Sorot dari bola mata itu mulai berpindah ke sudut mata. Melirik tajam orang-orang di sekelilingnya yang memerhatikan ritual secara saksama. Ia mengiringi penghulu yang sedang merapal mantra dan berkeliling rimbunan. Ketika sorot mata itu sampai ke arah tempat saya duduk, saya jadi tersipu dan berusaha membuang muka agar ritual tak terganggu dengan kehadiran saya. Sosoknya sudah saya dengar di obrolan sebelumnya tentang eksistensi balian perempuan di Dusun Gadang, Kecamatan Hampang, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Ia menghayati setiap larik yang terucap dari mulut ayahnya, Penghulu Makirim dengan wajah menunduk. Bibir mungilnya ikut bergerak, mengikuti lantunan irama mantra yang diikuti dendang kalimpat—menabuhkan gema mistis yang merebak ke penjuru balai. Wajahnya bak putri di negeri dongeng orang-orang Austronesia; dengan riasan tipis dan gincu merah keunguan. Namun, di beberapa momen ia terlihat seperti menanggung beban berat di pundaknya. Bukankah harusnya kamu malam ini bergembira?
Saya berpindah tempat, diam-diam mendekatinya untuk mendengar apa yang ia ucapkan. Saya masih tidak bisa mendengar dengan jelas. Para balian—termasuk dia dan Penghulu Makirim—yang berjumlah tiga orang mulai mengelilingi rimbunan lagi dan lagi. Balai yang berada di Dusun Gadang ini hanya seukuran rumah tinggal. Luasnya yang tidak terlalu besar membuat keramaian balai terbagi. Sebagian duduk memperhatikan ritual di dalam dan sebagian lainnya menghabiskan waktu dengan bermain judi dadu di luar balai.
Tidak berapa lama, Balian Makirim menyudahi ritualnya. Kemudian berdirilah sosok muda yang energik dengan badan tegap dan kokoh. Ia mulai merapal mantra, menggantikan peran Balian Makirim yang membimbingnya dari samping. Derap kaki dan irama gelang hyang seirama dengan gerak tubuhnya yang meledak-ledak. Ia juga mengobati orang-orang sakit yang hadir ke balai malam itu dengan berharap kesembuhan. Saking panjangnya ritual malam ini, mata saya tidak lagi mampu menahan amukan kantuk yang mendera. Untungnya, Yulianus berkenan menjadikan rumahnya sebagai tempat istirahat kami.
Berbagi Peran dalam Tradisi
Pagi ini langit berselubung awan. Matahari masih malu untuk bersinar kuat. Gemeresik angin mulai menyapa lewat sela papan kayu. Beberapa orang sudah berkumpul pagi ini untuk mengobrol; berteman biskuit, teh hangat, juga lemang. Mata saya masih terasa berat untuk mengikuti obrolan, saya hanya mendengarkan saja tanpa ada membalas percakapan tersebut. Mereka saling berdebat siapa calon presiden terbaik yang akan memimpin Indonesia ke depannya. Rupa-rupanya, hasrat politik nasional tidak hanya hinggap ke perkotaan, tetapi sampai hingga pedalaman Meratus—yang sinyal selular pun belum singgah.
“Partai politik itu semuanya licik!” ujar salah seorang yang juga menjadi kesimpulan pembahasan politik pagi ini.
Saya juga menyudahi mendengar pembicaraan tersebut dan berjalan keliling kampung. Sisa-sisa malam yang semarak ternyata masih membahana di pagi yang mendung ini. Ritual akan berlanjut nanti malam. Namun, bandar judi sudah bersiap sepagi mungkin, mengais dan membagikan pundi-pundi rupiah. Tentu kepada yang beruntung hari itu. Tuhan mengharamkan bermain judi, tetapi mengizinkan kita berjudi dengan kehidupan. Dan orang-orang Meratus memilih berjudi pada keduanya.
Setelah pagi agak mulai panas, barulah orang-orang mulai bergotong royong membangun panggung sungkai, sangkar jelapah, dan sangkar ampatung. Sangkar jelapah berbentuk seperti perahu, dengan hiasan daun enau dan papan yang bergambar daun dan bunga—yang sepertinya tidak mempunyai pakem tertentu. Gambar daun dan bunga ini adalah hasil karya anak-anak, terlihat dari imajinya yang membentuk coretan-coretan tak simetris. Sangkar ampatung adalah kayu-kayu yang terbentuk menyerupai patung yang mewakili sebagai penjaga-penjaga kampung dan berbekal berbagai macam pahatan senjata. Dan panggung sungkai terbuat dari daun enau yang dibentuk empat sudut berbentuk arah mata angin.
Semua lelaki bekerja keras membuat alat ritual. Begitu pun kelompok perempuan yang merangkai hiasan dan membuat sesajen dan panganan di dapur. Para pemuda lainnya bertugas untuk membakar lemang yang terbuat dari ketan yang sebelumnya sudah diisi ke bambu buluh oleh para perempuan.
“Apakah bisa pekerjaan lelaki kemudian dikerjakan perempuan dan sebaliknya?” tanya saya pada Ipau, warga yang membantu kegiatan aruh dan juga masih berkerabat dengan Yulianus.
“Nggak bisa juga. Beda kerjaannya, beda jalurnya,” jawabnya diselingi tawa mendengar pertanyaan saya yang mungkin terdengar aneh. Pekerjaan di aruh sudah dikelompokkan sesuai dengan kemampuan kerjanya. Para perempuan bertugas merangkai hal-hal yang berhubungan dengan estetika, sedangkan lelaki lebih banyak mengemban pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kekuatan. “Kalau yang meringgit daun ini perempuan yang bisa. Ahlinya.”
Bagaimana soal balian perempuan? Apakah tadi malam yang saya lihat adalah satu-satunya balian perempuan di Gadang?
“Bisa [balian perempuan], tetapi kami di daerah sini jarang juga perempuan ada [yang jadi balian]. Kalau daerah Alai di situ mungkin banyak.”
“Bagaimana dengan anak Balian Makirim?”
“Belum. Itu belum jadi, baru mau mulai [belajar]. Kalau anaknya yang lelaki itu sudah bisa, sudah lulus ibaratnya,” pungkasnya.
Dari cerita Ipau, hanya ada satu balian perempuan yang tersisa di daerah Gadang, namanya Indung Turiah. Umurnya pun sudah tidak lagi muda. Konon, suaminya yang sudah meninggal menemuinya dalam keadaan terjaga dan memintanya untuk melanjutkan tradisi babalian. Namun, ia enggan dan memilih jadi penanamba atau tabib saja.
Mencari Penerus Balian
Gelap sudah menggerayangi langit temaram yang tampak habis memakan warna cerahnya. Sekelebat angin lewat dan hilang tiba-tiba, menyejukkan suhu yang semula membara kala terik tak lagi dapat ditahan awan. Suara sungai yang debit airnya sudah mulai menipis karena musim kemarau turut mengisi orkestra sore di Meratus yang terpencil. Anak-anak turun mengisi hamparan tanah yang timbul di pinggir sungai, berteriak, dan berlarian sesuka mereka. Sementara menunggu ritual berlangsung nanti malam, kami bersantai di rumah Pak Yulianus sembari berbincang dengan Balian Makirim.
Di tengah perbincangan, tiba-tiba saja istri Pak Yulianus masuk dan marah-marah. Saya mencuri dengar perihal apa yang sedang mereka permasalahkan. Rupanya, salah satu anak Pak Yulianus yang bernama Reno, tidak mau lagi masuk sekolah.
“Apa kamu tidak mau sekolah lagi? Kalau tidak mau sekolah lagi, ya sudah! Bantu ayahmu berkebun dan kamu tidak akan dapat lagi uang jajan dariku!” suaranya yang lantang menggetarkan seisi rumah. Kami semua terdiam.
Balian Makirim pun mulai memelankan nada bicaranya. Air mukanya berubah menjadi sangat serius, melanjutkan pembicaraan yang tadi terhenti, “Setiap kita menjadi balian, tetap kita menurunkan ke anak. Siap apun mau itu tidak ada halangan. Kalau nggak ada penerusnya, akhirnya habis.”
Memang, dalam hati Balian Makirim, ada keinginan anaknya dapat meneruskan adat yang ia emban. Namun, kemudian ia juga menyadari. Ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan dan harus menyerahkannya kepada sang anak untuk memilih jalan hidupnya. Dari kelima anaknya, hanya dua yang niat belajar balian: Baliawan yang lelaki dan Sarian yang perempuan. Mereka berdualah yang membantunya dalam menggalang ritual kemarin malam.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.