“Sudah dari dulu sampah dibuangnya ke jagang juga nggak kenapa-kenapa” ujar salah seorang ibu-ibu yang menanggapi dengan bahasa Jawa halus.

Malam itu, beberapa tahun yang lalu, kami (beberapa mahasiswa yang sedang KKN di sebuah dusun di Jawa Tengah) duduk bersama ibu-ibu warga dusun sekitar selepas pengajian mingguan. Di tengah bercengkrama dan melahap suguhan tuan rumah, Pak Kades mampir menyampaikan informasi program yang dicanangkan Pak Presiden terkait pengukuran lahan untuk sertifikasi tanah dan secuil informasi mengenai pemilu presiden.

Setelah Pak Kades pamit, seorang mahasiswa pria mampir untuk mengajukan pengelolaan program sampah yang bisa dikembangkan bersama karang taruna desa. Namun ibu-ibu nampak tidak antusias.

Pemilihan Sampah

Foto: Slum Dwellers International (Flickr)

“Sudah dari dulu sampah dibuangnya ke jagang juga nggak kenapa-kenapa” ujar salah seorang ibu-ibu yang menanggapi dengan bahasa Jawa halus.

Setelah beberapa kali mencoba menjelaskan lebih lanjut, tidak nampak reaksi berbeda dari para ibu-ibu. Menyadari hal itu si mahasiswa pun menutup diskusi, berterima kasih dan pamit pulang. 

Sebelum tidur, aku mengulang-ulang skenario yang barusan kusaksikan itu di kepalaku. Muncul berbagai pertanyaan di pikiranku, salah satunya adalah “kenapa ya mereka menolak untuk mengubah kebiasaan mereka?” 

Soal Kebiasaan

Di pikiranku aku pun bernostalgia pengalaman berbeda yang kurasakan tepat setahun sebelumnya. Saat itu aku adalah mahasiswa tahun ke-3 yang tengah melakukan pertukaran pelajar ke salah satu negara Nordik. Aku dan kedua teman sekelasku belajar selama 2 semester di sebuah kota industri bernama Malmö di provinsi Skåne, di area selatan Swedia.

Sewaktu di sana ada beberapa kebiasaan yang sulit kuubah. Pertama, tidak adanya Ayam Geprek Bu Rum, dan yang kedua adalah cara membuang sampah yang ribet.

Di asrama khusus pelajar mancanegara, tidak semua mahasiswa pertukaran pelajar tahu cara memilah sampah layaknya warga Skandinavia. Maka, selama masa orientasi pihak asrama memuat informasi sistem pemilahan sampah mereka.

Bukan, ini bukan masalah pemilahan sampah organik dan sampah anorganik seperti yang biasa kita temukan di Indonesia. Sistem pengolahan sampah di sana, khususnya di asrama dibagi menjadi 5 bagian, yakni sampah gelas, sampah dus, sampah karton, sampah plastik, dan sampah kaleng. Ini belum termasuk sampah organik yang wajib dibuang setiap malam menggunakan kantong sampah kertas khusus. 

Awalnya aku menganggap enteng hal ini. Aku membuang dus bekas susu ke tempat sampah untuk dus, toples saus pasta bekas ke tempat sampah kaca. Mudah, tidak masalah.Pemilihan Sampah

Pada hari piket, aku mengumpulkan kantong-kantong sampah organik ke dalam plastik sampah hitam besar agar lebih mudah dibawa. Kemudian aku membawa kelima jenis sampahnya turun untuk dibuang ke ruang pembuangan sampah di luar gedung.

Di lain hari, kulihat seorang teman selantai mengambil sampah kaca bekas pasta dari tempat sampah dan mencucinya sambil menggerutu. Rupanya dia kesal bahwa masih ada yang tidak membersihkan sampah gelas kacanya.

Aku pun tertegun, pikirku “oh kita harus membersihkannya dulu sebelum membuangnya?”. Walaupun sampah yang diambilnya bukan milikku, dengan sedikit malu-malu aku pun memancing penjelasan lebih lanjut mengenai pembuangan sampah yang benar. 

