Ekspresi wajah Anthoni, seorang teman berkewarganegaraan Prancis sulit dibaca kala melihat pemilik lapak makanan di salah satu pesisir Pantai Padang membuang sampah langkitang dan pensi begitu saja di atas pasir pantai. Pensi dan langkitang adalah kudapan khas di Pantai Padang yaitu jenis keong dan siput air tawar yang disajikan dengan bumbu rempah khas Sumatera Barat. Perpaduan bumbu gulai nan gurih serta pedas, membuat cemilan ini cukup populer bagi masyarakat Minangkabau.

Cara memakan langkitang ini pun cukup rumit, mesti dihisap untuk mengeluarkan dagingnya atau dalam bahasa Minang dikenal ‘dicucuik’. Langkitang dan pensi biasanya disajikan dalam piring plastik kecil, dibanderol dengan harga Rp5 ribu per porsi. Untuk minuman pendamping dua kudapan tersebut terdapat kelapa muda yang disajikan dalam bentuk utuh.

Sisa sampah langkitang dan pensi serta kelapa dibuang begitu saja oleh penjual di salah satu lapak di mana saya, Anthoni, dan seorang teman lainnya sedang istirahat sejenak di tepi pantai atau kerap disebut taplau. Kami duduk di bangku plastik dengan dipayungi oleh tenda warna-warni yang terdapat di bibir pantai. 

Saya berusaha abai terhadap pandangan Anthoni dan memilih menatap piring pensi seraya menyeruput pelan kelapa muda. Sementara teman saya sibuk menjelaskan ke Anthoni betapa buruknya masyarakat lokal perihal sampah. Meskipun sampah organik tetap saja tidak sedap dipandang oleh mata. Teman saya pun berbagi keluhan terhadap tumpukan sampah lainnya dihadapan kami. 

“Ini karena musim hujan makanya sampahnya berlabuh ke pinggir pantai,” gumam saya pelan yang membuat teman saya dan Anthoni menanggapi dalam diam. Kami sibuk tenggelam dengan pikiran masing-masing terhadap pemandangan buruk tersebut. Biasanya, pada musim hujan kuantitas sampah meningkat lebih banyak dari biasanya. Pada musim hujan juga, sampah-sampah di kawasan penduduk dibuang ke muara dan dibawa kembali oleh laut ke bibir pantai. Berserakan begitu saja. 

Sampah-sampah di pantai Padang
Sampah-sampah di pantai Padang/Eka Herlina

Tadinya saya tak ada keinginan untuk mengajak Anthoni dan teman saya ke taplau menghabiskan sisa sore hari. Saya cukup kebingungan kala pacarnya Anthoni, yang tak lain teman saya meminta untuk menemani menghabiskan satu hari di Padang. Sebagai penikmat jalanan, biasanya bule gitu paling senang hal-hal yang berbau alam. Maka saya mengajak untuk menelusuri kawasan Pecinan di Padang atau Pondok Cina menuju Bukit Gunung Padang. Menelusuri jalanan yang dipenuhi oleh kota tua dan berlabuh menapaki puluhan anak tangga menuju Bukit Gunung Padang. Oh, ya kami mesti membayar retribusi yang saya lupa berapa harga masuknya, dan tak ada perbedaan harga antara turis asing dengan lokal, serta cukup terjangkau.

Bawa sampah pulang bersama/Eka Herlina

“Eka di sini banyak sampah botol mineral ya!” seru Anthoni seraya melepas pandang ke bawah melihat Padang dari ketinggian sesampainya kami di atas. Hanya ada kami bertiga saat itu di tengah puluhan pohon layaknya hutan kecil yang menenangkan di Taman Siti Nurbaya.

Saya cuma tersenyum. Tak ada tong sampah di taman yang berada di puncak Bukit Gunung Padang saat itu. Membawa sampah tersebut turun adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan sebagai pejalan. Saya terlalu malas untuk meluapkan sumpah serapah dan keluhan tentang sampah saat itu. 

Saya cukup kelelahan saat turun ke bawah usai melihat Kota Padang dari ketinggian dan menghirup udara segar dibarengi dengan pemandangan tak mengenakan, yakni sampah plastik dimana-mana. Terkadang setiap kali mengunjungi tempat ini bersama teman dari luar kota, saya suka mengkhayal tentang tata kelolanya. Misalnya saja, kebersihan dan rumah penduduknya dicat dengan lukisan mural seperti Gamcheon Culture Village Busan, Korea Selatan.

Saya tidak tahu apakah ada sosialisasi pemerintah setempat dengan penduduk di sekitar area Bukit Gunung Padang soal pariwisata. Menurut saya, bisa saja kawasan ini ditata lebih apik supaya lebih nyaman dikunjungi. Kebersihan, kerapian, keramahan, dan tersedianya kamar mandi umum yang bersih dan tentu saja toko souvenir bisa diagendakan.

Lalu, biaya retribusi bisa diimbangi dengan berbagi keuntungan bersama masyarakat yang tinggal di sekitar sebagai bentuk simbiosis mutualisme untuk menjaga dan merawat kebersihan. Atau bisa juga pengelola menyediakan fasilitas seperti tiket yang dibeli bisa ditukar dengan hasil karya masyarakat setempat.

Bagaimana pun pariwisata adalah salah satu sektor penting dalam meningkatkan perekonomian. Sayangnya, apalah artinya saya, cuma remahan rengginang yang bisanya ngeracau di sosial media.

Entah faktor usia yang sudah menua, atau mood yang sudah rusak dengan perihal sampah saya tidak punya energi cukup untuk kembali ke bagian pusat Kota Padang. Masih ada sisa waktu menjelang penghujung sore sebelum Anthoni dan teman saya beranjak ke luar Kota Padang, tepatnya ke Payakumbuh. Terlintas saat itu mengajak ke taplau untuk mengistirahatkan diri di pinggir pantai. Pada sopir transportasi online saya memintanya untuk diturunkan dimana kami bisa menikmati pensi dan langkitang serta kelapa muda. Pada akhirnya berlabuh di Pantai Muaro Lasak yang menjadi ikon pariwisata Padang. 

Sampah yang menghiasi pesisir pantai di Padang
Sampah yang menghiasi pesisir pantai di Padang/Eka Herlina

Saya tak memiliki kesan menyenangkan soal pesisir pantai saat menemui sampah yang menghiasi sore nan mendung pada dua tahun yang lalu kala saya menghabiskan sore di Muara Lasak bersama Anthoni dan pacarnya (saat ini sudah menjadi istrinya). Sebagai masyarakat Padang, entah kenapa saya enggan menghabiskan waktu di tempat tersebut kecuali jika ada teman yang datang berkunjung dan meminta untuk menemani menghabiskan waktu di Padang.

Saya baru menyadari ternyata cukup lama juga saya tak menyinggahi salah satu tempat favorit menghabiskan senja dengan cemilan langkitang, pensi, dan kelapa muda segar—dan pandemi membuat saya agak khawatir untuk menuntaskan rindu terhadap cemilan lezat tersebut di Pantai Muaro Lasak saat ini.

Saya lebih memilih ke pesisir pantai dekat rumah, yang bukan kawasan wisata, menyaksikan debur ombak di pagi hari usai bersepeda keliling kompleks perumahan. Tak ada langkitang, pensi, dan kelapa muda. Suasananya sepi dari pengunjung wisata, namun menyedihkan adalah tetap saja sampah berserakan di sepanjang pantainya.

Maka maafkan saya yang cuma berkhayal mengenai kawasan pesisir pantai di Padang bisa terbebas dari sampah. Meskipun dalam pantauan saya, sudah ada beberapa gerakan pemuda yang sadar akan lingkungan kerap melakukan aksi sosial memungut sampah-sampah di pesisir, tapi tetap saja persoalan sampah adalah tanggung jawab individu dan bersama.

Perlahan dan pelan-pelan memberi sosialisasi berkelanjutan tentang kesadaran lingkungan bagaimana memperlakukan sampah sebagaimana mestinya setidaknya langkah yang harus konsisten diberikan kepada masyarakat. Memberi pelatihan dalam pemilahan sampah serta menyediakan bank sampah. 

Maafkan saya, semangat jiwa muda saya sudah memudar seiring rasa kesal pada berjamuran kopi kekinian yang menggunakan cup plastik sekali pakai dan juga perilaku masyarakat yang tidak sadar-sadarnya membuang sampah begitu saja. Sementara itu, di sudut warung kopi kekinian saat menyelesaikan tulisan ini, saya mengukir harapan adanya program tanggung jawab perkumpulan warung kopi kekinian setempat terhadap sadar lingkungan, wah alangkah menyenangkan bukan?

Maafkan diri ini yang tak bisa mengajak barista kopi kekinian untuk berbicara tentang ide ini. Cuma bisa bercerita tentang harapan-harapan yang suatu hari harapan ini tidak berlabuh ke tong sampah. Terabaikan dan menguap begitu saja. Semoga suatu hari nanti, bisa rebahan di atas pesisir pantai di Kota Padang tanpa terganggu dengan sampah yang berserakan begitu saja. Ya, semoga. 


Sampah Kita merupakan sebuah tajuk untuk berbagi pengalaman refleksi tentang sampah. Sampaikan cerita dan refleksimu soal sampah, bagikan tips dan kiat menyelesaikannya di telusuri.id/sampahkita.

Sampah Kita didukung oleh Lindungi Hutan dan Hutan Itu Indonesia.

Tinggalkan Komentar