Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang belum pernah saya kunjungi.
Ada potongan sejarah yang mendasari sampai istilah tersebut tumbuh di antara masyarakat Luwu. Padahal secara geografis, Luwu berupa daratan seluas 3.000 km2 dan berada sangat jauh dari Selayar. Sekitar 333 km jika ditarik garis lurus. Namun, perjalanan yang menghubungkan keduanya bisa ditempuh sekitar 18–19 jam dengan bergonta-ganti moda transportasi: bus, mobil, motor, hingga kapal feri.
Setelah lebaran Idulfitri (11/4/2024), saya mencoba perjalanan panjang perdana ke Selayar. Saya cukup beruntung ditemani beberapa teman mengajar di pelosok Maros saat masih kuliah dulu. Ada Kak Bagus, Kak Wiwi, Kak Yasmin, Kak Jannah, Kak Nono, Kak Fajar, Kak Mifta, seorang teman asli selayar bernama Kak Yudi, dan seorang teman yang kebetulan sedang berada di Selayar saat kami ke sana.
Perjalanan Darat Palopo–Makassar–Bulukumba
Di titik jemput bus di jalan poros lintas provinsi daerah Binturu, Kak Bagus telah menunggu di sana bersama satu tas besar dan sebuah daypack. Barang bawaannya banyak, karena dia akan langsung kembali ke tempat kerjanya di daerah Papua setelah dari Selayar. Setengah jam menunggu, bus kami akhirnya tiba dan berangkat sekitar pukul 20.30 WITA.
Palopo–Makassar menjadi perjalanan darat terpanjang dengan waktu tempuh 9 jam penuh. Kami tiba di Makassar keesokan harinya pada pukul 06.00 WITA. Setelah menaruh seluruh oleh-oleh dari kampung, saya langsung berangkat ke titik kumpul, yaitu rumah seorang teman di Jalan Paropo. Di sini, kami menunggu minibus yang disewa untuk mengantarkan kami ke Bulukumba sejauh 160-an kilometer atau lebih dari empat jam perjalanan.
Ada enam orang yang berangkat dari Makassar. Satu orang lainnya berangkat dengan motor dari Bone, satu orang berangkat dari Bantaeng, dan satu orang sudah menunggu di rumahnya di Bulukumba. Adapun seorang lagi sudah berada di Selayar selama seminggu. Ia menghabiskan libur panjang lebaran bersama keluarga.
Sopir rental kami sudah datang, yang ternyata dia adalah teman sekelas Kak Wiwi di Bulukumba. Kami banyak berbincang dan menertawakan hal-hal acak selama perjalanan. Setibanya di rumah Kak Wiwi di kawasan Desa Alla, kami hanya beristirahat kurang dari 15 menit lalu melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Bira dengan diantar adik Kak Wiwi.
Nyaris Tertinggal Kapal
Pelabuhan Bira berjarak 30–40 menit dari Desa Alla. Kami berjalan dengan perasaan waswas takut tertinggal kapal terakhir ke Selayar yang berangkat pukul 14.00 tepat. Sementara kami sudah cukup dekat dengan pelabuhan, tetapi belum sampai juga. Beberapa teman terus menelepon, menanyakan plat nomor dan meminta kami untuk melaju lebih cepat.
Kami memasuki gerbang pelabuhan pukul 14.10. Terlihat di kejauhan kapal seperti siap lepas landas, tetapi belum. Ini membuat semua yang berada di mobil merasa lega.
“Mobil antar penumpang, Pak!” seru kami begitu dicegat oleh salah seorang petugas di pos jaga.
“Oh, iya. Cepat mi dek! Aduh!” Timpalnya dengan sedikit mengeluh atas keterlambatan kami.
Mobil mengantar kami tepat di depan pintu rampa yang akan segera tertutup. Begitu turun dari mobil dan pamit sepenuh hati pada adik Kak Wiwi, kami langsung berlari menuju pintu. Di sana seorang teman yang sedari tadi kukuh menahan agar kapal bisa menunggu lima temannya, kini bisa bernapas lega. Beberapa orang menyoraki kami.
Setelah memastikan semuanya aman, kami masuk ke bagian atas kapal karena semua dek penumpang sudah penuh. Baru saja menaruh tas dan duduk sebentar, kapal langsung melaju. Menandakan kami orang terakhir yang ditunggu. Bukan sebuah kebanggaan, tetapi pengalaman mengejar kapal pertama saya ini cukup seru juga.
Cerita di Atas Kapal
Kru kapal memberi kami satu set makanan berat, terdiri dari nasi, potongan kecil ayam, dan sedikit sayur. Meskipun porsinya cukup sedikit, tapi Kak Jannah, teman kami dengan cekatan membawa bekal lauk-pauk melimpah yang tersisa dari momen lebaran keluarganya. Ia langsung mengubah nasi kotak biasa kami menjadi makanan mewah yang kaya protein dan lemak.
Sambil makan, saya berusaha membuka percakapan dengan Kak Yudi. Dulu kami hanya bertemu sekali di Pulau Lanjukang saat melakukan salah satu kegiatan relawan hasil kolaborasi antarkomunitas. Berawal dari banyak percakapan liar, lalu berakhir dengan satu ajakan, “Nanti kalau ke Selayar kabari saja, nah!”
Akhirnya hari saya berkunjung ke Selayar tiba. Cukup beruntung Kak Yudi, orang asli Selayar dan pemandu wisata, bisa menemani kami dalam perjalanan ini selama beberapa hari ke depan. Jadwal yang begitu mepet membuat saya tidak sempat berbincang banyak dengan Kak Yudi.
Kapal sudah berlayar setengah jalan. Usai memakan jatah nasi dan lauk yang dibawa Kak Jannah dari rumah, saya lalu mengambil tempat di samping Kak Yudi yang saat itu tengah tenggelam dalam isapan rokoknya.
“Maaf, ya, Kak. Tadi Kak Yudi lama menunggu di daerah Bantaeng,” terang saya memulai percakapan.
“Oh, tidak apa-apa, kok, Kak,” balasnya.
Selama mengarungi Laut Flores, kami bercerita banyak tentang Selayar dan perjalanan pertamaku ke kepulauan tersebut. Tentu, perihal mitos orang Luwu tidak boleh ke Selayar menjadi topik pertama yang kulontarkan kala itu.
”Kak Yudi, aku kan orang Luwu nih, Kak. Kakak pernah dengar tidak tentang mitos kalau orang Luwu enggak boleh ke Selayar?”
Kak Yudi terlihat sedikit terkejut. Alisnya sedikit naik mengetahui aku dari tanah Luwu. “Oh, ya? Kamu orang Luwu, toh?”
Dari perspektif orang Selayar, Luwu merupakan satu daerah yang berkaitan erat dengan Selayar. Ada banyak sejarah yang melatarbelakangi lahirnya mitos tersebut. Namun, sebagai orang asli Selayar, Kak Yudi pun tidak mengetahui perihal larangan itu.
“Kalau yang kutahu, sih, orang Selayar tidak pernah berjodoh (dalam hal ini menikah) dengan orang Luwu, tetapi mitos yang kamu bilang tadi saya kurang tahu.”
Ia lalu melanjutkan, “Tapi memang Pulau Selayar ini punya sejarah yang kental dengan kepercayaan orang Luwu, juga kisah dalam Kitab La Galigo.”
Hikayat We Tenri Dio
Ada banyak sumber dan versi tentang Pulau Selayar, serta kedekatannya dengan Sawerigading. Pelayaran menjadi kata kunci atau benang merahnya. I Malaniki, raja pertama Selayar, dalam beberapa versi disebut We Tenri Dio, anak dari Sawerigading. Dikisahkan Sawerigading dan sang istri, We Cuddai beserta ketiga anaknya, La Galigo, We Tenri Dio, dan We Tenri Balobo melakukan perjalanan bersama dari Cina ke Luwu lalu singgah di Selayar.
Terdapat perbedaan pendapat dari sebab persinggahan mereka. Ada sumber yang mengatakan perahu mereka mengalami kecelakaan di laut hingga terdampar di Selayar. Versi lain menyebut perahu Sawerigading hendak mengganti layar di pulau ini. Ada pula yang bilang perahu tersebut memang dijadwalkan untuk berlabuh sementara di Selayar.
Singkat cerita, atas restu dari kedua orang tuanya, We Tenri Dio memutuskan menetap di Kepulauan Selayar. Di Selayar, We Tenri Dio yang orang Luwu kemudian dikenal sebagai I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio menjadi raja pertama di Putabangun, kerajaan tertua di Pulau Selayar. Ia menikah dan menetap hingga akhir hayatnya di Selayar. Makamnya berada di sebuah kuburan tua dengan nisan di utara, menandakan kuburan ini telah ada sebelum ajaran Islam masuk ke Selayar. Ia dimakamkan bersama tiga kuburan lainnya, salah satunya Lalaki Sigayya, sang suami.
Di pulau ini juga ditemui salah satu jejak kapal Sawerigading, Gong Nekara. Konon, gong ini merupakan salah satu bagian dari kapal Sawerigading yang berfungsi sebagai pertanda saat kapal hendak singgah di pelabuhan-pelabuhan. Gong ini dipercaya hanya ada sepasang di seluruh dunia, yaitu di Vietnam dan Pulau Selayar serta merupakan sepasang “suami-istri”.
Setelah menyelidiki sejarah Selayar dan Luwu, saya sampai pada satu kesimpulan. Tidak pernah ada larangan yang membatasi kedua masyarakat dari tanah berbeda itu saling mengunjungi satu sama lain.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.