Keanekaragaman sumber daya alam dan tradisi menjadi pondasi Merabu menyelami ekowisata. Aneka aral tiada henti menguji.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Di kilometer ke-140 dari Tanjung Redeb, setelah lima jam perjalanan, mobil yang disewa TelusuRI berbelok arah ke kiri di simpang gapura Kampung Merapun. Jalan berubah drastis dari aspal ke tanah kering berkerikil yang sudah dikeraskan. Melewati sejumlah titik permukiman di antara perkebunan kelapa sawit yang jadi sumber kehidupan sedikitnya lima perusahaan sawit.
“Jarak dari gapura ke Kampung Merabu masih ada kurang lebih 31 kilometer,” kata Hardi, sopir asal Bone yang sudah lama merantau ke Berau itu. Cuaca hari itu (09/10/2023) cerah, sehingga kami bisa melihat gugusan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat di kejauhan. Tembok alam raksasa tersebut tampak kontras dengan hijaunya hamparan sawit yang telah mendominasi Kampung Merapun.
Merapun adalah desa tetangga terdekat dengan Merabu. Kontur jalan di kawasan ini kebanyakan datar, meskipun ada beberapa titik naik turun lembah. Saat hujan kondisi jalan akan sedikit berlumpur dan licin, sehingga ban rawan kehilangan traksi. Seorang pengemudi harus lihai mengendalikan motor atau mobilnya agar tidak selip.
Sebenarnya ada jalan tercepat menuju Merabu, yakni dari utara via Kampung Muara Lesan. Jarak dan waktunya bisa dua kali lipat lebih pendek dan cepat daripada lewat Merapun. Akan tetapi, beberapa waktu lalu Sungai Lesan meluap. Jembatan kayu satu-satunya yang menghubungkan dua desa rusak diterjang banjir bandang. Kami pun terpaksa harus mengambil rute memutar dan cukup melelahkan. Jika digambarkan, jumlah kilometer yang kami tempuh baru sepertiga dari keseluruhan jarak Tanjung Redeb ke Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur.
Asrani (48), kepala Kampung Merabu sekarang, menyebut akses jalan saat ini jauh lebih mendingan ketimbang beberapa dekade lalu. Semasa masih bersekolah di Tanjung Redeb dan jalan poros Berau—Samarinda belum dibangun, Asrani harus naik ketinting selama dua hari menyusuri sungai-sungai besar, seperti Lesan dan Kelay hingga bertemu Sungai Segah di pusat kota Tanjung Redeb. Bermalam di pinggiran hutan, membawa terpal untuk melindungi dari hujan.
Pengalaman Ransum (61), ketua adat Kampung Merabu, lebih berat lagi. Di masanya “teknologi” ketinting dan mesin tempel belum ditemukan. Ia bersama sejumlah warga menaiki rakit kayu dan mendayung dari Merabu ke Tanjung Redeb selama tiga hari perjalanan. Membawa hasil hutan, seperti getah damar, lilin madu, dan rotan. “Kalau mudik balik, bisa tembus 19—20 hari karena melawan arus. Kalau air sungai lagi besar, bisa tembus satu bulan,” ungkap Ransum.
Di Tanjung—sebutan orang Merabu terhadap ibu kota Berau—mereka bisa dapat upah 10 rupiah per hari dari hasil berdagang tersebut. “Uang segitu enggak akan habis kalau buat makan enam orang di warung. [Sisanya] belanja beras, gula tebu, garam kotak, sama pakaian buat dibawa pulang,” tambahnya.
“Jalan poros [Berau—Samarinda] ini kan juga dulunya yang buat perusahaan kayu. Terus jalan ke kampung juga yang bikin perusahaan sawit,” terang Asrani dalam sebuah kesempatan mengobrol di rumahnya. Ia mengkritik ketidakhadiran negara untuk rakyatnya, “Mana mau pemerintah buat jalan?”
Situasi “mendingan” yang disebut Asrani sebelumnya memang masih jauh dari kata ideal. Jauhnya lokasi kampung, baik dari Berau maupun Samarinda-Balikpapan, lalu daya tarik wisata yang menggaransikan petualangan, kian menguatkan segmentasi Merabu bukan untuk semua orang. Hanya orang-orang yang memiliki minat khusus untuk berwisata ke kampung penyangga ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat itu.
Maka tatkala The Nature Conservancy (TNC), organisasi nirlaba global bidang sosial dan lingkungan asal Amerika Serikat—yang di Indonesia kemudian berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)—masuk Merabu sejak 2011, dari yang semula meriset etnografi dan arkeologi di sepanjang aliran Sungai Lesan dan kawasan karst, berkembang mendampingi pengembangan potensi ekonomi lokal berbasis masyarakat.
Peningkatan kapasitas warga Merabu menjadi prioritas selain pembangunan infrastruktur fisik. Mereka diajak melihat sudut pandang lebih luas dari sekadar budidaya karet maupun memanen sarang burung walet, yaitu ekowisata.
Tantangan membuka pikiran masyarakat
“Dulu [masyarakat punya] ketergantungan di gua, [memanen] sarang walet,” ujar Yervina (40), bendahara Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK, menerangkan awal mula penghidupan masyarakat Merabu sebelum beralih ke ekowisata.
Penghasilan dari sarang burung walet pada masa jayanya memang sangat menggiurkan. Jalan semalaman saja di hutan mudah mendapatkan hasil, karena sepanjang pinggiran hutan pasti ada gua-gua karst yang dihinggapi walet. Bahkan tidak sampai satu malam, dalam hitungan jam saja sudah bisa membawa pulang satu kresek sarang walet senilai 5—10 juta rupiah.
Akan tetapi, di era tersebut beberapa orang kurang bijak mengelola pemasukan sebesar itu dengan baik alih-alih berpikir jangka panjang. Yervina menilai orang dahulu berpikir hasil sarang walet bisa untuk selamanya, padahal alam suatu saat akan menurun juga apabila dieksploitasi habis-habisan. Tak tebersit sedikit pun untuk berinvestasi dengan membeli sepeda motor, apalagi menabung. Uang jutaan rupiah habis tak bersisa hanya dalam hitungan hari. Entah untuk hura-hura ke kota, pesta minum, main perempuan maupun kegiatan-kegiatan nirfaedah dan tidak punya arah. Dampaknya akan terasa ketika usia sudah lanjut dan tidak bisa lagi jalan ke hutan memanen sarang walet.
Di antara itu ada segelintir penduduk yang lebih terarah dalam mengatur keuangannya. “Jadi, beruntunglah mereka [yang lebih terarah]. Ketika gua sudah tidak menghasilkan [karena harga walet turun], sekarang larinya ke wisata. Mereka mempergunakan uangnya dengan baik, [sehingga] bisa berinvestasi dan memiliki modal untuk wisata,” jelas guru SDN 001 Merabu itu.
Ia dan keluarga besarnya bukan tanpa usaha untuk mendidik masyarakat. Terutama mendiang Agustinus, suaminya yang juga kepala kampung periode 2018—2021 dan merupakan saudara kandung Asrani-kepala kampung sekarang. Keduanya terbilang getol untuk mengedukasi masyarakat agar bisa bijak mengelola pendapatan sarang burung walet dengan baik. Meskipun pada akhirnya tidak semua sejalan.
Ketika harga sarang burung walet benar-benar anjlok, masyarakat belum sepenuhnya beralih ke ekowisata. Peluang lain yang sedang terbuka adalah membudidayakan bibit kelapa sawit pribadi, untuk dijual ke perusahaan di luar Kampung Merabu. Masing-masing memiliki potensi ekonomi yang cukup bagus.
“Sebenarnya semuanya penting. Wisata penting, walaupun orang bilang jangan bergantung sama wisata. Sawit juga penting, tapi jangan juga tergantung pada sawit,” jelas Yervina. “Kalau menurut saya, apa yang ada peluangnya di kampung ini silakan Anda [masyarakat] tangkap begitu. Jika ingin di wisata, maka berpikir kita harus bikin [sesuatu], seperti punya perahu, homestay, atau transportasi.”
Perjalanan membuka pola pikir masyarakat memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yervina mengakui perlu waktu untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat. Termasuk soal homestay, misalnya, yang belum semua warga mau karena merasa tidak layak melayani tamu. Sehingga setiap tamu yang datang seringnya diinapkan di rumah Yervina, Ester, Juari, atau Doni Simson—ketua BUMKam.
Namun, seperti yang ia sampaikan, Yervina justru mendorong agar masyarakat jeli melihat peluang lain di luar ekowisata. Tujuannya semata agar tidak terlalu bergantung pada kedatangan wisatawan untuk menunjang kehidupan masing-masing, terutama menjamin pendidikan anak-anak hingga ke jenjang tertinggi. Ia mengingatkan agar orang-orang Merabu tidak terlena dengan status kampung sebagai destinasi wisata.
Harapan berkelanjutan
Dalam perkembangannya, Merabu menghadapi sejumlah aral yang tidak bisa dianggap enteng. Di tengah arus tamu yang datang silih berganti dan harus mendapat pelayanan terbaik, tantangan demi tantangan seakan menuntut untuk diselesaikan. Salah satunya adalah keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai fasilitas pendukung kebutuhan dasar masyarakat kampung.
Selama kami singgah di Merabu, Ester, istri Asrani dan kepala kampung periode 2022—2023, telah memberitahu kalau PLTS sudah mati sejak Mei lalu. Katanya ada masalah pada daya baterai sehingga perlu diganti dengan yang baru, mengingat spesifikasi keahlian teknisi PLTS berbeda dengan teknisi listrik PLN biasa.
Matinya PLTS berbulan-bulan itu, setelah hampir lima tahun sebelumnya menyala 24 jam, terasa sangat berdampak pada aktivitas rumah tangga warga. “Karena ada masalah di baterai, jadi kami kembali lagi ke awal rasanya,” celetuk Ester sedikit tergelak.
Sumber listrik diesel atau genset kembali diandalkan, meskipun tidak semua warga punya. Bahan bakar minyak yang mahal, bisa hampir 2—3 kali lipat dari harga normal, membuat Ester hanya memaksimalkan tenaga genset pribadi saat petang sampai malam. Biasanya mulai pukul 18.00 hingga tengah malam. Berlaku pula untuk genset besar yang ada dalam satu lahan dengan PLTS, yang tidak dinyalakan setiap hari karena keterbatasan bahan bakar.
PLTS didapatkan Kampung Merabu pada 2015 dari pihak ketiga, yaitu Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia) bekerja sama dengan Bappeda Kabupaten Berau dan PT Akuo Energy Indonesia, dengan nilai investasi mencapai 20 miliar rupiah. PLTS yang berdaya sedikitnya 300.000 VA itu dikelola oleh PT Sinang Puri Energi, unit usaha BUMKam Lebo ASIK, dan terintegrasi dengan genset kampung sebagai cadangan energi. Franly Aprilano Oley, kepala kampung periode 2012—2017, diberi tanggung jawab penuh sebagai ketua perusahaan. Bekerja bersama Aco sebagai operator dan Ester selaku petugas administrasi.
Keberadaan PLTS komunal tersebut krusial karena menjadi simbol nyata energi terbarukan yang seiring dengan pengembangan ekowisata di Kampung Merabu. Tentu yang paling pokok adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti memompa sumber air dari sungai untuk kebutuhan harian, menyalakan kulkas dan perlengkapan elektronik lainnya, hingga yang tidak kalah penting adalah menjadi penerangan untuk anak-anak yang belajar di rumah maupun sekolah.
Pada saat bersamaan, operasional PLTS secara optimal jelas akan membantu kelancaran aktivitas wisata di Kampung Merabu. Para tamu tidak akan kesulitan untuk setidaknya mengisi ulang perangkat elektroniknya, seperti ponsel, kamera, dan laptop selama di sana. Lancarnya aliran listrik juga membantu akses internet lewat Wi-Fi kampung, yang berasal dari bantuan Kemenkominfo, tetap menyala.
Dari bocoran yang disampaikan Doni Simson, ada rencana untuk mengambil alih kepemilikan instalasi PLTS dari PT Akuo Energy Indonesia ke PT Sinang Puri Energy, unit usaha BUMKam. Sebelum itu terjadi, pihaknya menginginkan perbaikan baterai terlebih dahulu. “Soalnya cuma teknisi dari orang Akuo Energy saja yang bisa memperbaiki. Teknisi listrik biasa enggak bisa, karena beda tekniknya,” jelasnya.
Kelak ketika listrik ramah energi tersebut berfungsi kembali sebagaimana 2018—2022, Merabu diyakini makin melesat lebih jauh. Sampai-sampai masyarakat, bahkan orang luar sekalipun, tidak pernah membayangkan Merabu akan seperti ini sebelumnya karena karena geliat ekowisata. Tidak pernah terpikirkan pula Merbabu dianggap sebagai laboratorium alam dan cagar budaya yang mengundang peneliti-peneliti untuk datang.
Untuk berkembang lebih jauh, kuncinya justru terletak pada sinergi dan kekompakan masyarakatnya. Kehadiran The Nature Conservancy (TNC), YKAN, Indecon, maupun lembaga masyarakat sipil lainnya berfungsi mengakselerasi langkah orang-orang Merabu. Kini, konsistensi Merabu, terutama di sektor ekowisata yang saat ini menjadi unggulan, bergantung sepenuhnya pada komitmen warganya.
Perjalanan Merabu masih sangat panjang dan tidak akan berujung. Aral-aral pasti akan selalu ada dan bisa menghambat pengembangan ekowisata. Akan sayang jika Gua Bloyot, Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, dan potensi sumber daya alam lain yang telah dipoles sedemikian rupa terabaikan karena tidak dijaga dengan maksimal.
Akan tetapi, Asrani tidak ingin putus harapan. Setidaknya untuk saat ini. Jika ditanya, Merabu ingin lebih dikenal sebagai destinasi khusus ekowisata atau budaya, ia menjawab panjang, “Kami ingin Merabu bisa dikenal baik dalam maupun luar negeri. Kami juga punya hutan, kami juga punya budaya,” harapnya.
“Kalau orang datang ke sini itu bukan hanya mengunjungi tempat wisatanya, tapi juga melihat budayanya, melihat alamnya, melihat keramahan masyarakatnya.” (*)
Foto sampul:
Siluet Pak Cay, pemandu lokal saat memasuki pintu utama Gua Bloyot, yang terkenal karena adanya lukisan telapak tangan di dinding gua. Penemuan gua dan jejak prasejarah tersebut menjadi awal mula pengembangan ekowisata di Kampung Merabu/Deta Widyananda
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.