INTERVAL

Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci

Mei lalu, konten video reels di Instagram Jajago Keliling Indonesia mendadak viral. Pertama, adanya dugaan penggelembungan sejumlah tarif wisata oleh beberapa oknum di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro (17/5/2025). Kedua, dugaan pengadangan dan penarikan retribusi perbaikan jalan kampung saat perjalanan kembali ke Tambolaka (18/7/2025). Dua kejadian beruntun tersebut Jajago dalam satu hari yang sama, yakni 12 Mei 2025, saat road trip di Sumba dengan mobil campervan.

Sebelumnya, John Stephen dan Riana, duo personel Jajago, telah melintasi Pulau Timor, Flores, dan Sumba menjadi penutup musim perjalanan mereka di Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Dua kejadian yang menimpa keduanya seperti mengulang insiden dilempar batu oleh oknum warga saat melintas di daerah Weliman, Kabupaten Malaka (2/4/2025).

Tak pelak, konten Jajago pun viral. Terlebih diunggah ulang di sejumlah platform media sosial. Hasilnya bisa ditebak. Ribuan komentar membanjir, pro dan kontra mengalir. Masing-masing pihak terkena imbas. Jajago banjir dukungan, pun kenyang hujatan. Begitu pun sebaliknya, para pegiat pariwisata dan masyarakat lokal Sumba mengalami dampak serupa.

Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci
Bentuk salah satu rumah adat Kampung Ratenggaro yang tersisa saat kebakaran hebat tahun 2007. Kini sudah terbangun kembali belasan rumah adat yang lalu berkembang menjadi destinasi wisata budaya populer di Sumba/Monica Renata via Wikipedia

Kronologi dan insiden serupa di tempat lain

TelusuRI menghubungi pihak Jajago untuk meminta klarifikasi perihal insiden yang menimpa mereka. Pada Rabu (28/5/2025), melalui sambungan telekonferensi video, Jhon menceritakan ulang kronologi kejadian di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro seperti sudah diceritakan di Instagram Jajago.

Persoalan pokoknya adalah tarif jasa yang tidak sesuai kesepakatan di awal. Mulai dari kerumunan anak-anak yang dianggap “memaksa” untuk menggunakan jasa foto mereka, sampai dengan permintaan tambahan biaya sewa kuda dan pakaian adat yang melebihi ketentuan awal. Beberapa di antaranya (termasuk oknum warga dewasa) terang-terangan meminta uang untuk dalih beli buku maupun rokok. 

Menurut pengakuan Jhon, ia dan istrinya tidak melihat adanya informasi tertulis perihal tarif retribusi masuk kampung adat, hingga biaya jasa lainnya. Nominal tarif diungkap secara lisan dan berubah-ubah keterangannya. Tampak di video satu oknum pria dewasa berpakaian sarung adat dengan parang di pinggang mendominasi pembicaraan mengenai tarif, yang mendorong anak-anak setempat mengikuti arahannya.

Dari penuturan Jhon, kejadian serupa juga dialami beberapa pengunjung lain sebelumnya, yang ia ketahui dari ulasan di Google Maps. Tidak sedikit catatan negatif mengenai tempat wisata tersebut karena sejumlah kejadian kurang menyenangkan oleh oknum. 

Permintaan sejumlah uang juga dialami Jajago ketika melintas sebuah jalan perkampungan di Kodi, tak terlalu jauh dari Ratenggaro. Dalam rekaman video terlihat seorang pria melambaikan tangan agar mobil Jajago melambat dan berhenti, karena adanya perbaikan jalan kampung atas inisiatif swadaya masyarakat. Meski tampak tidak ada paksaan, tapi oknum pria tersebut menyebut nominal uang yang diperlukan.

Insiden serupa tidak hanya terjadi di Sumba. Di Pulau Jawa, yang perkembangan pariwisatanya terbilang sudah cukup maju dan dekat dengan kota-kota besar, aktivitas pungutan liar (pungli) masih sering terjadi. Salah satu yang paling terkenal adalah objek wisata alam Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Kabarnya, belakangan kerap sepi dan mulai ditinggalkan pengunjung. Umumnya wisatawan kapok karena biaya yang berlapis, berlipat, dan tidak terintegrasi untuk hampir setiap sektor, mulai dari tiket retribusi wisata biasa, berkemah, wahana permainan, wahana foto, hingga kuliner.

Lalu di objek wisata air terjun Tumpak Sewu atau Coban Sewu di perbatasan Malang–Lumajang, Jawa Timur juga menuai polemik. Penyebabnya adalah terdapat tarikan retribusi tambahan di area bawah air terjun, yang berada di perbatasan dua desa. Kejadian ini direkam pengunjung dan viral, menuntut pemerintah setempat menertibkan pengelolaannya.

Di sisi lain, Jhon menegaskan pihaknya tidak mempermasalahkan soal uangnya, tetapi lebih kepada cara meminta dan inkonsistensi tarif yang berlaku di Pantai Mandorak maupun Ratenggaro. Nominal yang simpang siur membingungkan wisatawan karena beberapa oknum meminta uang retribusi dengan harga yang berbeda-beda.

