Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti pesannya, bahwa “Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Naik gunung menjadi pengunci kalimat terakhir Gie. Beda pendakian Gie pada masa itu, beda lagi fenomena dunia pendakian akhir-akhir ini. Dalam patokan terbatas boleh dikatakan sejak ditayangkannya film 5 cm pada Desember 2012 hingga Januari 2013 silam, membuat jagat dunia pendakian “heboh”. Pendaki berbondong-bondong mulai mendatangi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). 

Sekiranya inilah gambaran fenomena yang berbanding terbalik. Ketika orang berbondong-bondong menjadi “keren” dengan mendaki gunung. Mulai dari amatiran, ikut-ikutan, dan pemula-pemula nekat minim persiapan. Semua membaur. Gunung yang seharusnya memberikan ketenangan, keheningan, dan kesyahduannya alam, malah berubah menjadi ruang terbuka yang bising. 

Padahal dengan ramainya gelombang manusia yang menjajaki gunung dapat berefek buruk jika dengan intensitasnya tinggi. Maka, perlu kebijakan pengelola yang memberi jeda gunung hingga tiga bulan sebagai bentuk pemulihan. Sebab jika diabaikan begitu saja lantaran sekadar pencarian keuntungan, ditakutkan membuat gunung kehilangan orisinalitasnya sebagai bagian dari alam raya.

Alam raya, jika ditilik kembali, berisikan berbagai komponen atau unsur-unsur seperti tetumbuhan dan hewan. Begitu pun tanahnya yang mengandung unsur hara bagi kesuburan dan keberlangsungan setiap makhluk hidup. Juga manusia, makhluk ciptaan yang diberikan fisik utuh dan akal sehat sekaligus pionir yang mampu mengelola lingkungan itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman, suatu waktu saya pernah ditanya tentang lelucon reflektif dari seorang Bapak SAR (Search and Rescue), “Coba bayangkan jika satu gunung yang didaki oleh 1000 pendaki dalam rentang waktu satu pekan, dan itu terus-menerus dilakukan tanpa henti, kemudian setiap 1000 pendaki itu membuang air kecil. Lantas apa yang terjadi dengan tanah-tanah di gunung itu?”

Sabana merbabu
Sabana Merbabu berlatar belakang Merapi/Raja Syeh Anugrah

Saya diam sejenak. Sebab saya berpikir bahwa hal kecil tersebut tentu akan menjadi hal besar jika diabaikan. Dan ternyata dalam penjelasan dari pertanyaan itu oleh si penanya, ia mengonsepkan bahwa setiap manusia tidak menentu apa yang ia konsumsi, lalu ketika ia mengeluarkan kotoran, ada zat-zat kimia yang berbahaya turut terbawa kemudian mencemari tanah-tanah. Kalau sudah tercemar, maka unsur hara di gunung akan terganggu dan mengganggu ekosistem di sana.

Dari hal kecil tersebut saya mengiyakan konsepsi itu sekaligus merenungi setiap perjalanan pendakian selanjutnya. Kemudian berpikir ulang, kalau saja etika lingkungan yaitu hubungan manusia dengan alam belum tercipta dan belum menemukan esensinya, bagaimana dengan hubungan manusia dengan manusia ketika di gunung?

Merefleksikan Pendakian

Konsepsi Gie tentang gunung begitu sederhana. Sesederhana ketika ia menghasilkan buah pikir dan kekagumannya pada Lembah Mandalawangi yang terus-terusan ia sambangi ketika lelah dengan hiruk-pikuk perkotaan. Lembah yang memberi ketenangan dan jauh dari kebisingan. Lembah sejuk yang menawarkan refleksi dan introspeksi.

Dalam puisi Sebuah Tanya, Gie menuliskan, “Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi/kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram/meresapi belaian angin yang menjadi dingin.” Betapa bernyawanya untaian kata-kata Gie dalam puisi itu, yang betul-betul merefleksikan keberadaan gunung bagi manusia.

Pada suatu perjalanan pendakian, agaknya saya sukar sekali menemukan keheningan seperti keheningan Gie dapatkan saat ia berlama-lama meresapi ketenangan di lembah Mandalawangi. Walau persepsi ini tidak memukul rata secara keseluruhan, dan perlu diakui masih banyak pula gunung-gunung yang benar-benar hening, tenang dan damai.

Namun begitu, masihkah ada garis-garis hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan manusia serta keramah-tamahan lainnya di gunung saat ini? Jika saja manusia-manusia sudah menyusupi alaminya alam dengan pernak-pernik teknologi yang memecah keheningan alam itu sendiri. Seperti memutar musik tanpa tahu batasan, bersuara keras tanpa tahu telah mengganggu, dan basa-basi yang sulit diterjemahkan apakah itu sebuah ketulusan atas satu kesamaan sebagai pendaki?.

Makin ke sini sepertinya pendakian tengah mengalami pergeseran makna. Sebuah degradasi moral yang menghilangkan jati diri pendaki-pendaki “sejati”. Sehingga keramah-tamahan yang dirindukan itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Tidak lagi seperti sebuah cuplikan di dalam film 5 cm yang menyorot senyuman-senyuman pada setiap apapun, pada waktu kapan pun.

Lagi-lagi ketulusan itulah yang dirindukan, bukan saja terhadap sesama manusia tapi juga terhadap alam lingkungan yaitu gunung. Sejak maraknya dunia pendakian, gunung telah ramai oleh orang-orang yang katanya mencari ketenangan, menikmati alam, dan merefleksikan diri. Disamping itu tak tertahankan pula mengenai bekas-bekas sampah yang telah dibawanya sedari bawah kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa merasa bersalah.

Apakah masih bisa disebut tindakan itu sebuah ketulusan hati, yang mencintai alam sejak mengaku diri sebagai pendaki. Dan inilah sebuah refleksi. Hasil olah renungan dan pertanyaan terhadap diri. Tentang keramah-tamahan dalam bentuk apakah itu?

Lestari Sejak dari Hati

Lestari seharusnya tidak sebatas menjadi slogan semata. Yang didengungkan berulang kali, tanpa henti, dan pada setiap kesempatan yang ada. Lestari juga bukan sebentuk kata yang diucapkan oleh lisan, tapi juga dalam bentuk tindakan. Atau jika boleh berargumentasi, kalau bisa, lestari itu sejak hati.

Perihal hati, bahkan hingga kini saya masih menelaah lebih dalam lagi, hati seperti apa yang sebenarnya saya miliki untuk bisa mewujudkannya ke dalam perlakuan sehari-hari. Perlakuan ketika melangsungkan kegiatan alam bebas seperti mendaki. Hati yang memang dibentuk untuk merespon secara otomatis tentang makna lestari. 

Bagi saya dalam melangsungkan pendakian, perlakuan ketika di lapangan tidak seharusnya menjadi basa-basi, tapi juga setulus hati. Mencitrakan toleransi atas keberagaman dan cara pandang setiap pendaki. Meski saya masih dalam lingkup yang terus berusaha, mencoba menerapkan ketulusan hati. Agaknya tulisan ini saya ketagorikan sebentuk autokritik saya kepada diri sendiri.

Seperti Gie, mencintai Mandalawangi yang diutarakan lewat puisinya, “Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna/aku bicara padamu tentang manfaat dan keindahan/dan aku terima kau dalam keberadaanmu/seperti kau terima daku/.”

Tak ada yang lebih paham, mana yang benar-benar sebuah ketulusan selain kita. Pelaku yang merasakan secara langsung euforia dunia pendakian. Setiap jengkal dari pos ke pos, shelter ke shelter, sabana ke sabana, lembah ke lembah yang diduduki untuk istirahat sejenak. Lalu diri tertegun ketika melihat sampah, dan sampah mulai mengaburkan makna; sudahkah menjadi lestari sejak dari hati?

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar