“Karya-karya seni adalah kesunyian yang tak terbatas, dan tak ada pendekatan apa pun yang paling tak berguna seperti halnya kritik sastra. Hanya cinta yang bisa menyentuh dan menggenggam karya seni dan berhubungan dengan mereka.”
— Rainer Maria Rilke, Surat-surat Kepada Penyair Muda dan Sejumlah Sajak.
Saat Waton Diskusi Susastra baru saja selesai, Mas Mawai (dosen saya) memanggil saya seraya menyodorkan sebuah buku: Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan, kumpulan puisi teranyar dari Suminto A. Sayuti. Belum sempat saya terkejut, Mas Mawai menepuk-nepuk bahu saya, sambil berkata, “Tolong dibuatkan ulasannya, ya.”
Yang tersisa kemudian adalah kelesah yang berusaha menerima. Serta sedikit batin, saya ini siapa?
Bagi saya, kegemilangan Pak Minto (demikian saya memanggilnya) pada masa sekarang ialah hasil dari tempaannya di masa lampau. Dahulu, di markas PSK (Persada Studi Klub), Pak Minto beserta penyair lain digembleng ketajaman hatinya oleh Umbu Landu Paranggi. Hal tersebutlah yang menjadi sebab status Pak Minto bukanlah sekadar pengajar atau dosen. Ia guru.
Setelah berdamai dengan perkara “kepantasan” yang melelahkan, tibalah saya pada sebuah keharusan menyisihkan waktu untuk mengakrabi kumpulan puisi itu. Di tengah jam kuliah yang seakan sengaja dibuat agar mahasiswa tak memiliki waktu untuk sekadar mengusap keringat. Kami pun—saya dengan kumpulan puisi itu—hanya bisa bertemu di tepian dini hari, diiringi alunan napas malam kawan-kawan asrama yang kompleks.
Melankolia dan Nostalgia
Untuk permulaan, saya ingin berangkat dari judul yang panjang. Mengingat di zaman kini, (saya rasa) manusia cenderung menyukai hal-hal praktis dan ringkas. Sekilas saya beralih pada daftar isi dan tak ada satu pun puisi berjudul demikian. Maka, kalimat judul itu mestinya perwakilan dari puisi-puisi di dalamnya. Saya kembali pada sampul, membaca ulang judul, dan mendapati bahwa kata kepulangan dan keberangkatan memiliki hubungan pertentangan. Dugaan awal saya, puisi-puisi dalam buku ini akan berisi pertentangan-pertentangan (oposisi biner) dan penyair, saya rasa, kesulitan menghimpunnya dalam satu kalimat yang ringkas dan padat.
Pertentangan dan kesulitan menjadi modal awal saya untuk mengakrabi kumpulan puisi tersebut, sambil berharap Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan merupakan sebuah kalimat judul yang utuh dan kuat. Ya, untuk permulaan, saya menggunakan paradigma strukturalisme, dan karenanya, saya menuntut ketunggalan makna. Sementara kata “ketika”, “diri”, dan “dan”, saya sisihkan terlebih dahulu untuk kemudian kembali dibahas pada bagian akhir.
Kemudian daftar isi. Ah, mata saya tak bisa lepas darinya ketika ditampilkannya judul-judul puisi yang seakan berpasangan atau bahkan berkelompok. Hal itu teramini oleh pembacaan awal saya yang tak menemui satu pun puisi yang benar-benar tunggal (tak berpasangan atau berkelompok). Selepas pembacaan awal itu, saya mengelompokkan puisi-puisi tersebut menjadi tiga kelompok: Kelompok Kepulangan (dari Notasi, 1 hingga Jarum Waktu), Kelompok Keberangkatan (dari Rendezvous, 1 hingga Dari Sebuah Ruang Maya), dan Kelompok Kepulangan sekaligus Keberangkatan (dari Hujan Akhir Tahun hingga Sebuah Nama Telah Ditulis). Pengelompokan ini bukanlah iseng belaka. Alasan-alasan terkaitnya akan terpapar setelah ini.
Mari mulai beralih ke puisi. Saya akan mencoba memaparkan betapa kumpulan puisi ini begitu teknis sekaligus mencoba menerangkan alasan-alasan dari setiap poinnya.
- Hampir keseluruhan puisi dalam buku ini berbentuk naratif. Seluruhnya ditulis tanpa keterangan tahun. Beberapa juga memiliki semacam bentuk kerangka yang sama. Seperti dalam beberapa puisi Ninabobo: terdiri dari tiga bagian, bagian pertama diawali dengan Aku pun, bagian tengah diawali dengan Tidurlah, dan bagian akhir kembali diawali dengan Aku pun. Betapa kumpulan puisi ini sungguh teknis (dan itu sungguh adalah modal yang bagus!);
- Hampir keseluruhan puisi di dalamnya menolak tanda baca selain tanda titik. Bahkan dalam Ninabobo Diri, 2, digambarkan secara lugas: Melampaui/ senyap antara. Tanpa koma. Ataupun titik dua. Tanda titik adalah, sederhananya, sebuah alat untuk mengakhiri. Dengan fakta bahwa penyair seakan menyengaja untuk sering menggunakan titik (kesengajaan yang terlalu kuat sehingga mungkin akan tepat bila disebut obsesi), tangkapan saya atas hal ini adalah selain untuk mempermainkan konvensi bahasa, penyair menghujani puisinya dengan tanda titik sebab ia menghadirkan tokoh aku yang memiliki obsesi untuk mengakhiri sesuatu. Berhubung simpulan tema besar dari saya untuk kumpulan puisi ini adalah hal-hal yang melankolik dan nostalgia, maka bisa jadi objek yang ingin diakhiri oleh tokoh aku adalah hal-hal tersebut (masa lalu, kenangan, dan lain-lain).
Sementara tanda koma dan titik dua biasa dipergunakan untuk pemisahan dan atau perincian sesuatu. Berbekal simpulan terkait tema besar dan tangkapan atas tanda titik, tangkapan saya atas sedikitnya/dihindarinya tanda baca selain tanda titik (tanda koma dan titik dua) adalah representasi dari penolakan tokoh aku (upaya untuk mengusir) terhadap perpisahan dan perincian (penjelasan, kepastian, dan lain-lain.) Di sisi lain, kemunculan sesekali tanda baca selain tanda titik (tanda koma dan titik dua) dapat dipergunakan sebagai acuan untuk kondisi tokoh aku dalam gejolak ketakutan atas perpisahan (penolakan) dan hilangnya rasa takut tersebut (penerimaan).
- Banyak sekali terkandung oposisi biner yang seakan diupayakan oleh penyair untuk bersatu. Dalam Ninabobo Kamar, penyair menulis: Tidurlah kamar di antara dua tubuh satu jiwa; Bertegur sapa dalam diam; juga dalam Ninabobo Batu: Aku pun sejumput lumut di musim kemarau; Kita/ bakar dingin bukit. Keinginan untuk mempersatukan dua hal yang bertentangan ini saya tangkap sebagai ketakutan yang dialami tokoh aku dalam keseluruhan puisi terhadap hal-hal yang tidak mempersatukan (perpisahan). Namun, ironisnya, kedua hal yang bertentangan tersebut, ketika disatukan, akan mustahil berada dalam posisi setara. Mereka akan terjebak dalam bentuk: depan-belakang, kiri-kanan, yang berkaitan erat dengan skala kepentingan (hal ini akan dijelaskan kembali di bagian akhir).
Periodisasi Perjalanan
Poin-poin dalam bagian sebelumnya berkaitan erat dengan alasan saya mengelompokkan kumpulan puisi ini menjadi tiga kelompok. Dari pemilihan judul yang memuat kata ketika, yang hubungannya adalah dengan waktu, maka tiga kelompok yang saya maksudkan di awal adalah tentang periode perjalanan si tokoh aku dalam puisi.
Periode Kepulangan
Kepulangan secara harfiah berarti kondisi kembalinya sesuatu setelah keberangkatannya. Namun, dengan fakta bahwa dalam judul, kata tersebut diletakkan di awal (tempat yang seharusnya diisi oleh keberangkatan), saya menganggap bahwa kepulangan di sini mesti dimaknai lebih dalam.
Berbicara mengenai kepulangan, tema besar tentang hal-hal melankolik dan nostalgia mengarahkan saya pada pemaknaan kepulangan sebagai peristiwa kepergian. Dalam artian, tokoh aku bukanlah rumah yang menjadi tempat pulang sejati. Lebih lanjut, tokoh kau dalam kumpulan puisi ini secara sederhana akan atau telah pergi menuju suatu tempat, dan bagi si tokoh aku, hal tersebut adalah kepulangan (sebab tokoh aku bukanlah rumah sejati bagi tokoh kau).
Menanggapi hal tersebut, diri tokoh aku dilanda kesedihan yang membuatnya bergejolak (sebab tak ingin tokoh kau pergi). Namun, terdapat sedikit sisa kerelaan (atau justru harapan akan keadaan sebaliknya) dalam tokoh aku yang tergambar dalam baris terakhir dalam puisi-puisi Periode Kepulangan ini. seperti dalam Ninabobo Batu, Ninabobo Angin, Ninabobo Kamar, dan sebagian besar puisi dalam periode ini.
Di periode tersebut, secara sederhana, menganut teori kepribadian (psikoanalisis) oleh Sigmund Freud, saya simpulkan bahwa terjadi konflik dalam alam bawah sadar tokoh aku: antara Id dan Ego. Dan dimenangkan atau didominasi oleh Id.
Periode Keberangkatan
Sebab kata kepulangan tak dapat diartikan secara harfiah saja, maka dengan pertimbangan konteksnya dengan tema besar, saya asumsikan bahwa kata keberangkatan adalah kondisi ketika tokoh aku mulai menerima/berdamai dengan “kepulangan”. Sederhananya, kali ini konflik alam bawah sadar dimenangkan/didominasi oleh Ego.
Hal tersebut tergambar dalam puisi-puisi Periode Keberangkatan yang sarat dengan kestabilan (merujuk pada konflik) dan nama-nama tempat/perjalanan (merujuk pada kata keberangkatan itu sendiri).
Periode Kepulangan sekaligus Keberangkatan (atau justru tidak keduanya)
Puisi-puisi dalam periode ini sarat akan kestabilan dan pemaknaan kembali atas apa-apa yang telah maupun akan terjadi. Maka dari itu, posisi puisi-puisi dalam periode ini ambigu (jelas sekaligus tidak jelas). Dalam periode ini, tokoh aku dalam puisi tergambar lebih tenang dalam bersikap, bahkan beberapa kali mengalami peningkatan. Seperti dalam puisi Sepanjang Masih Punya dan Kita Masih Punya. Kedua puisi tersebut sarat akan optimisme, tetapi dalam puisi Kita Masih Punya, skala keoptimisan digambarkan secara lebih tegas dan lugas ketimbang puisi Sepanjang Masih Punya.
Dalam periode ini, tiada konflik antara Id dan Ego. Alam bawah sadar tokoh aku sepenuhnya didominasi oleh Superego.
Visualisasi Perjalanan
Tibalah saya pada titik yang mengharuskan saya untuk kembali pada judul. Untuk memudahkan, saya mencoba menggambar “judul” sembari menerka hubungan antarunsurnya.
Dalam suatu bingkai ketika, terdapat dua titik yang saling berlawanan, mari kita menyebutnya sebagai Pulau Kepulangan dan Pulau Keberangkatan. Kedua pulau tersebut dijembatani oleh sebuah kata hubung: dan. Di atas Jembatan Dan, Diri berjalan. Di sini, saya mengartikan diri sebagai sebuah puisi (atau dapat pula tokoh aku).
Artinya, kumpulan puisi ini mestinya berisi tentang perjalanan diri dari pulau kepulangan menuju pulau keberangkatan, sambil meniti jalur/jembatan dan. Akan menjadi sebuah kejanggalan ketika terdapat, meski barang satu atau dua puisi, yang berisikan sesuatu di luar hal itu.
Namun, saya cukup percaya bahwa setidaknya dalam pandangan Rilke, apa-apa yang telah saya lakukan di atas adalah ketidakbergunaan. Untuk menyikapinya, tidak kita perlukan sebuah keseriusan yang sangat. Dengan kata lain: mari melupakan apa-apa yang telah saya sampaikan dan kembali pada pengembaraan di pulau-pulau diri. Atas nama cinta. Salam.
Judul: Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan
Penulis: Suminto A. Sayuti
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2023
Tebal: 112 Halaman
ISBN: 978-623-1390-39-4
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Abdillah Danny berasal dari Mojokerto dan tampaknya (tidak yakin) sedang studi di FBSB UNY. Kini diamanahi menjadi ketua divisi Susastra KMSI dan masih bingung hendak melakukan apa.