Akhir-akhir ini kita sering mendapati berita yang tidak menyenangkan; pemaksaan atribut keagamaan kepada siswa sekolah yang berbeda agama, pengrusakan makam oleh segerombolan bocah, hingga pelarangan izin pendirian tempat ibadah. Kasus-kasus di atas merupakan contoh intoleransi yang terjadi di negara kita.
Pada tanggal 3-4 Desember lalu Konsorsium CREATE (Creative Youth for Tolerance) mengadakan program Ruang Ragam Karya: Coaching Clinic—serangkaian pelatihan dan lokakarya pembuatan video untuk siswa sekolah menengah dan madrasah aliyah negeri yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa mengenai isu toleransi, pluralisme, dan kesetaraan gender, serta literasi media. Kegiatan ini dilaksanakan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Sesi kali ini berlangsung di Jawa Barat, dan dilaksanakan secara daring.
Toleransi Berbudaya, Media, dan Realita
Ruang Ragam Karya: Coaching Clinic sesi pertama ini bertemakan “Toleransi Berbudaya, Media, dan Realita” yang membahas bagaimana pengaplikasian toleransi, pluralisme, dan kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari, memahami bentuk diskriminasi di media sosial, serta belajar cara melakukan riset dengan benar.
Pemateri pada sesi pertama ini yakni Adi Marselia dari Aliansi Jurnalis Independen. Ia merupakan seorang wartawan senior yang sudah lama berkecimpung di dunia media, semenjak 2003. Ada banyak pencapaian yang telah diraihnya selama menjadi jurnalis diantaranya adalah Adiwarta Sampoerna 2006 untuk kategori Hard News Bidang Sosial, pemateri dalam acara Basic Photography oleh WWF pada 2013, dan juga pernah menerima hibah liputan dari Global Anti Incinerator Alliance pada 2020.
Sesi dimulai dengan Adi menanyakan kepada para peserta apa pengertian dari intoleransi. Para peserta antusias menjawab pertanyaan Adi. Salah satu peserta, Kayla menjelaskan bahwa intoleransi merupakan istilah yang digunakan untuk mengimplementasikan sikap tidak menghargai atau menghormati perbedaan yang ada baik suku, ras, gender, dan lain lain. Sedangkan menurut Aldi, intoleransi adalah pandangan yang mengabaikan seluruh nilai-nilai dalam toleransi dan merupakan sikap tidak tenggang rasa.
Adi menyebutkan satu-satu pendapat para peserta di Google Jamboard dan mengapresiasi peserta yang telah partisipatif menjawab. Ia kemudian melontarkan satu pertanyaan kembali, “Apakah Papua harus tetap di NKRI?” Tak disangka, banyak dari peserta mengiyakan bahwa Papua harus tetap jadi bagian NKRI.
“Dasar hukum Indonesia tidak ada yang memuat kata toleransi, tapi Indonesia mengikuti Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948.”
“Kalau kita membicarakan toleransi, kita harus mempertimbangkan kemanusiaan, HAM adalah hak yang melekat sejak lahir dan tidak dapat dihilangkan,” tambahnya.
Hak asasi manusia bersifat absolut, tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara meskipun dalam keadaan darurat. Ada beberapa hak yang terangkum dalam deklarasi itu diantaranya adalah hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan karena gagal membayar hutang, hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subjek hukum, hak atas kebebasan berpikir, dan lainnya.
Dalam membahas hak asasi, Adi juga menyebutkan bahwa contoh kasus di Papua adalah karena ketidakjelasan pasal yang berlaku di Indonesia sehingga menimbulkan banyak interpretasi dari penegak hukum. Pasalnya HAM tidak pernah membedakan gender, strata sosial, dan sebagainya.
Prinsip HAM sendiri ada empat yaitu: universal, tak berbagi, saling bergantung, saling terkait. HAM juga tidak dipengaruhi oleh negara-negara. Adi kemudian memberi contoh ketika ada warga asing di Indonesia juga mendapatkan HAM yang sama seperti di negaranya.
Dalam perjalanannya, ada lima kewajiban negara terkait HAM yakni menghormati, memajukan isu HAM, memenuhi HAM, melindungi HAM, dan menegakkan HAM. Pertanyaan mengenai Papua yang di awal ditanyakan Adi kepada peserta kembali diulang, “Apakah selama ini media di Indonesia sudah menayangkan keinginan rakyat Papua?” Adi mengingatkan bahwa sikap toleran itu harus dua arah, tidak menghakimi, dan harus mendengarkan.
Hal lain yang kerap terlupakan dalam HAM adalah kesetaraan gender. Adi memaparkan bagaimana seringnya perempuan tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan. Misalnya dalam melarang perempuan untuk mendapat pendidikan yang tinggi, melarang perempuan untuk memiliki jabatan, dan diskriminasi lainnya. Peserta turut menceritakan pengalaman mereka, baik yang terjadi di sekolah maupun di keluarga.
Adi memberikan contoh lainnya dari intoleransi yang terjadi di media sosial. Saling hina, saling menjatuhkan terasa sangat sering terjadi. Apalagi ditambah dis-informasi dan hoax yang bertebaran dan langsung dicerna tanpa ada saring informasi, jadilah terjadi perpecahan di antara kita. “Pusat penelitian kebijakan dan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melansir 24 provinsi masih dalam kategori rendah literasi, 9 provinsi kategori sedang, 1 provinsi dengan kategori sangat rendah. Literasi Indonesia yang rendah ini cenderung menimbulkan kesalahpahaman dan kebencian,” tukasnya.
Adi juga mengajarkan bagaimana cara melakukan riset data yang benar untuk menentukan apakah suatu sumber data merupakan sumber yang valid. Salah satunya adalah kiat pencarian dengan mesin pencari Google yang lebih efisien sehingga kita mendapatkan hasil yang maksimal dengan usaha yang lebih sedikit.
Peserta juga diajak untuk berdiskusi di breakout room bersama Art Facilitator dari CREATE. Mereka berdiskusi dan bercerita mengenai pengalaman mereka dalam kasus intoleransi yang terjadi di sekitar mereka. Peserta asik dalam diskusi dan bertukar pendapat dengan fasilitator. Sebelum berakhirnya sesi, Adi mengingatkan kepada para peserta untuk jangan pernah berhenti menyuarakan isu toleransi.
Toleransi Bernarasi
Selanjutnya ada sesi kedua yang berlangsung pada 4 Desember 2021 dengan tema “Toleransi Bernarasi” yang menghadirkan pemateri yaitu Denty Nastiti, jurnalis yang juga post graduate student di SOAS University of London. Denty meraih berbagai penghargaan diantaranya Best Travel Writer dari Kemenparekraf pada 2016, nominasi MH Thamrin Journalism Award pada 2017, dan meraih penghargaan European Union Award for Journalist in Indonesia pada 2018.
Dengan latar belakangnya yang seorang jurnalis, Denty tidak canggung dalam menerangkan materinya yang diberi judul “Menulis Narasi Merawat Toleransi” kepada para peserta.
Ia menuturkan bahwa narasi adalah sebuah cerita atau gaya bertutur yang mengungkapkan suatu peristiwa baik itu nyata maupun fiksi. “Narasi yang baik membuat pembaca ikut tergugah emosinya,” kata Denty. Pembaca akan merasakan suasana yang dituliskan oleh si penulis, misalnya suasana seram ataupun senang.
Tujuan sendiri lagi, lanjut Denty adalah untuk menyampaikan informasi yang menyebarkan pengetahuan dan membagikan pengalaman agar pembaca dapat merasakan pengalaman tersebut. Denty kemudian membagikan pengalamannya perjalanannya ke Timur Tengah. Menurutnya Timur Tengah tidak seperti yang digembar gemborkan media umumnya; perang dimana-mana. Ada hal-hal yang justru jarang diberitakan seperti bagaimana toleransi yang terjadi di daerah Palestina, tidak melulu soal perang. Denty juga menerbitkan kisah perjalanannya dalam bentuk buku foto yang berjudul “pelangi”.
“Narasi toleransi penting untuk membingkai keberagaman Indonesia, sebagai cultural engineering, toleransi dapat menjaga hubungan masyarakat tetap harmonis.”
“Tetapi membangun narasi toleransi bukan berarti tutup mata terhadap bentuk kekerasan di sekitar kita,” tambahnya.
Denty mencontohkan salah satu narasi tentang toleransi beragama di Indonesia yang harus diangkat adalah toleransi antar agama yang terjadi di Fak Fak, Papua. Narasi tentang tiga agama: Islam, Kristen, dan Katolik yang saling bahu membahu apabila merayakan acara keagamaan yang menjalin kerukunan antar umat beragama.
Ketika Denty membuka sesi tanya jawab, masing-masing peserta mulai menanyakan berbagai pertanyaan. Salah satunya Tria. Ia menanyakan bagaimana cara membuat ide naskah yang menarik.
Ada tujuh hal yang membuat naskah menjadi menarik sebut Denty; mulai dengan brief, tulis kerangka cerita, susun dialog, buatlah hook, isi cerita ditambahkan data, call to action, penyuntingan, dan revisi. Denty memperlihatkan contoh script yang sudah jadi kepada para peserta, bagaimana merangkai visual dan audio untuk menjadi rangkaian yang baik dan bercerita. Script memudahkan pembagian antara visual dan audio. Struktur narasi yang lengkap mengandung pembukaan, isi, dan penutup.
Saatnya untuk praktek menulis naskah untuk para peserta!
Dengan materi yang tadi telah dipaparkan oleh Denty, peserta mulai berlatih untuk membuat naskah ringkas dalam 30 menit. Ketika waktu usai, Denty kemudian meminta Arnadine, salah satu peserta untuk membacakan naskah buatannya. Kemudian ada naskah buatan Sarah yang dibacakan dan lalu diperiksa bersama, menjadi bahan diskusi dalam kelas.
Materi terakhir yang dibahas Denty adalah kenapa narasi atau caption pada foto/video sangat penting untuk memberi makna. Meskipun foto bisa menjelaskan dari 1.000 kata tetapi kata-kata menjadikan foto lebih lengkap dan tidak salah menafsirkan makna foto tersebut.
Foto atau video tanpa caption hanya menimbulkan asumsi. Menulis caption yang baik adalah dari rajin membaca karya orang yang lain yang kemudian akhirnya kita akan terbiasa melihat gaya tulisannya dan kemudian meniru sebelum dileburkan dengan gaya tulisan kita sendiri.
Toleransi Jadi Karya
Sesi ketiga dengan tema “Toleransi Jadi Karya” berisi cara pembuatan video pendek untuk menghasilkan karya yang berkualitas dan dapat menyampaikan pesan dengan lugas. Sesi ketiga ini menghadirkan pemateri Enrico Jonathan, Creative Lead di Kok Bisa, kanal YouTube pendidikan terbesar di Indonesia. Rico, sapaannya yang juga merupakan seorang content creator yang sudah biasa dengan persiapan pra maupun pasca produksi.
Rico memulai materi dengan menanyakan kepada para peserta mengenai alat yang mereka gunakan untuk merekam. Sebagian besar menjawab dengan kamera ponsel. Rico menggaris bawahi bahwa kreativitas tidak perlu barang mahal tetapi perlu kemauan, apapun alatnya akan bisa menghasilkan karya yang bagus.
Dalam sudut pandang sebuah video, pencahayaan adalah nyawa dalam memberikan kenyamanan menonton. Teorinya adalah three point lighting yaitu posisi lighting ideal saat syuting. Pencahayaan bisa dari berbagai sumber seperti lampu belajar, softbox, atau jendela jika peralatan terbatas. Kemudian paparan dilanjutkan dengan sound, background, editing, kemudian harmoni.
Rico juga menjelaskan perbedaan background music ambient, dan sound effect. Pemaparan kemudian dilanjutkan dengan praktek langsung bagaimana mengatur suara agar jangan tumpang tindih dengan musik latar dan lainnya.
Masuk sesi pertanyaan, beberapa peserta tampak antusias bertanya hingga beberapa kali. Dengan sabar, Rico menjawab pertanyaan tersebut satu demi satu. Salah satu penanya, Tria, bertanya mengenai bagaimana gambar bisa stabil dari segi editing. Rico menjawab editing mungkin bukan solusi terbaik untuk gambar yang goyang, menggunakan tripod dan alat bantu lainnya untuk menstabilkan ketika pengambilan gambar. Kegiatan kemudian diakhiri dengan foto bersama dan sesi pengumuman tantangan kepada para peserta untuk membuat video dalam kelompok yang sudah dibagi.
Creative Youth for Tolerance (CREATE) atau Kreativitas Anak Muda untuk Toleransi
Program CREATE bertujuan untuk meningkatkan penghargaan keberagaman dan toleransi di sekolah menggunakan pendekatan berbasis seni dan budaya. CREATE dirancang untuk mengatasi tanda intoleransi yang mengkhawatirkan, serta aneka perilaku intoleran di sekolah yang dapat berkontribusi mengancam demokrasi dan penghargaan terhadap keberagaman di Indonesia.
Program ini diinisiasi oleh Yayasan Hivos yang terinspirasi oleh nilai-nilai humanis, bekerjasama dengan Rombak Media, Perkumpulan Pamflet Generasi, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS), dan Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), dengan dukungan dari The United States Agency for International Development (USAID).
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Header: Unsplash/Hannah Busing
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.