Setelah ngobrol panjang lebar, ternyata cara buang sampah yang selama ini kulakukan masih salah. Ketika membuang sampah dus susu, seharusnya aku mencuci dus tersebut lebih dulu supaya bisa didaur ulang, begitu juga dengan toples kaca bekas saus pasta. Selain itu, aku juga harus memisahkan dulu dus susu dengan tutup plastiknya karena pengolahan dua jenis sampah ini berbeda meski berasal dari satu kemasan yang sama.

Kemudian yang paling penting adalah jika membuang sampah organik menggunakan kantong plastik di ruang pembuangan sampah maka pengelola gedung bisa dikenakan denda.

Daur Ulang Sampah di Seminyak Bali

Daur ulang sampah di Seminyak Bali/Johannes P Christo (TEMPO)

Kalau dilihatnya saat ini, mungkin kita kagum atau iri dengan pengelolaan sampah di Swedia. Tapi, jangan salah, sistem ini juga tidak diterapkan secara instan. Sejarahnya, isu lingkungan di Eropa pada abad ke-19 memang merupakan isu yang didominasi oleh masyarakat elit (Rootes C, 2008). Lambat laun, kepedulian masyarakat meningkat melalui kebijakan yang mempertimbangkan aspek lingkungan. 

Swedia menerapkan sistem deposit kaleng bekas pada 1984, menyusul botol pada 1994. Artinya, sistem pendukung pengelolaan sampah itu, dan sosialisasinya, sudah terjadi sejak dua puluh-an tahun lalu. Pastinya bukan hal mudah untuk menerapkannya. 

Bahkan sampai sekarang pun, Swedia masih melakukan upaya-upaya perbaikan. Misalnya yang dilakukan oleh Beteendelabbet alias ‘laboratorium tingkah laku’. Fokus organisasi tersebut adalah mengubah cara masyarakat Swedia hidup agar lebih berkelanjutan. 

Ida Lemoine, pendiri Beteendelabbet, mengatakan tujuan mereka adalah membuat layanan yang memudahkan orang melakukan hal yang benar. “Kita harus bisa menjadikan diri kita sendiri, sebagai konsumen, mau berbagipakai dan pakai ulang berbagai gadget, pakaian dan perabotan. Bahkan ruang kerja dan rumah,” kata Lemoine

Butuh Waktu dan Upaya Lebih

Kalau Swedia, yang relatif kecil dibandingkan Indonesia, butuh waktu lama untuk menerapkan sistem mereka. Dan masih terus melakukan perbaikan. Apakah kita mau berharap bahwa omongan mahasiswa ‘sok tau’ di depan warga bisa mengubah perilaku? Jelas tidak. 

Jelas butuh upaya yang lebih menyeluruh. Misalnya, kebijakan soal sampah ini juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Mengutip Kang Bagja, pendiri ForestDigest, saat menceritakan tentang pencapaian warga Desa Bendungan. Ia mengatakan, kebijakan yang berfokus lingkungan akan menghasilkan peningkatan perekonomian yang lebih baik. 

Sepulang dari dua bulan mengabdi di dusun itu, aku menceritakan hal ini ke Bapak. Bertemu dan mensosialisasikan program perusahaan kepada warga merupakan bagian dari pekerjaan Bapak. Aku pun menceritakan program pengolahan sampah itu kepada Bapak.

Mendengar itu Bapak pun menjawab dengan santai “Nih ya, bertahun-tahun mereka buang sampah ke jagang, dari kecil mereka diajarkan kalo buang sampah ya ke jagang, terus ada mahasiswa KKN yang baru datang tiba-tiba nyuruh jangan buang sampah ke jagang, ya mana bisa!”

Mendengar tanggapan Bapak, pikirku “ah ternyata memang tidak bisa semudah itu ya mengubah kebiasaan dan cara hidup di tempat yang bukan kampung halaman sendiri. Pastinya nggak mungkin dilakukan hanya dalam kurun waktu 2 bulan oleh anak-anak yang baru tahu teori.”

Dari situ aku belajar, mungkin warga setempat punya kearifan lokal mengenai pembuangan sampah. Siapapun patut memahami dari mana datangnya kearifan itu dan mengerti asal-usul sebuah kebiasaan, sebelum serta-merta mengubahnya. Lain ladang, lain belalang.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar