Selama satu bulan penuh, TelusuRI berjalan merekam kisah-kisah harmoni kehidupan manusia dan alam di tiga provinsi di Indonesia. Tidak semudah yang dibayangkan dalam daftar rencana.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Prolog Arah Singgah 2023
Hutan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat berselimut awan di pagi hari, tandon air raksasa yang menghidupi masyarakat Dayak Lebo Kampung Merabu. Menyimpan ribuan tahun jejak prasejarah/Deta Widyananda

Dalam The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020 rilisan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampai dengan tahun 2019 sekitar 120 juta hektare lahan atau 64 persen daratan Indonesia adalah kawasan hutan negara—dengan berbagai macam fungsi dan peruntukan. Termasuk di antaranya 5,3 juta hektare kawasan konservasi perairan. Indonesia bersanding bersama Brazil dan Republik Demokratik Kongo sebagai pemilik kawasan tutupan hujan tropis terluas. Penyumbang paru-paru dunia.

Situasi tersebut merupakan berkah sekaligus mengundang bahaya. Tingginya keanekaragaman hayati serta kebutuhan perut jutaan penduduk Nusantara rupanya malah turut memicu deforestasi. WWF’s Living Forest Report: Chapter 5 (2015) memproyeksikan Pulau Sumatra dan Kalimantan menyumbang deforestasi global selama 2010—2030. Indonesia tidak sendiri. Sembilan kawasan lainnya adalah Amazon, Atlantic Forest (Gran Chaco), Cerrado, Choco-Darien, Congo Basin, Afrika Timur, bagian timur Australia, Greater Mekong, dan Papua Nugini.

Berdasarkan data KLHK, sepanjang periode 1990 sampai dengan 2019, Indonesia telah kehilangan lahan hutan seluas 13,75 juta hektare. Sekitar 1,46 persen dari keseluruhan hutan yang ada di Indonesia. Kebakaran masif, perambahan hutan, pembalakan liar, dan perburuan satwa ilegal adalah penyebab berkurangnya tutupan lahan secara signifikan. 

Sekilas angka tersebut kecil, seperti tak akan berdampak apa-apa. Namun, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Meskipun laju deforestasi terbilang menurun, angka deforestasi tetaplah berarti masih terjadi deforestasi. Sebuah tekanan luar biasa hingga mengancam hajat hidup banyak penghuni bumi, karena bernapas dari sumber udara yang sama.

Berita gejolak alam—yang menjadi bencana— mendera. Menimbulkan penderitaan. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga kekeringan serta sulitnya akses air bersih dan pangan. Akibat segelintir oknum dengan kepentingannya sendiri, harapan hidup flora, fauna, dan orang-orang tak bersalah pun terancam.Di sela kekacauan itu, ada orang-orang hebat bergerak meniti jalan sunyi. Jalan hidupnya tidak populer dan terdengar nyaris mustahil dilakukan. Keseimbangan hidup bukan tawaran yang menggiurkan banyak orang. Ada yang berjuang sendirian. Ada pula yang memiliki kekuatan besar di balik amanah jabatan strategis. Melalui Arah Singgah 2023, TelusuRI ingin menjadi media penampung sekaligus penerus beragam kisah itu.

Prolog Arah Singgah 2023
Motoris dan penumpang piyau melintasi Sungai Subayang yang keruh setelah diguyur hujan deras. Piyau jadi satu-satunya transportasi utama masyarakat desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kampar, Riau/Deta Widyananda

Bertemu para peramu harmoni

Melalui Arah Singgah, TelusuRI melakukan ekspedisi menggali cerita-cerita dengan beragam isu, yang kadang jarang atau bahkan tidak terdengar sama sekali di media arus utama. Filosofi dasar perjalanannya berupaya menyentuh sisi-sisi lain yang tanpa disadari sebenarnya saling berhubungan. Jika episode Arah Singgah pertama lalu kami berjalan ke arah matahari terbit—Bali dan Nusa Tenggara Timur—kali ini kami pergi ke arah berlawanan.

Di edisi kedua, Arah Singgah mengusung tema “Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam” di tanah Sumatra dan Kalimantan. Kami berupaya menginventarisasi cerita-cerita penyelarasan kehidupan antara manusia dan alam di Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Ada empat topik utama yang kami angkat di ekspedisi ini, yaitu restorative economy (ekonomi restoratif), social forestry (perhutanan sosial), renewable energy (energi terbarukan), dan climate justice (keadilan iklim). Setidaknya satu dari empat topik tersebut melekat pada seluruh destinasi yang dituju selama periode September—Oktober 2023.

Prolog Arah Singgah 2023
Detail mata dan muka Christopher, gajah sumatra jantan berusia sembilan tahun yang dirawat di Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, Kabupaten Langkat/Deta Widyananda

Di Kabupaten Langkat, kami singgah ke dua destinasi ekowisata yang telah lama dikenal turis, yaitu Tangkahan dan Bukit Lawang. Melihat kerja para mahout, berbincang dengan mantan pembalak liar, hingga menjumpai seorang polisi hutan. Lalu kami diajak oleh Hutaoan Pasaribu, ketua Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) Sejahtera, menengok ladang perkebunannya di resor Sekoci yang rawan akan konflik lahan mafia tanah. Ketiga daerah tersebut merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di wilayah Sumatra Utara.

Kami juga menemui Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P., untuk mendengar mimpi besar dan program konservasi berbasis masyarakat yang ia canangkan. Bukan sesuatu yang mustahil. Namun, perjalanannya tak akan semudah melepas lebah dari madu.

Prolog Arah Singgah 2023
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda

Kami menyebar lebih jauh ke tiga kabupaten berbeda di Riau. Melihat langsung jejak nyata Samsul Bahri menghijaukan puluhan hektare pesisir Bengkalis dengan mangrove. Berbincang dengan komunitas generasi muda penuh inovasi dan kreativitas di Siak, kabupaten yang 57 persen wilayahnya merupakan lahan gambut.

Kami menyempatkan pula bermalam di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kabupaten Kampar untuk merasakan denyut kehidupan masyarakat desa adat yang aksesnya bergantung pada Sungai Subayang. Yang tampak di permukaan, tidak semulus yang dibayangkan.

Menyeberang ke Kalimantan, kami fokus menggali cerita di Merabu. Sebuah kampung Dayak Lebo di pelosok Berau yang hidupnya bersandar pada napas hutan Pegunungan Sangkulirang-Mangkalihat. Kawasan karst dengan sumber daya alam melimpah dan tempat memasok kebutuhan dasar, seperti air, hasil hutan, ekowisata, obat-obatan tradisional, hingga kuliner. Di balik itu, eksistensi adat berada di bayang kepunahan.

Prolog Arah Singgah 2023
Ibu-ibu melakukan “manugal”, menanam padi gunung di lahan kering secara gotong-royong. Tradisi setahun sekali ini masih dilestarikan di Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur/Mauren Fitri

Selama ekspedisi, kami menyaksikan dan merasakan pelbagai situasi perjalanan yang mungkin tak segemerlap kehidupan di Pulau Jawa. Apalagi kota-kota besar, seperti Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Bahkan membeli minyak untuk sekadar menyalakan listrik dari petang sampai tengah malam tidak segampang datang dan belanja ke toko kelontong terdekat. Muka tertampar realitas paling fundamental. Indonesia bukan hanya Jawa. Indonesia tidak sekadar berbicara Jakarta. Sumatra dan Kalimantan, pulau besar yang tertuduh menyumbang deforestasi—dan terus berjuang menutup lubang-lubang di kawasan hutan berbasis masyarakat dan kearifan lokal—juga bagian dari Nusantara.

Prolog Arah Singgah 2023
Hatuaon Pasaribu, petani hutan mitra Taman Nasional Gunung Leuser, menunjukkan pohon jengkol di kebun miliknya/Deta Widyananda

Para peramu harmoni yang kami temui menyadarkan itu. Apa apresiasi sepadan untuk orang-orang yang mengabdikan diri merawat pertiwi?

Selamat datang di Arah Singgah!

Jauh bukan satu-satunya alasan mengapa tiga provinsi itu menjadi tujuan utama ekspedisi Arah Singgah tahun ini. Namun, jauh tidak menjadi ambisi yang harus dikejar sebagai sebuah pencapaian pribadi kami. Jauh adalah harapan spektrum cerita yang kami laporkan mampu merengkuh lebih banyak pembaca maupun pemerhati kebijakan.

Selama ekspedisi, puluhan orang yang menjadi narasumber telah berbagi banyak cerita kepada TelusuRI. Masing-masing memiliki peran. Masing-masing menyuarakan isu terkini yang relevan, mulai dari ekonomi restoratif, konservasi, iklim, energi terbarukan, sampai dengan perhutanan sosial—di daratan dan perairan. Lengkap dengan keresahan maupun harapan terhadap aneka perubahan; yang cepat atau lambat pasti akan datang.

Kami harus mengakui jika kami bukanlah juru selamat untuk menjawab itu. Kami hanyalah perpanjangan dari suara dan tangan mereka untuk menjangkau mata dan telinga yang lebih luas lagi. Melalui tulisan, foto, dan video. Karya-karya jurnalistik yang sebisa mungkin kami sajikan secara berimbang. Walau sekilas tampak setitik, tetapi jika kami seyakin Pak Hatuaon Pasaribu tentang masa depan, maka semoga Arah Singgah bisa mengetuk hati siapa pun yang peduli.

Inilah, Arah Singgah 2023. Selamat menikmati dan belajar dari tutur serta laku orang-orang yang kami temui. Ada belasan bahkan puluhan sosok yang berupaya mengisi hidupnya untuk mencari titik temu, antara keseimbangan alam maupun memenuhi kebutuhan ekonomi. Merenungi suara-suara hutan, sungai, danau, embun, kabut, hingga para satwa yang turut berjuang menjaga harmoni.

Ritme dan senyawa perjalanan Arah Singgah mungkin bukan untuk semua orang. Tak terkecuali Anda sekalipun. Namun, kami berharap perjalanan ini kelak akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. (*)


Foto sampul:
Trekking di dalam hutan desa Merabu, Kabupaten Berau/Rifqy Faiza Rahman

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar