“Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Supadio, Pontianak. Para penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi.” Suara dari pramugari sudah terdengar dari pengeras suara. Pesawat akan segera menapak di bumi Kalimantan. Ini adalah kunjungan pertama saya ke Pontianak. Jantung memompa darah begitu kencang—antara semangat dan gugup.
Saya sempat menerka-nerka seperti apa Pontianak; sungai nun panjang yang diisi oleh sampan kecil, klenteng yang bergandengan dengan masjid, dan rumah-rumah panggung tepi sungai. Permadani hijau terhampar luas dari jendela pesawat, sejenak kemudian, kumpulan bangunan mulai terlihat berada di dekat dengan sungai—saya tebak pasti Sungai Kapuas. “Sayang ya, airnya cokelat. Coba aliran airnya jernih, mungkin pemandangan dari atas sini akan terlihat lebih cantik,” ucapku dalam hati.
Kunjungan saya kali ini dalam rangka business trip. Setelah hampir dua tahun hanya mengendap di rumah sembari bekerja, inilah momen peralihan dari kegiatan daring menuju luring. Rasanya menyenangkan, tetapi di juga menakutkan. Sebab, mesti ada penyesuaian kembali dari semua kegiatan yang serba mengandalkan jaringan internet menjadi kegiatan lapangan.
Saya menjadi delegasi Rombak Media untuk program CREATE (Creative Youth for Tolerance) yang merangkul anak anak SMA dari kelas X hingga XII untuk memahami praktik toleransi dan pluralisme di Pontianak. Saya juga menjadi moderator dalam sebuah focus group discussion antar peserta yang sebelumnya sudah mengikuti kunjungan ke rumah ibadah yang ada di sekitar Pontianak.
Kegiatan diskusi berlangsung pada tanggal 20 Agustus 2022 pada pukul 09.00 WIB. Jujur, saya cukup terkejut melihat para peserta yang sudah bersiap dari sekitar pukul 8.30. Untuk kegiatan kali ini kami dibantu oleh Kak Ningsih dan Kak Rio selaku Field Officer untuk Kota Pontianak, lalu ada Kak Yustina dan Kak Oki. Kami sudah bertemu malam sebelum kegiatan untuk melakukan briefing dan berkenalan.
Kebetulan, malam itu Kak Oki sedang berhalangan hadir karena sudah ada jadwal kegiatan lain. Karena kami sudah lebih mengenal Kak Rio dan Kak Ningsih melalui koordinasi dan meeting secara online, maka kami tidak merasa terlalu canggung.
Namun, untuk Kak Yustina, saya agak merasa kikuk untuk harus bersikap seperti apa, karena saya dan dia belum pernah menjalin komunikasi sebelumnya. Untungnya, Kak Yustina sangat ramah dan mudah bergaul. Saya akhirnya merasa pembicaraan kami berlangsung dengan menyenangkan. Kak Yustina juga menawarkan untuk mencetak dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kegiatan nanti, karena kami kebetulan tidak membawa printer khusus dari Jakarta.
Sebelum kegiatan semua peserta melakukan tes antigen untuk memastikan semuanya sehat dan siap untuk mengikuti kegiatan. Malang nian, dua peserta dinyatakan positif COVID-19 setelah menjalani pemeriksaan. Kami pun menghimbau peserta yang positif untuk pulang dan beristirahat sampai membaik.
Saya jadi merasa sangat bersalah dan bingung, ketika harus meminta peserta yang positif untuk pulang, padahal mereka sudah menyempatkan dan berusaha menyisakan waktu untuk datang. Apalagi, salah satu peserta ada yang berasal dari Kubu Raya jarak tempuhnya ke Pontianak sekitar 2 jam perjalanan dan harus melalui jalan yang masih belum di aspal. Tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak pulang maka resikonya akan lebih besar untuk peserta lain dan peserta yang sakit itu sendiri.
Kegiatan pada siang itu berjalan dengan lancar. Antusiasme peserta membuat saya sangat bersemangat dalam memandu jalannya kegiatan. Mereka sangat aktif dan terbilang cukup dekat dengan satu sama lain.
Pendapat dan cerita yang mereka bagikan selama kegiatan, membuat saya belajar banyak hal tentang bagaimana toleransi di Pontianak. Saya juga baru tahu, bahwa dulu di Pontianak pernah terjadi tragedi kerusuhan Sambas—kerusuhan antar etnis—yang dampaknya masih cukup terasa hingga saat ini dan dirasakan oleh para keturunan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Keberagaman peserta di Pontianak membuat saya bersemangat selama kegiatan berlangsung. Salah satu peserta juga ada yang tuli, namun tidak ada diskriminasi dari peserta lainnya. Mereka justru belajar tentang bagaimana cara menggunakan bahasa isyarat. Saya sempat berfikir jika para peserta diberikan ruang dan kesempatan yang lebih siapa tau mereka bisa membawa perubahan yang besar di Kota Pontianak. Semoga.
Mencicipi Mi Tiaw
Rasanya ada yang kurang jika berkunjung ke tempat baru tanpa mencicipi kuliner lokal dan mampir ke atraksi wisata setempat. Sewaktu di hotel, saya sempat berbincang sebentar dengan resepsionis hotel, yang kebetulan sama-sama berasal dari Bandung.
“Baru pertama ke Pontianak, Mbak?” tanyanya kepada saya sewaktu check in. Saya mengangguk, mengiyakan dugaannya.
“Saya juga baru loh di sini, Mbak. Baru sekitar dua tahun di Pontianak.”
Dia kemudian memberikan sebuah kartu yang bertuliskan namanya yang dilengkapi dengan alamat dan nomor telepon. “Ini kartu nama saya, siapa tahu nanti ke Pontianak lagi. Kita bisa main.” Berkat dialah, saya mendapatkan rekomendasi tempat makan yang harus dicoba, salah satunya adalah Mi Tiaw Apollo.
