Tiga truk pengangkut sampah melaju beriringan dari arah Padalarang menembus kemacetan yang rutin terjadi di depan Pasar Rajamandala, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (30/7/2022) pagi, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1444 Hijriyah, yang juga merupakan hari libur nasional.
Ketiga truk sampah itu sedang menuju TPA Sarimukti, yang berlokasi di antara Rajamandala dan Cipeundeuy. Meski hari itu adalah hari libur, truk-truk sampah itu tetap beroperasi menunaikan tugasnya.
Bagi mereka yang rutin melintasi Jalan Raya Rajamandala, pemandangan truk sampah yang wara-wiri lengkap dengan tebaran aroma sampahnya yang menyengat adalah hal yang biasa.
Saban hari, dari pagi hingga menjelang malam, truk-truk sampah bolak-balik seperti setrikaan di ruas Jalan Raya Rajamandala. Selain menebar aroma tak sedap, tak jarang truk-truk sampah itu membuat kemacetan lumayan panjang tatkala mesti berbelok dari Jalan Raya Rajamandala ke Jalan Ciburahol yang menuju TPA Sarimukti maupun sebaliknya.
Jarak dari Pasar Rajamandala ke TPA Sarimukti kurang lebih sekitar 5,8 kilometer ke arah utara. Sebagian besar jalannya berupa beton dengan kontur naik turun. Maklum, berada di wilayah pegunungan. Lokasi TPA Sarimukti sendiri berada dalam sebuah cekungan yang dikelilingi gunung dan hutan, yang jika hujan lebat, di beberapa titiknya, rawan mengalami longsor.
Sabtu pagi itu, setelah menikmati bubur kacang hijau ketan hitam dari pedagang yang mangkal di depan Pasar Rajamandala, saya kayuh sepeda lipat besi 16 inci, single speed buatan Tiongkok, ke arah Jalan Ciburahol, mendahului ketiga truk sampah yang sedang berjuang untuk lepas dari kemacetan yang menyergap Jalan Raya Rajamandala.
Memasuki Jalan Ciburahol, suasana lengang. Satu dua sepeda motor melintas, baik dari arah yang sama maupun dari arah berlawanan. Setelah melaju beberapa ratus meter, saya berpapasan dengan lima truk sampah yang baknya telah kosong melompong setelah usai menumpahkan sampahnya di TPA Sarimukti.
Ceceran-ceran sampah saya temui di jalan yang saya lewati. Tentu saja, ceceran sampah itu tak lain dan tak bukan berasal dari truk-truk pengangkut sampah.
“Nya, eta pan treuk runtah. Aya we nu bacacar,” (Ya, itu dari truk pengangkut sampah. Ada saja sampah yang tercecer) kata salah seorang pemilik warung yang lokasinya persis menghadap Jalan Ciburahol, berbicara dalam bahasa Sunda, saat diminta komentarnya mengenai ceceran sampah yang mengotori Jalan Ciburahol.
Kendati sebagian besar bak truk-truk sampah yang menuju TPA Sarimukti itu sudah berusaha dilapisi penutup, toh karena rata-rata truk sampah itu membawa sampah melebihi kapasitas truk. Maka ada saja sampah yang terlempar atau terbang dari bak truk, dan langsung jatuh mengotori jalan.
Hawa sejuk pegunungan, kicauan sejumlah burung liar di rerimbunan pohon tinggi, dan kupu-kupu yang menari-nari mengelilingi bunga kaliandra putih, yang menghiasi sebagian sudut ruas Jalan Ciburahol yang saya lewati pagi itu, tak bisa sepenuhnya saya nikmati akibat terdistorsi oleh panorama ceceran sampah berikut aromanya yang menusuk-nusuk hidung.
Semakin mendekati TPA Sarimukti, ceceran sampah terlihat semakin banyak. Oleh warga, sampah yang berceceran itu hanya ditepikan ke pinggir jalan. Akibatnya, aneka sampah kemudian memenuhi pinggir jalan.
Di sebuah tikungan, beberapa ratus meter sebelum gerbang TPA Sarimukti, saya melambatkan laju sepeda. Beberapa truk sarat sampah tampak sedang antre memasuki lokasi TPA. Perlahan, saya melintas melewati barisan truk sampah itu.
Persis di depan gerbang TPA, saya tuntun sepeda dan masuk ke lokasi TPA. Jalan menurun. Becek. Licin. Aneka jenis sampah terhampar di sekeliling TPA. Sejumlah truk sampah juga harus antre menunggu giliran memuntahkan sampah yang diangkutnya.
Terlihat sebuah buldoser sanitasi bergerak maju mundur merapikan gundukan-gundukan sampah yang baru saja dimuntahkan dari truk-truk pengangkut sampah.
Sementara itu, di sudut lain, sejumlah pria terlihat sibuk mengais-ngais tumpukan sampah. Mereka memungut sampah-sampah yang sekiranya laku dijual, seperti potongan plastik, pipa, besi atau botol. Sampah-sampah itu mereka kumpulkan untuk kemudian mereka setorkan kepada pengepul.
Lingkungan TPA sampah yang mungkin bagi sebagian besar orang menjijikkan, bagi para pemungut sampah itu justru adalah ladang “harta karun” yang mengucurkan sejumlah rupiah untuk menumbu kehidupan mereka. Sampah-sampah yang kita buang justru adalah rejeki buat mereka.
Luas TPA Sarimukti sekarang ini sekitar 25 hektare. Awalnya, TPA Sarimukti hanya difungsikan sebagai TPA darurat, menyusul meledaknya TPA Leuwigajah, Cimahi, pada awal 2005 silam. Namun, sejak tahun 2006, TPA Sarimukti lantas difungsikan sebagai TPA utama untuk menampung sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat.
Saat ini, TPA Sarimukti menampung rata-rata 2.000 ton sampah per hari. Padahal, TPA ini disiapkan hanya untuk menampung 1.200 sampah ton per hari. Jadi, ada kelebihan sekitar 800 ton sampah per hari.
Ada yang berpandangan bahwa jumlah produksi sampah berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi. Maka, pengendalian hasrat konsumtif diyakini dapat turut berkontribusi menekan jumlah sampah yang kita produksi.
Realita menunjukkan tidak sedikit dari kita yang berbelanja atau membeli barang atau makanan didorong sepenuhnya oleh faktor keinginan belaka. Bukan oleh faktor kebutuhan. Akibatnya, kita cenderung boros dan tak sedikit barang atau makanan yang kita beli itu akhirnya mubazir dan akhirnya menjadi sampah yang mengotori lingkungan.
Oleh karena itu, membiasakan membeli barang atau juga makanan-minuman yang selaras dengan yang kita butuhkan bakal membawa perbaikan signifikan pada kondisi lingkungan kita, lantaran akan turut mengurangi jumlah produksi sampah yang kita hasilkan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.