Di suatu persinggahan wisata, tentunya segenap kita pasti bertanya-tanya, “Apa kuliner khas di sini?”. Kuliner tradisional memang selalu menarik banyak lidah untuk mencicipinya, tapi di antara kuliner-kuliner khas, ada beberapa yang sudah tidak ada di daftar. Resep Tetangga dan Dapur Tara adalah hasil usaha dari mereka yang peduli dengan preservasi budaya rasa dan aroma.
Di suatu sore yang dirundung oleh kepulan awan, saya mencari tempat yang agak teduh untuk duduk menunggu Citra, seorang penulis buku kuliner yang juga merupakan anggota Kolektif Videoge, sebuah komunitas pemuda kreatif yang ada di Labuan Bajo. Tidak berapa lama menunggu, batang hidung Citra mulai kelihatan dan tangannya melambai ke arah saya yang sedang duduk santai.
“Mbak Citra, kan?” tanya saya memastikan, takut-takut salah orang.
“Iya.”
“Kita cari tempat buat ngobrol lebih enak yuk, ada kafe terdekat?” ajak saya kepadanya. Dia agak sedikit bingung dengan rekomendasi kafe yang saya minta, namun dia punya usul lain, yang terdengar lebih seru.
“Bagaimana kalau kita di Bawakolong aja?” Saya mengangguk, dan mulai mengikuti langkah kakinya yang menembus gedung-gedung yang berhimpitan menuju ke jalan raya. Tidak lama kemudian, saya sudah sampai di Bawakolong. Sesuai namanya, Bawakolong merujuk letaknya di bawah kolong dan di sinilah Kolektif Videoge bermarkas.
Saya berkenalan dengan Aden, salah satu anggota komunitas yang kebetulan juga sedang berada di Bawakolong. Kami terlibat pembicaraan renyah mengenai pariwisata, kegiatan komunitas, dan kuliner Labuan Bajo.
Pertanyaan selanjutnya dari saya agak menelisik soal makanan khas, kenapa makanan lokal Labuan Bajo tidak pernah terlihat mengambil tempat dalam pariwisata? Saya mulai mengeluhkan susahnya mencari makanan tradisional di sini.
Citra mengakui ketika berkuliah di Yogyakarta, pertanyaan sama kerap kali menghantui dirinya ketika bertemu teman-temannya yang selalu menanyakan oleh-oleh makanan khas. Citra mengakui dirinya kesulitan ketika ada yang memintanya untuk mengidentifikasi makanan lokal khas pesisir Labuan Bajo. Hal itu juga menjadi motivasi dirinya untuk menuliskan resep-resep makanan lokal di kampung halamannya.
“Jadi, apa saja makanan khas Labuan Bajo?” tanya saya.
“Sebenarnya keragaman kuliner Labuan Bajo itu terletak di bumbu, bukan di jenis,” terangnya.
Makanan-makanan yang ditemukan di Labuan Bajo juga umum ditemukan di tempat lain seperti di daerah Flores lainnya atau bahkan di Bima dan Sulawesi. Faktor utamanya adalah karena Labuan Bajo terbentuk oleh ragam identitas, utamanya adalah Manggarai, Bajo, Bima, dan Bugis. Faktor pembeda paling mencolok dalam pengolahan makanan tradisional tersebut adalah bumbu. Nyawa dalam masakan ini tentunya menyesuaikan dengan bahan mentah yang tersedia di sekitar, lalu indra pengecap masyarakat yang mengonsumsi.
Citra menemukan fakta bahwa tiap dapur rumah mempunyai cara masak yang berbeda, dari menyajikan ikan yang digoreng hingga memasak dengan menggunakan kuah. Bumbu di pesisir cenderung lebih sederhana dan tidak berat. Contohnya pada saat memasak ikan kuah asam—atau ikan kuah kuning, Citra meriset resep-resep ikan kuah asam di sekitar rumahnya, masing-masing rumah mempunyai resep yang berbeda. “Semakin ke timur, semakin asamnya itu tidak ada,” jelas Citra, “ada yang mengganti asam dengan tomat atau jeruk nipis, tergantung letak geografisnya.”
“Jadi kalau ada yang mengatakan ‘asam di gunung, garam di laut’ tapi kenyataannya asam itu [lebih banyak] adanya di pesisir.”
Ternyata hal ini sempat menjadi pertanyaan Citra, apa tidak salah tidak ada asam di gunung? Tak diayal, setelah melakukan survei sampai ke Golo Mori—sebuah desa di utara Labuan Bajo—dia pun juga bertanya kepada temannya perihal tersebut. Temannya mengiyakan bahwa memang asam itu tumbuhnya banyak di pesisir. Orang-orang pegunungan justru menggunakan daun untuk menghasilkan cita rasa asam di ikan kuah asam. Ada yang menggunakan daun kesambi (Schleichera oleosa) atau saung daleng (Piliostigma malabacarium).
Selain soal asam, Citra juga mendapati bahwa kelapa pesisir lebih banyak mengandung air daripada kelapa pegunungan. Soal ini, ibunya yang memberitahu. Saya mengalami ketika menyicipi kelapa yang ada di Lobohede—desa di sebelah barat Pulau Sabu yang juga termasuk daerah pesisir. Saking melimpah airnya, satu buah kelapa, airnya dapat dinikmati hingga dua orang hingga kenyang.
Pertanyaan lain kembali muncul. Kali ini, kenapa masakan tradisional ini kemudian tidak bisa mengambil tempat dalam perayaan pariwisata yang gegap gempita?
Keberagaman kuliner di Labuan Bajo tidak terarsipkan dengan baik, cenderung hilang diapit makanan yang lebih familiar di Nusantara semisal mi ayam, gado-gado, ikan bakar, bakso, dan semacamnya. Kuliner lokal kebanyakan hanya tersedia sebagai masakan rumahan. Peredarannya di warung-warung cenderung tertutup, tidak ditampilkan sebagai citra utama. Di sinilah akhirnya terjawab kenapa Citra dan teman-teman menerbitkan buku Resep Tetangga sebagai suatu upaya mengarsipkan makanan-makanan lokal khas warga pesisir.
Tapi, di beberapa tempat di Labuan Bajo dan sekitarnya, mulai bermunculan rumah-rumah makan yang mengangkat menu lokal sebagai sajian utama. Salah satunya adalah Dapur Tara yang menyediakan makanan lokal Flores dari cara memasak, penyajian, hingga cara penyantapan, hasil gagasan Elisabet Yani Tara Rubi demi melestarikan panganan lokal tradisional.
Ricardo, salah satu staf di Dapur Tara, turut memberikan pendapatnya mengenai hilangnya makanan lokal dalam peredaran.
“Bisnis.” Begitulah kesimpulan yang didapat Ricardo dalam pengamatannya selama ini.
Siapa yang meminati ikan kuah asam? Siapa yang ingin makan nasi bambu? Di zaman yang semuanya mengandalkan kepraktisan ini, makanan cepat saji ala barat lebih cepat dihidangkan dan hampir semua wisatawan mancanegara pasti familiar dengan rasanya. Makanan lokal hanya beredar pada wisatawan yang mempunyai minat khusus terhadap kuliner.
“Nasi bambu itu kan bukan sekedar masak-masak, itu ada artinya. Kalau orang tua dulu kan makan nasi bambu pas menjelang panen,” ucapnya menerangkan nilai-nilai yang terdapat pada makanan tradisional.
Kebetulan bersamaan dengan kedatangan saya, ada tamu yang juga datang untuk makan di Dapur Tara. Saya mengikuti Ricardo yang menyiapkan makanan bersama staf lainnya. “Di sini penginapannya,” ia menunjuk pondok-pondok yang dibangun dari kayu. Beberapa bulan sebelumnya, Dapur Tara mendapat musibah kebakaran, beberapa bangunan terbakar hangus. Ricardo menjelaskan secara gamblang bagaimana konsep Dapur Tara yang mengharuskan reservasi pada setiap pemesanan makanan. Makanan tradisional yang dibuat harus berdasarkan tata cara yang tradisional juga, sehingga memerlukan waktu untuk masak. “Makanya kalau mau ke Dapur Tara buat makan, bisa reservasi dulu biar kami bikinkan makanannya,” tuturnya.
Saya menyukai bagaimana Dapur Tara dirancang; hening, sunyi, dan damai di kelilingi hutan. Elisabet Yani Tara Rubi mungkin ingin mengkonsepkan rumah makan yang kembali “melambatkan makanan”, di tengah serbuan makanan cepat saji dan instan. Proses memasak dan memakan, dewasa ini dilihat sebagai hanya proses memanjakan indra perasa dan memenuhkan lambung, bukan lagi proses berfilsafat seperti orang-orang tua kita dahulu. Resep Tetangga dan Dapur Tara adalah salah satu contoh inventarisasi kuliner lokal dengan cara yang berbeda; satu dengan tulisan dan satu lagi dengan sajian.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.