TRAVELOG

Risalah Laut yang Mengajarkan Waktu di Telalora (1)

Balai Desa Masela siang itu terasa hidup. Kipas angin tua di langit-langit berputar lambat, menggeser udara panas yang datang dari luar. Tampak depan, spanduk putih tergantung dengan tulisan “Penyambutan Tim Studi Lingkungan Pulau Masela.” Hurufnya sedikit miring, tapi semangat di baliknya begitu jujur.

Kami duduk di deretan kursi plastik bersama warga dan perangkat desa. Dari sudut ruangan, aroma kopi hitam bercampur dengan bau sukun goreng yang baru diangkat dari wajan. Seorang ibu menuangkannya ke cangkir-cangkir kecil, dan tanpa menunggu lama, tangan-tangan menyambut hangat.

Suara mikrofon serak memecah udara, mengantar sambutan dari kepala desa. Pria itu berwajah teduh dengan gurat pengalaman yang dalam, suaranya berat namun menenangkan. Cara bicaranya tenang, tapi setiap kalimatnya seperti menancap kuat.

“Laut adalah ibu kami,” ujarnya, menatap para warga. “Kalau laut sakit, kami lapar. Jadi kami belajar bagaimana menunggu laut sembuh sebelum mengambil darinya lagi.”

Kalimat itu seperti membuka pintu menuju sesuatu yang lebih dalam. Sambil menyeruput kopi hangat khas Pulau Masela, aku memperhatikan dinding balai yang dipenuhi foto-foto lama nelayan memegang hasil tangkapan, perempuan menjemur ikan asin, anak-anak bermain di pantai. Semuanya seolah berbicara tentang satu hal betapa laut menjadi pusat dari kehidupan di sini.

Risalah Laut yang Mengajarkan Waktu di Telalora (1)
Perkumpulan masyarakat dan aparat desa di Balai Desa Masela/Adipatra Kenaro Wicaksana

Undangan yang Tidak Disangka

Setelah sambutan usai, suasana berubah lebih santai. Warga mulai bercerita, tawa pecah di sela-sela percakapan. Dari tengah keakraban itu, kepala desa menepuk bahuku pelan.

“Besok pagi kami buka upacara adat sasi laut,” katanya dengan senyum tipis. “Kalian harus ikut. Sekalian lihat bagaimana kami menghormati laut.”

Aku menatapnya heran. Kata “sasi laut” bukan hal asing, tapi mendengarnya langsung dari pelaku tradisi membuat jantung berdetak cepat.

“Setelah doa dibaca, laut akan terbuka lagi. Kalian boleh ikut melaut, menangkap ikan, dan makan malam dengan masyarakat. Dari sini, tamu tidak boleh pulang sebelum makan ikan dari laut yang baru dibuka.”

Kami saling berpandangan antara antusias dan sedikit canggung. Tidak ada yang menolak, tentu saja. Ajakan seperti itu bukan hanya undangan adat, melainkan juga kehormatan.

Malamnya, di teras penginapan rumah dinas, kami duduk mendengar ombak memecah sunyi. Dari kejauhan, terdengar warga sibuk menyiapkan tikar, alat tangkap, dan daun kelapa muda untuk besok.

Bapak Camat sempat lewat, menyapa kami dengan senyum. “Besok pagi, datang sebelum matahari naik. Laut tidak suka ditunggu terlalu lama,” katanya sambil berlalu.

Kalimat itu terdengar seperti pesan misterius. Kami tertawa kecil, tapi dalam hati, ada sesuatu yang bergetar, perasaan bahwa kami akan menyaksikan sesuatu yang lebih dari sekadar upacara adat.

Risalah Laut yang Mengajarkan Waktu di Telalora (1)
Rumah dinas yang berfungsi juga sebagai penginapan/Adipatra Kenaro Wicaksana

Sabda tentang Sasi Laut dan Waktu

Dari beranda rumah dinas penginapan yang menghadap langsung ke laut, Camat Masela kembali membuka percakapan. Suaranya berat tapi berirama lembut, seperti ombak yang datang perlahan lalu menghilang di pasir.

“Maluku ini,” ujarnya, “berada tepat di jantung segitiga terumbu karang dunia. Lautnya luar biasa kaya, mungkin salah satu yang paling beragam di bumi. Kontribusinya terhadap perikanan nasional bisa sampai 30%.”

Potensi sebesar ini bisa menjadi penopang ketahanan pangan bangsa, asal dikelola dengan bijak dan berpihak pada keberlanjutan ekosistem. Dari sinilah sasi laut menjadi jawaban.

Kami mendengarkan dalam diam. Suaranya mengalir perlahan seperti ombak malam.

Sasi sudah ada di sini sejak abad ke-17,” lanjutnya. “Ini bukan hanya larangan mengambil hasil laut. Sasi adalah sistem sosial dan ekologis. Saat laut ditutup, kami tidak menangkap ikan, tidak mengambil teripang, tidak menyentuh karang. Laut diberi waktu untuk bernapas. Setelah beberapa bulan, baru dibuka lagi dengan doa dan upacara adat.”

Ia memandang kami sejenak, memastikan kami paham maknanya.

“Konsekuensinya? Laut tetap hidup. Terumbu karang tetap sehat, ikan dan lola tumbuh lagi, dan hasil tangkapan justru lebih banyak setelah sasi dibuka. Itu bukti bahwa menahan diri bisa lebih menguntungkan daripada serakah.”

Camat kemudian menegakkan duduknya. Nada bicaranya kini lebih tegas, tapi tetap tenang.

“Kalau kalian mau pahami sasi dengan sederhana,” katanya sambil menggambar sesuatu di meja kayu dengan ujung jarinya, “ada tiga hal yang menopang laut kita.” Ia menggambar tiga lingkaran kecil yang saling bersinggungan.

Sasi ini berdiri di atas tiga pilar utama,” katanya sambil menekankan tiga jari.

“Pertama, konservasi biodiversitas. Artinya, kami melindungi ekosistem laut, memulihkan stok ikan, dan mencegah eksploitasi berlebihan. Selama masa sasi, laut seolah ditutup agar bisa menyembuhkan diri. Orang luar menyebutnya closed season, tapi bagi kami, itu bentuk penghormatan pada laut.”

“Kedua, masyarakat adat dan kelestarian lingkungan. Semua diatur lewat hukum adat, nilai sosial, dan keyakinan religius. Kewang dan tokoh adat yang mengawasi pelaksanaannya. Jadi, kepatuhan masyarakat tidak lahir karena takut pada denda, tapi karena rasa hormat. Kalau kewang bilang berhenti, semua berhenti. Karena mereka bicara bukan atas nama manusia, tapi atas nama laut.”

“Ketiga, penghidupan masyarakat pedesaan. Kami ini nelayan semisubsisten. Laut adalah dapur kami. Maka, hasil laut dari sasi dibagi adil. Tidak boleh ada yang tamak. 

Hasil tangkapan dibagi rata sebagian untuk keluarga, sebagian untuk kampung, sebagian lagi disimpan untuk acara adat. Itu membuat solidaritas tetap hidup dan ketahanan pangan terjaga.”

“Kalau dipikir-pikir,” ujarnya pelan, “sasi ini sudah jadi model konservasi yang lengkap; ada ekologi, ada sosial, ada ekonomi. Tanpa perlu istilah rumit, kami sudah melakukannya sejak lama. Masyarakat adat tidak menulis teori, tapi menjalankan keseimbangan itu setiap hari.”

Risalah Laut yang Mengajarkan Waktu di Telalora (1)
Obrolan hangat bersama Camat tentang persiapan buka sasi dan hela tali/Adipatra Kenaro Wicaksana

Kisah Mengikat dari Hela Tali

Setelah beberapa saat, Camat menepuk lututnya pelan, lalu tertawa kecil. “Kalian juga nanti akan lihat hela tali, tradisi yang selalu menyertai sasi saat dibuka.”

Saya dan lainnya mencondongkan badan, tertarik. “Apa itu, Pak?” tanyaku.

Hela tali itu gotong royong di laut,” jawabnya sambil menatap pantai. “Saat air surut, semua warga turun bersama-sama, para nelayan. Mereka memegang tali panjang yang ujungnya melingkari laut dangkal. Lalu, sambil mereka menarik tali itu perlahan, seperti menenun laut.”

“Ketika tali semakin rapat, ikan-ikan yang ada di dalam lingkaran itu ikut terperangkap. Tapi tidak ada perebutan. Setelah ikan diambil, semua dibagi rata. Tak peduli siapa yang kuat atau lemah semua dapat bagian.”

Kami terdiam mendengarkan. Suara ombak terasa seirama dengan ceritanya.

Hela tali itu bukan cuma soal ikan,” lanjutnya. “Itu cara kami mengingat bahwa laut bukan milik satu orang. Laut ini untuk semua, dan rezeki harus dibagi. Itu sebabnya hela tali hanya dilakukan setelah sasi dibuka, saat laut sudah memberi izin untuk dipanen bersama.”

“Di zaman sekarang, orang sering lupa soal itu. Mereka pikir laut selalu punya stok tanpa batas. Tapi laut bukan gudang. Laut itu makhluk juga kalau terus diambil tanpa diberi waktu, dia akan mati perlahan.” Ia menghela napas panjang, kemudian tersenyum.

“Makanya kami selalu bilang, hela tali itu bukan sekadar tradisi menangkap ikan, tapi pelajaran hidup. Ketika kamu menarik tali itu bersama orang lain, kamu belajar bahwa rezeki akan datang ketika kamu tidak serakah.”

Risalah Laut yang Mengajarkan Waktu di Telalora (1)
Senja di Pulau Masela/Adipatra Kenaro Wicaksana

Laut, Waktu, dan Kesabaran

Satu jam berlalu, tapi suasana terasa cepat. Cerita Camat mengalir seperti arus pelan yang membawa makna di setiap katanya. Saya menatap laut yang kini benar-benar gelap. Di sana, entah di mana, sasi sedang menjaga ikan-ikan agar tumbuh lagi, sementara manusia di darat belajar bersabar.

Sasi dan hela tali itu seperti dua sisi waktu,” ujar Camat sebelum berdiri. “Yang satu mengajarkan kita berhenti, yang satu mengajarkan kita bergerak bersama. Keduanya sama-sama menuntun kita untuk tahu kapan harus mengambil, dan kapan harus memberi ruang.”

“Besok, kalian akan lihat sendiri bagaimana laut diajak bicara. Tapi malam ini, biarkan laut tidur. Karena bahkan laut pun butuh waktu untuk beristirahat.”

Kami saling berpandangan. Tak ada yang ingin berbicara. Sambil menatap ke laut yang hitam, dan untuk pertama kalinya kami paham apa yang dimaksud orang-orang sini.

(Bersambung)


Referensi

Herin, F. P. (2019, Februari 13). Bisnis Pengiriman Ikan di Maluku Semakin Bergairah, Kompas.id, https://www.kompas.id/artikel/bisnis-pengiriman-ikan-di-maluku-semakin-bergairah.
Mansyur, S. (2011). Jejak Tata Niaga Rempah-Rempah dalam Jaringan Perdagangan Masa Kolonial di Maluku. Kapata Arkeologi, 7(13 November), 20–39. DOI: https://doi.org/10.24832/kapata.v7i13.167.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Adipatra Kenaro Wicaksana

Lulusan S1 Kesehatan Masyarakat dengan Ilmu Terapan Kesehatan Lingkungan, Sesekali menjaga lingkungan agar tetap sehat, sambil mencoba untuk tetap ingat kapan terakhir kali menyiram tanaman di rumah.

Adipatra Kenaro Wicaksana

Adipatra Kenaro Wicaksana

Lulusan S1 Kesehatan Masyarakat dengan Ilmu Terapan Kesehatan Lingkungan, Sesekali menjaga lingkungan agar tetap sehat, sambil mencoba untuk tetap ingat kapan terakhir kali menyiram tanaman di rumah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Belajar Memanusiakan Manusia di Pulau Sailus