Dari Jakarta ke Aceh naik pesawat barangkali hanya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam. Tinggal ke Soekarno-Hatta, menunggu boarding, lalu terbang. Lain cerita kalau anda ke Aceh lewat jalur darat. Dari Padang saja untuk ke Banda Aceh perlu waktu sekitar 34 jam dengan menumpang bis. Etape pertama, Padang – Medan, berlangsung selama sekitar 24 jam. Lama memang. Namun anda akan melewati tempat-tempat indah seperti Tarutung yang penuh pohon cemara dan akan disaput kabut di pagi hari dan Danau Toba yang luasnya tak terkira. Belum lagi perkebunan sawit dan karet yang membentang di kanan-kiri. Tapi jangan lupa siapkan obat anti-mabuk jika perut anda tidak kuat dibawa melewati jalan-jalan kecil yang berliku.
Menjelang sore ketika saya tiba di Medan. Dari Ibu Kota Sumatera Utara itu saya melanjutkan perjalanan menumpang bis yang keadaannya jauh lebih baik dibanding armada Padang – Medan. Bis Medan – Banda Aceh memang terkenal kinclong. Bis kinclong ditambah jalan yang mulus membuat perjalanan 10 jam menjadi tak terasa. Dibalut selimut—dan dengan kaki ditopang penyangga—saya tertidur pulas. Ketika bangun, saya disapa Gunung Seulawah—pertanda Banda Aceh sudah dekat.
Tanpa helm, saya merasa seperti menjadi salah seorang prajurit dalam film Band of Brothers sebab becak motor itu seperti motor bergerobak dalam film-film perang. Bedanya, sepeda motor yang digunakan adalah buatan Jepang, bukannya bikinan Eropa atau Amerika. Dalam sepuluh sampai lima belas menit saya tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, yang dari sana saya akan melanjutkan petualangan menuju Sabang di Pulau Weh. Jarak antara terminal dan pelabuhan lumayan jauh memang, sebab ketika iseng mencoba jalan kaki dari pelabuhan ke terminal saat perjalanan pulang, ternyata perlu waktu sekitar dua sampai tiga jam.
Pulau Weh yang berbukit-bukit
Semula niat saya adalah berjalan kaki dari Pelabuhan Balohan ke Iboih, tempat saya akan menginap. Niat untuk jalan kaki itu muncul ketika saya menghitung jarak Pelabuhan Balohan – Iboih menggunakan aplikasi peta di android. Cuma 28 kilometer. Saya pernah jalan dari Terminal Bungurasih di Surabaya ke Stasiun Gubeng sejauh 19 kilometer menyusuri rel kereta api. Rasa-rasanya tambahan 9 kilometer tak akan membuat kaki saya gempor. Karena di Pelabuhan Balohan banyak sekali orang yang menawarkan jasa ojek dengan tarif masuk akal, saya jadi berpikir ulang untuk jalan kaki.
Di atas ojek saya mensyukuri keputusan itu sebab ternyata Pulau Weh tidak selandai Kota Surabaya, melainkan berbukit-bukit. Hutannya juga masih lebat sehingga sulur-sulur menggantung di beberapa ruas—juga masih ada kera. Bahkan, meskipun mulus, di beberapa tempat masih saya temukan jalanan yang licin berlumut.
Sekilas perbukitan Pulau Weh mengingatkan saya pada jalanan Sitinjau Lauik di Sumatera Barat. Hanya skalanya saja yang lebih kecil. Jika benar-benar jalan kaki barangkali saya mesti membuat bivak di pinggir jalan untuk bermalam. Saking luar biasanya jalanan di Pulau Weh, ojek yang saya tumpangi sampai kewalahan membawa saya dan ransel 60 liter yang saya panggul. Di tengah jalan motor itu tiba-tiba berhenti, dan saya dioper oleh pengendara ojek itu ke motor lain.
Jika dihitung-hitung barangkali perjalanan dari pelabuhan ke Iboih itu berlangsung sekitar setengah jam. Memasuki pesisir Iboih, jalan berubah menjadi makadam dan berpasir. Di sebelah kanan adalah perairan tenang dengan air berwarna toska yang berujung di Pulau Rubiah. Kapal-kapal berjejeran dan terumbu karang di bawah air tampak samar-samar. Di sebelah kiri kafe-kafe dan kantor-kantor operator selam berjejeran. Karena masih pagi, jalan kecil itu sepi.
Bertemu Ikan Hiu
Asal mau berjalan kaki mencari, banyak penginapan di Iboih, yang meskipun murah namun menawarkan pemandangan yang bisa diadu dengan resor-resor yang lebih mahal. Kamar saya yang seharga sekitar 55 ribu semalam itu cukup besar, dengan fasilitas kasur king-size, kelambu, dan kipas angin. Saya menginap di salah satu bungalow yang langsung menghadap ke laut. Di beranda, pengelolanya memasang sebuah ayunan kain (hammock) yang di sana saya bisa berbaring sambil menikmati gradasi indah warna air laut dan Pulau Rubiah.
Tinggal turun tangga, saya bisa langsung menceburkan diri ke laut. Siang itu, setelah beberapa saat snorkeling di perairan depan bungalow dan melihat beberapa ekor gurita yang menyaru batu karang (saking banyaknya gurita di perairan ini, salah satu makanan khas yang dijajakan di Sabang adalah sate gurita), saya berenang ke Pulau Rubiah. Semakin ke tengah, warna air yang saya lihat melalui masker semakin pekat. Ikan-ikan karang yang tadinya banyak menjadi jarang. Namun beberapa kali saya melihat kawanan ikan (schooling fish), yang ramai dan berputar-putar. Mendekati Pulau Rubiah, bawah laut kembali sama dengan yang saya lihat di depan bungalow.
Di pulau yang memanjang itu saya duduk-duduk sambil melihat sekitar. Kali ini—sebaliknya—di depan saya adalah Pulau Weh dan di belakang saya adalah hutan Pulau Rubiah. Di antara pepohonan yang hijau itu ada sebuah celah—barangkali jalur trekking. Saya penasaran menyusurinya. Namun berhubung sudah sore, niat itu saya urungkan. Kalau laut keburu pasang, bisa-bisa saya tertahan di Pulau ini. Sementara saya tak ada minat untuk jadi penerus Robinson Crusoe.
Ingin menjajal dunia bawah laut Sabang yang konon disebut-sebut masih ‘asri,’ keesokan harinya saya bertandang ke sebuah operator selam. Menurut desas-desus yang saya dengar selama ini, biaya menyelam di Sabang lebih miring dibanding biaya di tempat-tempat lain seperti Amed dan Tulamben di Bali. Benar ternyata. Untuk dua kali penyelaman, saya hanya perlu membayar 600 ribu, sudah termasuk bea sewa perlengkapan dasar (termasuk wetsuit), sewa boat, dan jasa dive-master. Namun itu adalah tarif bagi yang sudah punya sertifikat selam. Jika belum bersertifikat, sebelum turun anda akan diberi pelatihan dulu—tentu saja dengan mengeluarkan biaya tambahan.
Hari itu saya turun dua kali, yaitu menjelang siang dan sore hari. Ekosistem laut perairan Rubiah ternyata memang masih asri, sebab di dua titik penyelaman itu, Batee Tokong dan East Seulako, saya berjumpa dengan hewan yang berada pada puncak rantai makanan di laut—hiu. Di Batee Tokong saya bertemu blacktip shark yang melintas kencang sekitar 10-15 meter di depan, sementara di East Seulako saya melihat silvertip shark. Saya bergidik ketika sadar bahwa dua titik penyelaman ini tidak seberapa jauh dari rute yang saya ambil ketika berenang dari penginapan ke Rubiah kemarin. Selain hiu, hari itu saya juga melihat—tentu saja—gurita, lionfish, penyu, morray raksasa, dan kawanan barakuda kecil.
Letih tapi bahagia, sore itu sambil menanti matahari terbenam saya berayun-ayun di atas hammocksambil memainkan ukulele. Ketika malam tiba, riuh kehidupan di Pulau Weh berpindah ke kafe-kafe yang berjejeran, yang di luar dugaan saya ternyata juga menjajakan kopi kemasan.
Sebelumnya dimuat di blog Kompasiana Fuji Adriza
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
Saya menikmati sekali tulisan petualangan ini. Terimakasih dan tetap semangat berkarya.