Konten media sosial yang rawan mispersepsi

Saat kami mengkonfirmasi Jajago, pihaknya mengungkap tidak ada masalah perihal adanya sosok pria dewasa terekam membawa sebilah parang di pinggang. John mengaku sangat memahami kebiasaan dan kebudayaan khas Sumba itu, seperti halnya di daerah-daerah lain di Nusantara.

Namun, tanpa adanya penjelasan yang detail, tampilan video itu menimbulkan mispersepsi di kalangan netizen, baik pengikut maupun nonpengikut Jajago. Tak sedikit yang memberi kesimpulan dini bahwa keberadaan parang tersebut merupakan tindakan intimidatif. Kegaduhan publik kian menjadi ketika video juga memperlihatkan sejumlah anak-anak hingga warga lokal menyebut secara jelas patokan harga jasa wisata yang berlaku di sana. Tak terkecuali soal ‘biaya jasa’ perbaikan jalan kampung yang dilintasi Jajago setelah meninggalkan Ratenggaro.

Konten yang viral menimbulkan konsekuensi, sehingga menuntut kebijaksanaan dan kelapangan hati yang lebih dari warganet. Sebab, tidak sedikit sorotan tajam dan tanggapan negatif warganet yang menyudutkan masyarakat Sumba, khususnya Ratenggaro dan sekitarnya. Ditambah ulasan negatif pengunjung (rata-rata bintang satu dari lima penilaian) melalui Google Maps. 

Bupati Sumba Barat Daya Ratu Ngadu Bonnu Wulla, seperti dilansir dalam iNews Sumba (24/5/2025), dilaporkan berurai air mata saat menghadiri pertemuan dengan warga Kampung Adat Ratenggaro usai kejadian viral yang diunggah Jajago tersebut. Ia merasa sedih dan terluka karena masyarakat Sumba Barat Daya mendapat sorotan negatif dari warganet yang mungkin belum mengetahui akar permasalahan sebenarnya. Bahkan mungkin belum semuanya memahami kultur hingga kekurangan dan kesenjangan yang terjadi antara masyarakat di Indonesia timur dengan Pulau Jawa yang lebih maju.

Sekalipun begitu, pihaknya mewakili Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya berkomitmen untuk berbenah. Ratu Wulla menekankan penegakan peraturan desa tentang retribusi resmi dan pengelolaan wisata yang sudah ada untuk mencegah ulah pihak yang sewenang-wenang terulang lagi.

Dalam rilis terpisah melalui Galeri Sumba (18/5/2025), Adi Mada, Wakil Ketua Lembaga Adat Ratenggaro, memberi tanggapan resmi mengenai viralnya dugaan pungli yang dialami Jajago. Ia menyampaikan permintaan maaf atas insiden yang terjadi. Dari pernyataannya, terungkap adanya konflik internal antarwarga yang cukup serius perihal pengelolaan wisata di sana. Situasi ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk mengambil kesempatan tanpa persetujuan lembaga adat.

Seperti menguatkan pernyataan bupati, Adi Mada menambahkan, ia bersama sejumlah tokoh adat dan perangkat daerah terkait berkomitmen untuk menyelesaikan konflik internal di kampung secepatnya. Sebab, regulasi pengelolaan wisata di tingkat desa dan daerah sebenarnya sudah ada, tinggal diperkuat kembali. Termasuk melakukan pembinaan serta pembenahan internal untuk memperbaiki kualitas pelayanan wisata di Sumba Barat Daya, khususnya sekitar Kampung Adat Ratenggaro.

Kiri: Foto udara Pantai Mandorak berpasir putih dan dikelilingi tebing karang/Fajar Nasution via Traveloka Indonesia. Kanan: Tebing-tebing karang dan jernihnya laut jadi ciri khas Pantai Mandorak/Zahra via Wikipedia.

Pendidikan sumber daya manusia jadi kunci

Sebelumnya, TelusuRI mencoba meminta pendapat Agustina Purnami Setiawi, akademisi pendidikan Universitas Stella Maris Sumba perihal kasus ini. Istri Adi Mada itu baru bisa menyediakan waktu wawancara secara daring di akhir pekan (24/5/2025), setelah agenda padat mendampingi bupati saat kegiatan di Kampung Adat Ratenggaro.

Senada dengan bupati, Agustina merasa sedih dan prihatin. Ia menyadari kekurangan dan keterbatasan sumber daya manusia di Sumba dalam hal pelayanan pariwisata. Terlebih sampai saat ini Sumba Barat Daya masih tergolong daerah tertinggal, seperti tertera dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2020. Ia mengakui, perkembangan pariwisata di Nusa Tenggara Timur, khususnya Sumba Barat Daya, terbilang lambat dibandingkan daerah-daerah lainnya, apalagi Jawa.

“Di sini ada masalah sumber daya manusia (SDM). Walaupun kami punya potensi [pariwisata] besar, ada SDM yang belum siap,” ungkapnya.

Namun, ia menggarisbawahi, Ratenggaro memang begitu spesial. Sebagai salah satu kampung adat tertua, Ratenggaro sejatinya memiliki nilai-nilai budaya yang luhur, magis, dan pada dasarnya masyarakat lokal sangat ramah. Agustina berani menyatakan, Ratenggaro sudah lama terkenal sebagai kampung adat, yang sejatinya tetap bisa hidup tanpa adanya pariwisata.

Bahkan ketika berusaha dikembangkan dan diberdayakan sebagai destinasi pariwisata, Ratenggaro perlu waktu lebih lama untuk benar-benar dianggap siap menerima wisatawan. Sebab, bagi Agustina, pemahaman kepariwisataan yang bisa memberi dampak ekonomi benar-benar merupakan sesuatu yang baru bagi penduduk setempat. Kesenjangan literasi kepariwisataan ini ia anggap berakar dari kesenjangan pendidikan yang umumnya terjadi di wilayah Indonesia Timur. Katanya, jangankan berpikir tentang sekolah, jika untuk makan saja masih kesulitan.

Untuk itu, Agustina berharap pemerintah dan wisatawan mau memikirkan pemerataan akses pendidikan sebagai timbal balik yang harus diberikan setelah Ratenggaro, Mandorak, dan tempat-tempat di Sumba Barat Daya kian populer sebagai destinasi wisata. Bentuknya bermacam-macam, bisa sekalian menggelar kegiatan literasi, bagi-bagi buku, hingga lokakarya sederhana untuk anak-anak dan keluarga di kampung-kampung adat. Ia tidak ingin Sumba hanya dikeruk potensinya untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu, tetapi tidak berdampak apa pun untuk pengembangan SDM lokal, khususnya Sumba Barat Daya.

Selain itu, Agustina juga menitip pesan penting bagi wisatawan yang berkunjung, baik ditemani pemandu lokal maupun tidak. Bagaimanapun, sebagai tamu, penting untuk lebih bijaksana dalam mendokumentasikan perjalanan mereka di tempat baru, yang kulturnya bisa jadi sangat berbeda daripada daerah asalnya. Sebab, ada ruang-ruang privasi warga, hingga ruang-ruang keramat dan sakral yang tidak boleh dimasuki atau direkam. 

Jhon (kiri) dan Riana berpose dengan pakaian adat di samping mobil campervan Jajago Keliling Indonesia saat singgah di Desa Adat Todo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur/Instagram Jajago

Perlunya duduk bersama untuk kemajuan pariwisata Sumba

Senada dengan Agustina, anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sumba Barat Daya Argen Umbupati, mengakui ada dua sudut pandang pelajaran yang bisa dilihat dari kejadian yang menimpa Jajago. Pertama, viralnya konten Jajago dijadikan sebagai landasan semua pihak yang berkaitan untuk membenahi industri pariwisata di Sumba Barat Daya. Kedua, citra pariwisata di Sumba Barat Daya, khususnya Kampung Adat Ratenggaro dan sekitarnya, kembali menuai sorotan tajam dan cenderung negatif di kalangan warganet.

Padahal menurut Argen, kondisi Ratenggaro dan Mandorak saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu sebelum dikemas sebagai destinasi wisata. Saat itu pariwisata masih terasa asing dan kawasan tersebut dianggap berbahaya bagi para pendatang. Namun, setelah penetapan peraturan desa dan daerah tentang pengelolaan pariwisata setelah pandemi COVID-19, situasinya mulai membaik meski belum 100 persen sempurna.

Pemandu lokal yang berbasis di Tambolaka, ibu kota Sumba Barat Daya, mengakui wilayahnya masih memiliki banyak kekurangan dalam pelayanan pariwisata. Untuk itu, meski tidak wajib, pihaknya menyarankan para tamu atau wisatawan menggunakan jasa pemandu lokal demi kenyamanan berwisata. Melalui pemandu diharapkan wisatawan bisa mendapat informasi dan penjelasan seputar kebudayaan lokal, maupun hal-hal yang boleh dan pantang dilakukan selama di Sumba Barat Daya.

Selain itu, Argen juga berharap semua pihak pemangku kepentingan di Sumba Barat Daya bisa duduk bersama. Menurutnya komunikasi sangat penting untuk menyamakan visi dan frekuensi demi kemajuan pariwisata di Pulau Sumba. Sembari berbenah, Argen menyampaikan kepada siapa pun agar tidak perlu takut dan tetap datang menikmati keindahan alam dan budaya Sumba.

Terakhir, Jajago tetap menyampaikan harapan besar dan optimisme agar pariwisata Ratenggaro, Mandorak, dan peran masyarakat Sumba Barat Daya semakin baik di masa mendatang. Pun tempat-tempat wisata lainnya di Sumba, mulai dari wisata alam, kuliner, hingga budaya. Terlepas dari kejadian yang menimpa, Jhon dan sang istri mengakui Sumba sebagai destinasi penutup road trip terbaik dan terindah selama musim perjalanan mereka di Nusa Tenggara Timur.

Foto sampul: Kampung adat Ratenggaro di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (Shandi Irawan via Wikimedia)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Pesan buat Para Pendaki Gunung