“Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat mana pun yang diketahui orang. Perjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi diri saya dengan bangga.”

Saya cukup mengenal sampul merah buku Perempuan Di Titik Nol, yang sering saya dapati di sejumlah kawan semasa kuliah kurang lebih tujuh tahun lalu. Saya hanya membaca beberapa halaman saja, itu pun saya pinjam secara gratis dari sebuah komunitas baca di Sulawesi. Entah kenapa, tetapi buku itu tidak saya baca tuntas.

Di tahun 2024, saya kembali melihatnya sering melewati beranda Instagram saya. Rasa penasaran itu muncul kembali, ditambah memang sedang berencana membeli beberapa buku di Buku Akik Jogja. Akhirnya Perempuan Di Titik Nol jadi salah satu buku yang saya adopsi saat itu.

  • Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
  • Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”

Membaca Nawal el-Saadawi yang Tajam dan Penuh Empati

Membaca kembali terjemahan karya Nawal el-Saadawi di kedai kopi favorit, perasaan saya campur aduk. Buku ini berukuran mini, tidak terlalu tebal. Namun, sampulnya sudah memberi saya sedikit gambaran betapa berat kisah di dalamnya. Saya sudah banyak mendengar tentang betapa menggugahnya cerita ini, tetapi tetap saja, saya tidak sepenuhnya siap untuk perjalanan emosional yang akan saya hadapi. Namun, akhirnya saya tidak tertahankan untuk membacanya.

Baru halaman pertama, saya langsung tertarik dengan gaya penulisan Nawal. Ia langsung mengajak saya memasuki dunia yang gelap dan penuh penderitaan. Nawal dengan tajam menggambarkan berbagai bentuk ketidakadilan, mulai dari patriarki, penindasan, hingga kebijakan sosial yang menekan perempuan. Meski demikian, ada sisi positif yang muncul: kegigihan bertahan hidup, keinginan menemukan kebebasan, dan tentu saja, keberanian berbicara. Gaya penulisan Nawal sangat tegas dan penuh empati, membuat saya bisa mengalami perasaan Firdaus, tokoh utama buku ini, tanpa harus melalui pengalaman yang sama. Buku ini juga penuh dengan kritik sosial yang relevan, baik masa dulu maupun sekarang.

Firdaus adalah perempuan Mesir yang sejak kecil sudah hidup dalam kekerasan dan ketidakadilan. Sejak awal cerita, Firdaus dijadikan narator yang menceritakan perjalanan hidupnya dalam bentuk monolog kepada seorang psikiater di penjara, tempat ia menunggu hukuman mati. Firdaus bukan sekadar perempuan biasa; ia adalah simbol dari banyak perempuan di dunia yang terpaksa berjuang untuk bertahan hidup di tengah penindasan dan kekerasan yang diterima tanpa ampun.

Firdaus lahir dari keluarga miskin. Ayahnya, yang sangat kasar, kerap melakukan kekerasan terhadap ibunya, hingga ibunya meninggal dunia. Sejak kecil, Firdaus sudah menyaksikan kekerasan tersebut, dan tanpa tahu mengapa, ia merasa bahwa hidupnya tidak jauh berbeda dari penderitaan yang dialami oleh ibunya. Ketika ayahnya meninggal, Firdaus dipindahkan ke rumah paman yang lebih buruk lagi perlakuannya. Sang paman mengabaikan segala haknya sebagai seorang perempuan dan manusia.

Di usia muda, Firdaus mulai mengalami kekerasan seksual. Ia dijadikan objek pemuas nafsu tanpa ada perlindungan dari siapa pun. Bahkan ketika ia berusaha mencari pendidikan untuk mengubah nasib, kehidupan tidak memberinya kesempatan itu. Firdaus menjadi korban pertama dari sistem sosial yang sangat diskriminatif terhadap perempuan. Tak heran jika Firdaus kemudian tumbuh menjadi sosok perempuan yang merasa asing dengan dunia, bahkan merasa dunia tidak memberinya tempat yang layak dan aman untuk seorang perempuan.

Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
Saat sang paman berlaku buruk, halaman 70/Clementina HB Putri

Perempuan dan Pertahanan Hidup

Saya merasa sangat tersentuh dan marah sekaligus saat membaca kisah Firdaus. Betapa berat hidup yang ia jalani. Seolah-olah dari satu penderitaan ke penderitaan lain, dunia tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Ia mulai bekerja sebagai seorang pekerja seks setelah merasa tidak ada pilihan lain. Namun, saya tahu bahwa kisahnya belum berakhir, dan ternyata, ada lebih banyak lagi yang akan saya temui dalam perjalanan hidupnya melalui buku ini.

Salah satu hal yang paling menarik bagi saya adalah Firdaus tidak menyerah begitu saja pada dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan eksploitasi. Ia berusaha mencari kebebasan fisik, emosional, dan mental. Di tengah keterpurukan, meskipun pahit, ia menemukan cara untuk bertahan hidup dan menjadi mandiri secara finansial. Itu adalah bagian dari cerita yang menurut saya yang cukup kompleks tentang terjebaknya perempuan dalam siklus kekerasan, tetapi juga berusaha keras untuk mencari ruang hidup di tengah penindasan tersebut.

Namun, semakin saya membaca, semakin saya merasakan cerita ini bukan hanya tentang Firdaus. Cerita ini lebih besar dari itu. Ini adalah cermin dari banyak perempuan yang terjebak dalam sistem sosial, yang saat ini masih realistis jika dikatakan cukup menindas. Nawal dengan sangat tajam menggambarkan cara dunia patriarki bekerja: perempuan dianggap lebih rendah, tubuh mereka dimiliki masyarakat, dan kebebasan mereka dibatasi oleh norma-norma yang timpang. Setiap halaman terasa seperti kritik terhadap sistem yang memperlakukan perempuan sebagai objek semata, dan itu masih berlaku sampai hari ini.

Ada satu momen yang membuat saya benar-benar terkejut dan tercengang, ketika akhirnya Firdaus memutuskan untuk membunuh seorang pria yang telah lama mengeksploitasinya. Saya tahu bahwa tindakan itu adalah puncak dari sebuah proses panjang yang penuh dengan penderitaan. Itu adalah bentuk pemberontakan terakhir yang Firdaus bisa lakukan. Sebuah cara untuk menghentikan siklus kekerasan yang telah membelenggunya sepanjang hidup, serta merasa hidup sebagai manusia dan perempuan. Tindakan itu mengundang banyak perasaan dalam diri saya. Tidak hanya marah, tetapi juga empati dan rasa hormat terhadap keberanian Firdaus mengambil kendali atas nasibnya.

Dalam dunia yang tidak memberinya ruang untuk bernapas, dia memilih untuk melawan dengan cara paling ekstrem, tapi bisa dimengerti. Mungkin itu adalah cara terakhirnya untuk menemukan kebebasan yang selama ini ia cari. Dan meskipun saya tahu ini adalah keputusan yang sangat radikal, saya bisa merasakannya—hasil dari tahun-tahun penindasan yang tak terhitung jumlahnya.

Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
Nawal el Saadawi, penulis feminis dari Mesir/David Degner via Getty Images

Perjuangan Tetap Ada dan Hidup

Buku ini bukan hanya tentang kekerasan dan penderitaan. Ada kekuatan yang sangat dalam dan kuat yang terpancar dari kisah Firdaus. Itu adalah kekuatan perempuan, yang meskipun sering kali tidak diberi ruang untuk tumbuh, memiliki potensi untuk mengubah nasib mereka. Firdaus, dalam segala kesulitannya, menunjukkan kepada saya bahwa perempuan punya hak untuk memperjuangkan kebebasan mereka. Buku ini mengajarkan saya bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan, bahkan jika itu berarti harus melawan dunia yang menekan.

Setelah selesai membaca, saya merasa sangat penuh dengan berbagai macam perasaan marah, sedih, tetapi juga terinspirasi. Perempuan di Titik Nol bukanlah buku yang ringan untuk dibaca. Saya menyelesaikannya dengan sekali duduk dan segelas daily latte ice less sweet dengan dada yang beberapa kali bergetar. Kisahnya sangat gelap, dan terkadang membuat saya merasa tak berdaya dan frustrasi. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang begitu kuat dalam buku ini, yang membuat saya merasa lebih sadar tentang betapa pentingnya memperjuangkan hak perempuan dan memberi mereka ruang untuk berkembang.

Saya juga merasa bahwa ini adalah buku yang sangat relevan, bukan hanya untuk konteks Mesir atau dunia Arab, melainkan juga banyak perempuan di seluruh dunia yang masih berjuang melawan patriarki dan penindasan. Firdaus mungkin bukan perwakilan dari semua perempuan. Namun, kisahnya adalah simbol dari banyak perempuan yang terjebak dalam kehidupan yang tidak mereka pilih, yang berusaha meraih kebebasan dengan cara mereka sendiri.

Secara keseluruhan, membaca Perempuan di Titik Nol adalah pengalaman yang sangat menggetarkan hati. Buku ini lebih dari sekadar kisah, memberi pelajaran yang dalam tentang keadilan, kebebasan, dan kekuatan perempuan. Meskipun saya merasa sedih dan marah sepanjang membaca buku ini, saya juga merasa sangat dihargai oleh kisah yang ditulis dengan penuh keberanian dan empati oleh Nawal El Saadawi. Ini adalah buku yang akan terus terngiang di benak saya, mengingatkan saya tentang pentingnya melihat dunia melalui mata perempuan yang sering kali terabaikan dan tertindas.

Saya rasa, Perempuan di Titik Nol adalah buku yang wajib dibaca oleh siapa pun (pria dan wanita) yang ingin lebih memahami tentang ketidakadilan sosial, sistem patriarki, dan bagaimana perjuangan perempuan harus terus berlanjut. Sebab, di balik segala penderitaan yang ditulis dalam buku ini, ada satu pesan yang sangat jelas: kebebasan itu harus diperjuangkan, dan perempuan tidak akan pernah berhenti berjuang sampai kapan pun, bahkan jika napas sudah di ujung tanduk. Perjuangan itu tetap ada dan hidup.


Judul: Perempuan di Titik Nol
Penulis: Nawal el-Saadawi
Pengantar: Mochtar Lubis
Penerjemah: Amir Sutaarga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tebal: 176 Halaman, 11×17 cm
ISBN: 978-602-433-438-3


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar