Saya mengira Sabang adalah nama pulau. Ternyata tidak. Weh-lah nama pulaunya. Sebagian yang saya dengar dari cerita kebanyakan kawan pun beranggapan begitu, Sabang itu pulau. Padahal jelas Sabang ialah kawasan kota yang berada di dalam teritorial Pulau Weh, Provinsi Aceh. 

Setidaknya hal tersebut juga menjadi kekeliruan saya lalu diluruskan oleh salah seorang kawan di sana. Kekeliruan itu akan berlarut jika saya diam dan tidak bertanya. Jauh sebelum kaki berpijak di Sabang, bagi saya wilayah tersebut hanyalah sebatas daerah yang kerap disambangi pelancong dan petualang nusantara hingga mancanegara belaka.

Namun makin ke sini saya menjadi mafhum. Perihal titik wilayah pun menjadi penting. Dan tak pelak lantaran nama Sabang lebih fasih dilisankan oleh orang di luar Aceh daripada nama Pulau Weh itu sendiri. Selain itu, dalam penamaan titik batas, Sabang pun acap kali disebut, ditulis—berulang kali bahkan di atlas Indonesia hingga dunia.

Kapal merapat bersiap menurunkan penumpang/Raja Syeh Anugrah

Sabang ialah pusat kota Pulau Weh yang bisa diakses dalam jarak tempuh 15 menit kendaraan roda dua dari Pelabuhan Balohan. Dan sebelum sampai di Balohan, saya mengakses Pulau Weh lewat jalur laut. Tepatnya di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Menaiki kapal feri dengan waktu tempuh 1 jam 30 menit.

Sesampainya di Balohan, pelancong yang tak membawa kendaraan akan disambut aneka ragam tipe kendaraan; travel, rental motor, mobil, becak motor, sampai pick up tumpangan, dan saya kali ini dijemput oleh kenalan jauh. Sepulang kerja, Bang Nanda menjemput saya yang sudah menanti di warung kopi tak jauh dari gapura bertuliskan, “Selamat Datang di Kota Sabang.”

Saya sempat bertanya, “Mengapa Sabang? Dan mengapa orang rela dari berbagai pelosok negeri hanya untuk memijakkan kaki di ujung barat Indonesia ini? Apa yang menarik dari Sabang dan mengapa pula saya ikut tertarik ke dalam arus magnet tersebut?” Yang akhirnya semua pertanyaan terjawab setelah sekian lama menghabiskan waktu di sebagian besar Pulau Weh.

Gapura “Selamat Datang di Kota Sabang”/Raja Syeh Anugrah

Di Balik Titik Nol

Tak ada pilihan bagi backpacker seperti saya selain menaiki kapal feri kelas ekonomi. Di atas kapal bersama penumpang lainnya, saya membaur duduk di geladak. Titik awal kali ini adalah perjalanan laut. 

Usai menempuh perjalanan laut selama 1 jam 30 menit, saya melanjutkan perjalanan darat sekitar 15 menit. Tujuan selanjutnya adalah Kota Sabang. Namun sebelum ke kota, Bang Nanda mengajak saya tunaikan kewajiban terlebih dahulu di dua masjid berbeda. 

Di kota, semalam suntuk saya tidur di ruang sempit sebuah musala. Lagi-lagi tak ada pilihan lain bagi backpacker seperti saya. Keesokan hari, saya mengira akses menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia yang menjadi titik akhir bagi pelancong dan petualang akan lebih dekat. Ternyata masih jauh dari jangkauan setelah melihat di Google Maps.

Kali ini saya beruntung. Pagi itu ketika hendak mencari makan saya mendapat kenalan baru sesama pecinta vespa, dan ia saya temui saat menjaga warung milik kakaknya. Faktor beruntung lainnya, jalan menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia semakin dipermudah ketika ada hembusan kabar satu hingga dua orang akan menjemput saya dan siap mengantar ke Monumen Kilometer Nol Indonesia.

Dari musala titik saya menginap semalam, dua orang kawan bersama tiga orang lainnya bersenang hati mengantar saya. Tak tanggung-tanggung jaraknya yang kami akan tempuh kurang lebih 30 menit.

Melewati jalan berkelok di kelilingi hutan belantara, jurang-jurang yang menganga dan bukit rimbun berisikan beragam satwa. Sekitar 30 menit dalam sepinya jalan akhirnya kami sampai. Dari titik memarkirkan kendaraan, kami perlu berjalan beberapa menit dan barulah terlihat tugu sekaligus simbol nol kilometer Indonesia.

Saya masih berpikir, bahkan setelah jauh kaki melangkah dan sekarang berada di titik barat Indonesia. Ternyata orang-orang baik itu masih ada. Jujur, saya sama sekali tidak mengira merekalah orang-orang yang akan menggenapkan misi ini. Dan saya pun kagum, ternyata sahabat ini masih duduk di bangku SMA. Lebih telisik, mereka berasal dari organisasi Forum Anak Sabang.

Jika dihitung, semisal ditempuh dengan berjalan kaki tentu akan memakan waktu lama atau menunggu mobil angkutan agaknya amatlah jarang. Pilihan praktis wisatawan kebanyakan ialah rental motor atau mobil—untuk rombongan. Ditambah jalan yang tidak mulus dan cenderung menanjak, menurun, berkelok, menambah kompleksitas jalan tempuh menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia.

Tepat di tugu bertuliskan “Kilometer 0 Indonesia,” saya melihat banyak wisatawan keluarga. Asalnya macam-macam, yang pernah bertemu saya di kapal dan bertemu kembali di sini, mereka dari Medan. Tidak hanya wisatawan, banyak pula pedagang yang menjajakan oleh-oleh berupa pernak-pernik dan baju bertuliskan “I Love Sabang.”

Di depan Kilometer Nol Indonesia/Raja Syeh Anugrah

Ujung Barat Sebenarnya

Salah satu kawan itu bernama Rafi. Dialah yang memberitahu saya fakta unik dibalik label  Kilometer Nol Indonesia, yang identik sebagai ujung barat Indonesia. Lagi-lagi saya hampir keliru di sini dan mengira inilah titik ujung sebenarnya; berupa tugu bertuliskan “Kilometer 0 Indonesia.”

Bersama Raffi yang mengantarkan ke Kilometer Nol/Raja Syeh Anugrah

Selama berada di kawasan Monumen Kilometer Nol Indonesia, selain menikmati, merenung, dan mengamati, saya banyak habiskan waktu berswafoto. Untuk mengobati rasa penasaran, mereka mengajak saya menaiki menara tak jauh dari tugu. 

Menara berlantai dua yang saya naiki, menyuguhkan pemandangan Samudera Hindia luas membentang dengan ombak yang ganas. Hembusan semilir angin khas tepian pesisir—yang dengan khidmat saya rasa dan kenangkan. Sesekali mereka melempar ceria dan mengajak saya selfie ala anak muda..

Dari menara kami turun kembali, di sudut yang lain saya kembali berfoto, namun ada kejanggalan. Tembok bercorak batik bertuliskan “Kilometer Nol Indonesia” itu rumpang. Entah apa penyebabnya. 

Bagian rumpang dari tembok Kilometer Nol/Raja Syeh Anugrah

Saya menyapu pandang. Silih berganti orang berlalu-lalang. Ada yang asyik dalam suasana, putar haluan kembali pulang, dan tertawa riang seolah titik Barat adalah penghapus duka lara. Setelah dirasa cukup bagi saya untuk berpijak di sini, kami pun beranjak meninggalkan area Monumen Kilometer Nol Indonesia.

Di atas motor menuju tempat wisata lainnya Raffi menjelaskan kepada saya, “Bang, ayah saya bagian dari tentara. Beliau pernah mengajak saya ke sebuah pulau nun jauh di sana. Untuk menuju sana perlu melewati ganasnya ombak. Dan tak ada kapal-kapal menuju sana selain kapal tentara yang membawa logistik.”

Saya terperanjat, Raffi melanjutkan, “Itulah yang dinamakan Pulau Rondo. Wilayah batas yang sebenar-benarnya ujung Indonesia. Bukan Kilometer 0 Indonesia yang kita sambangi tadi. Itu hanyalah simbol belaka.”

Dengan penasaran yang tak tertahankan, saya lekas mencari kata kunci Pulau Rondo di mesin pencarian Google. Betul adanya, di Pulau Rondo pun ada tulisan Kilometer 0 Indonesia. Di sana hanya tentara yang tinggal untuk menjaga batas negeri dari caplokan negara asing seberang lautan. Dan petani-petani yang didatangkan untuk bercocok tanam membuat lumbung ketahanan pangan.Di atas jalan beraspal Sabang saya berkata, “Bisakah saya yang backpacker ini ke sana, Raffi?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

1 komentar

Cillia 3 Juni 2023 - 09:28

Hi Raja,
Tulisan yang menarik, keinginan saya untuk ke Pulau Weh jadi semakin besar. Saya jadi punya tambahan 1 wish list, Pulau Rondo. Btw, apakah pertanyaan terakhir km dijawab oleh Raffi?

Reply

Tinggalkan Komentar