Di bawah terik mentari yang memancar kuat, sembari menunggu ojek daring, saya mengamati sekitar. Dua orang pemulung berjalan kepayahan dengan gerobak dorong bak baru saja pulang dari medan perang. Seorang ibu tua yang menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang lewat dengan intonasi yang tinggi. Rumah-rumah kayu yang menghitam dimakan umur. Tak lama, ojek daring datang dan kami bergegas pergi. Sayang, tujuan saya, Mi Tiaw Apollo tutup. Bapak pengemudi menawarkan beberapa pilihan tempat makan lainnya yang serupa. Saya setuju dengan sarannya. Motor kembali digas ke Mi Tiaw Antasari, yang konon cita rasanya juga melegenda. Bapaknya baik, mau mengantarkan saya tanpa mengenakan ongkos tambahan.
Saya memilih untuk mencari tempat duduk di dekat tembok yang bercat kuning. Gemuruh suara orang berbicara di dalam warung bernafaskan Melayu: koki yang berteriak bahasa Melayu, pelayan yang bergumam dalam bahasa Melayu, pelanggan yang bercanda dalam bahasa Melayu. Telinga saya memang akrab dengan bahasa ini. Pesanan datang. Sepiring mi tiaw daging dengan porsi orang kelaparan. Saking banyaknya, saya tidak mampu untuk menghabiskan dan memutuskan untuk membungkus sisanya.
Menyusuri Sejengkal Pontianak
Di penghujung hari, kala padatnya manusia tidak berkurang sama sekali, saya memutuskan untuk melangkahkan kaki melihat Kota Pontianak dari nadinya. Jujur, saya sebenarnya malas dan berniat untuk tetap tinggal di hotel setelah kegiatan berlangsung. Kalau bukan karena ajakan Kak Ningsih, Kak Rio, dan Anti, saya pasti hanya menghabiskan sisa hari dengan rebahan. Saya sempat berpikir akan pingsan di jalan saking lelahnya, tapi kalaupun nantinya pingsan, setidaknya saya pingsannya di Pontianak.
Ojek mobil yang kami tumpangi menggilas jalanan di sore hari yang dirundung awan. Persinggahan pertama kami adalah Rumah Betang. Rumah Betang ini adalah replika rumah adat yang dulunya digunakan oleh masyarakat Dayak sebagai perkampungan komunal dalam satu bangunan. Sekarang, karena fungsinya replika, maka tempat ini menjadi serbaguna. Sebutan lainnya adalah Rumah Radankng–istilah penyebutan rumah adat dari suku Dayak Kanayatn. Modifikasi yang terlihat mencolok adalah tangga yang terbuat dari semen dan seperti tangga pada umumnya, mendampingi tangga asli yang terbuat dari batang kelapa–yang saya coba menaikinya.
Sehabis dari Rumah Betang, kami beranjak ke tepian Sungai Kapuas, lalu menaiki sebuah kapal. Di dalamnya ada warung yang menjual berbagai makanan ringan dan minuman. Bentuknya seperti kapan biasa tapi ada toko kecil di bawahnya, untuk menaiki kapan ini kami perlu membayar sekitar 15 ribu rupiah.
Perjalanan mengelilingi Sungai Kapuas kurang lebih memakan waktu 40 menit. Angin berhembus cukup kencang dan tanpa sadar membuat saya melamun. dari kapal kita bisa melihat dua perbedaan cukup signifikan antara tipe pemukiman di sebelah kanan dan kiri sungai. Mungkin jika diartikan secara literal ini lah definisi nyata dari inequality, bangunan di sebelah kanan kapal sudah mulai terlihat lebih modern dan rapi sedangkan di sebelah kiri kapal banyan bangunan yang masih terbuat dari kayu dan beberapa warga masih menggunakan Sungai Kapuas untuk sekedar mencuci baju atau piring.
Sambil memandang matahari yang mulai sirna, Kak Rio dan Kak Ningsih bercerita tentang kenapa warna Sungai Kapuas bisa kotor dan legenda-legenda makhluk misterius yang bernama puake. Mendengar cerita ini, saya teringat cerita legendaris Nyi Roro Kidul karena kisahnya yang kurang lebih sama.
Saya tiba-tiba teringat buku dari Yuval Noah Harari Sapiens, mungkin memang benar, manusia membuat cerita-cerita mistis yang dapat dipercaya untuk menjaga harmoni antar manusia atau menjaga alam agar dapat terus terawat dengan baik.
Yang terakhir, sebelum kembali ke hotel untuk beristirahat kami mampir di D’bamboo untuk memakan chai kue. Makanan ini bentuknya mirip seperti dimsum namun isinya macam-macam: ada bengkuang, kuchai, keladi dan kacang. Karena tidak tahu mana yang paling enak, kami memutuskan untuk memesan semuanya.
Tekstur dari chai kue ini sangat lembut dan mudah terbuka. Rasanya gurih dan akan lebih mantap lagi kalau dimakan bersama sambalnya yang pedas dan asam. Saking enaknya saya menghabiskan total tujuh chai kue sendirian. Saya sempat berencana untuk membungkusnya pulang ke Jakarta, tapi ternyata chai kue hanya bertahan 1 hari saja. Alhasil, saya jadi bercanda dengan Kang Ningsih dan Kak Rio, kalau saja di Pulau Jawa ada yang berjualan chai kue mungkin saya sudah menjadi pelanggan tetap mereka. Gelak tawa menghidupkan malam terakhir kami di Pontianak, dan saya belum tahu kapan akan kembali ke sini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.