Terdapat sebuah cerita menarik yang datang dari salah satu perkampungan di Kota Malang, yakni Kampung Topeng Desaku Menanti. Perkampungan yang baru berdiri pada tahun 2016 silam ini dihuni oleh mantan gelandangan, pengemis, hingga pemulung yang disaring oleh pemerintah. Sematan kata “Desaku Menanti” memang tampak asing untuk nama sebuah kampung, namun unik. Ternyata, Desaku Menanti merupakan sebuah program rehabilitasi dan pembinaan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia kepada eks gelandangan dan pengemis (gepeng) dengan mendirikan perkampungan baru.
Rupanya tidak semua eks gepeng dapat menempati rumah yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah tersebut. Dinas Sosial bersama dengan Pemerintah Provinsi dan Kemensos harus menjaring sekitar 80 gepeng untuk dilakukan proses seleksi hingga akhirnya tersaringlah sebanyak 40 KK. Para warga binaan yang telah tersaring pun harus berjanji untuk tidak kembali ke jalanan, melakukan pekerjaan seperti sedia kala ketika mereka belum tinggal di rumah yang saat ini mereka huni.
Perjalanan yang harus saya tempuh untuk dapat menyambangi Kampung Topeng Desaku Menanti sendiri memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat Kota Malang. Di perjalanan ketika mendekati titik lokasi, saya dibuat heran dan bingung sebab penunjuk jalan yang terpasang sudah lapuk dan tidak memadai.
Akhirnya, saya berhasil menjumpai gapura masuk yang bertuliskan “Selamat Datang di Desaku Menanti Kota Malang”. Dari jauh, dua patung topeng raksasa besar sudah menyambut kedatangan saya ke kampung yang kondisinya cukup sepi kala itu. Ternyata, kedua patung topeng raksasa tersebut tak lain merupakan perwujudan dari karakter Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji. Meskipun sepi, kondisi sekitar terbilang bersih juga tampak apik dengan beragam ornamen, patung topeng raksasa, hingga topeng-topeng yang menghiasi kawasan yang terawat.
Di sana terdapat sebuah bangunan dengan plang nama Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Insan Sejahtera yang sering melakukan pembinaan kepada masyarakat di kampung tersebut. Sesuai dengan program yang dicanangkan, warga binaan mendapatkan berbagai pelatihan, pembinaan, dan pembekalan keterampilan yang tak henti-hentinya digalakkan oleh pemerintah saat itu. Hingga akhirnya, Kampung Topeng pun disulap menjadi sebuah kampung wisata yang bertujuan untuk mengubah mindset warga binaan sekaligus menunjang perekonomian mereka.
Dengan dijadikan sebagai desa wisata dan banyak masyarakat yang mengunjungi kampung tersebut, pendapatan warga setempat dapat terbantu melalui penjualan tiket, souvenir, maupun parkir. Tak hanya itu, sejak warga binaan mulai memproduksi keripik dan dibantu oleh Dinas Sosial untuk pemasarannya, mereka pun perlahan dapat menabung meskipun hanya Rp1.000 sampai Rp2.000 setiap harinya.
Beberapa warga juga diberikan pelatihan untuk membuat kerajinan Topeng Malangan sesuai dengan identitas yang disematkan pada Kampung Topeng Desaku Menanti. Dahulu terdapat 10 orang yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (Kube) Topeng Malangan, dan hampir semua warga di sana memahami cara pembuatan topeng. Berkat binaan dari pemerintah pada saat itu yang membantu pemasaran produk warga setempat, pesanan Topeng Malangan pun selalu ramai untuk dikirim ke berbagai tempat.
Hingga akhirnya ketika terjadi pergantian jabatan dari dinas terkait, eksistensi Kampung Topeng Desaku Menanti pun perlahan memudar. Hal tersebut diiringi oleh kegiatan produksi keripik maupun Topeng Malangan yang mulai ditinggalkan warganya.
Saya sempat menemui salah satu warga binaan yang pernah tergabung dalam Kube Topeng Malangan, namanya Pak Andik. Ia menceritakan bahwa menjelang pergantian jabatan, mereka sempat mendapatkan pesanan Topeng Malangan namun pembina justru memesankannya dari pengrajin lain untuk dijual kembali. Pak Andik tak menahu terkait alasan di baliknya.
Sepinya kondisi perkampungan saat saya datang berkunjung rupanya disebabkan oleh para warga binaan yang kini telah berhasil mendapatkan pekerjaan baru. Pak Andik mengungkapkan bahwa beberapa warga kini banyak yang telah bekerja di pabrik, berjualan, maupun kembali ke jalan sebagai pemulung, sama seperti yang saat ini ia lakukan.
Pak Andik sendiri tak menginginkan untuk kembali memulung, namun ia tak dapat berbuat banyak mengingat sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak sementara kebutuhan ekonomi yang semakin kencang mengejarnya. Tak jarang Pak Andik pun menerima tawaran dari temannya ketika dibutuhkan untuk menjadi kuli bangunan.
Dengan mengingat masa lalu, besar harapan Pak Andik untuk dapat kembali memproduksi Topeng Malangan seperti sebelumnya. Namun hambatan yang ia dan warga lainnya temukan ialah ketidakpastian pasar.
Bahkan, bengkel kerja yang dulunya dijadikan sebagai pusat produksi keripik pun kini terbengkalai. Bengkel kerja yang mulai usang dan dipenuhi rumput liar tersebut menjadi bukti sejarah perjuangan warga binaan untuk dapat bertahan dalam ketidakpastian hidup yang harus mereka jalani.
Mereka, para warga Kampung Topeng Desaku Menanti hingga saat ini masih menantikan adanya seorang penggerak. Mereka masih setia menantikan bantuan untuk dapat kembali hidup menjadi tempat pariwisata yang sama diperhitungkannya seperti kampung-kampung tematik lainnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.