anak cucunya. Menyediakan ruang tumbuh burung-burung, herpetofauna, hingga menyamankan tempat tidur bagi kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Tidak akan mudah mencari orang segila dan seulet Samsul Bahri. Apalagi mengharapkan pada anak-anak muda. Satu banding seribu—bahkan sejuta. Kenyataan ini diakui Herna Hernawan atau Pak Wawan (57), guru olahraga SMAN 3 Bengkalis kelahiran Garut dan anggota KPM Belukap. Ketika ditanya testimoninya soal Pak Samsul, ia mengacungkan dua jempol dan menggelengkan kepala; tanda setuju jika tetangganya itu memang gila. Begitu pun Rasid, yang merasa masih harus banyak belajar. Memelihara dan mempertahankan yang sudah ada tidak kalah berat daripada menanam.
Apalagi masih banyak tantangan yang dihadapi, antara lain regenerasi. Dari 105 anggota LPHD Teluk Pambang, yang tersebar ke 10 kelompok, hanya sekitar 10—15 persennya merupakan anak muda.
Menurut Rasid, kebanyakan dari anak-anak muda di Teluk Pambang lebih memilih mencari kerja atau melanjutkan kuliah di luar Bengkalis. Kalaupun ada, perlu waktu lama untuk dibina. Kecanduan pada gawai dan gim daring juga berpengaruh besar. Berkecimpung di mangrove tampak tidak menjanjikan bagi mereka.
Namun, Rasid tidak ingin terlalu khawatir. Ia memiliki strategi khusus dalam jangka panjang untuk mengatasi itu.
“Kalau dari aku pribadi, aku pengin jalan [kerja] dengan yang tua dulu. Begitu berhasil, baru kita gandeng anak muda,” ujarnya. Ia memahami anak-anak muda perlu ruang untuk tetap hidup, sehingga lebih memilih pekerjaan yang pasti menghasilkan.
Memupuk harapan regenerasi berkelanjutan perlu energi dan sinergi. Itulah yang diharapkan Pak Samsul. Ia sudah babat alas, tinggal yang muda yang meneruskan perjuangannya. Ia hanya ingin pemerintah pusat dan daerah mau bersinergi dengan kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove, agar ada sinkronisasi kebijakan dan jaminan keberlanjutan.
Selain tantangan regenerasi, LPHD Teluk Pambang juga masih harus siaga menghadapi “musuh lama”, yaitu perambahan dan pembalakan liar oleh pengusaha panglong. Meskipun saat ini sudah tidak beroperasi di wilayah Teluk Pambang, tidak menutup kemungkinan para pembalak tersebut akan kembali secara diam-diam. Di sisi lain, Pak Samsul sebenarnya masih berupaya merangkul pemain panglong atau orang suku lokal agar ikut menjaga mangrove.
Pak Samsul sempat mengenalkan kami kepada Indra, orang suku Akit, kelompok adat terpencil di Bengkalis. Dulunya ia bersama istri dan seorang anaknya tinggal di rumah apung di pinggiran Sungai Kembung. Dekat Jembatan Kembung Luar dan pabrik panglong arang. Kini sudah pindah dan membangun rumah panggung di satu area lahan pembibitan mangrove KPM Belukap. Sosoknya malu-malu. Meski tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, ia murah senyum.
“Dulu kerjanya cari kayu mangrove buat panglong. Makan cari ikan di sungai,” tutur Pak Samsul. “Bapak enggak tega lihatnya. Makanya bapak suruh pindah ke sini dan bantu bapak ngurus mangrove, biar anak dan istrinya enggak tinggal di pinggir sungai lagi.”
Perjalanan konservasi memang selalu akan mengesampingkan garis finis. Bukan cuma lembaga yang harus terus berjuang, Pak Samsul pun tidak mengenal kata selesai dalam kamus hidupnya. Tidak ada rem sepakem apa pun yang bisa menghentikannya, sampai napas melepas embusan terakhir.
Selama istri merestui, Pak Samsul tidak akan berhenti menanam dan merawat mangrove di Teluk Pambang. Kendati kurang begitu memahami dunia konservasi mangrove, Bu Siti Wasiah mengaku selama ini selalu mendukung dengan caranya sendiri.
“Sudah terserah Bapaklah,” celetuk Bu dengan senyum lebar, “saya cuma bisa bantu dari dapur saja, masak. Bikin makanan buat keluarga.”
Tidak terkecuali malam itu. Hidangan nasi putih, bihun, sayur tumis tempe, kari ayam, dan kerang tersaji di ruang tamu rumah Pak Samsul. Tak lupa camilan keripik ubi balado bikinan Bu Siti Wasiah dan anggota kelompok UMKM Asy-Syura. Kami berkumpul, makan, dan berbincang hangat serasa tiada sekat. Suasana seperti ini yang mungkin menguatkan tekad baja Pak Samsul mengasihi mangrove sampai detik ini. (*)
Referensi
Fikri R. (2006). Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Perubahan Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Miswadi, Firdaus, R., dan Jhonnerie, R. (2017). Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh masyarakat Suku Asli Sungai Liong Pulau Bengkalis. Dinamika Maritim Volume 6 Number 1, Agustus 2017.
Foto sampul:
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.