Perlu diketahui bahwa pariwisata tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kepuasan wisatawan, tapi juga kepuasan komunitas dan lingkungan alam. Hermantoro (2017) menyebutkan bahwa pariwisata adalah sebuah domain pembangunan dan bukan sektor pembangunan. Apa bedanya? Sebuah domain adalah ruang yang berisikan berbagai dukungan kegiatan sektor. Ia terbangun atas sinergi antarsektor dan output. Outputnya adalah output kolektif dan bukan output individual.

Pengembangan dan pembangunan sarana prasarana di suatu kawasan ekowisata menjadi mutlak dilakukan. Namun, sebelum pelaksanaannya, harus dilakukan pengkajian dan penilaian aspek penting prinsip ekowisata. Pemanfaatan alam, jika dilaksanakan secara benar, akan berdampak positif bagi seluruh kalangan yang terkait. Namun, jika tidak dilakukan—pengembangan dan pembangunan—secara benar dan bijak, efek domino bernilai negatif akan muncul.

Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani yang tidak relevan dengan prinsip pengembangan wisata di kawasan konservasi taman nasional. (Tujuan utama kegiatan wisata di taman nasional adalah memberikan edukasi kepada siapa saja yang datang ke kawasan tersebut.)

Mengingat bahwa Rinjani sudah menjadi ikon keindahan alam yang agung di Pulau Lombok, dengan suguhan Danau Segara Anak, kiranya akan lebih baik jika konsep kereta gantung dan wisata helikopter (heli tourism) tersebut tidak dilanjutkan. Cukup anggap itu mimpi buruk. Saatnya pemerintah dan stakeholder bangun dan buka mata; tanpa kereta gantung dan wisata helikopter pun wisatawan mancanegara dan domestik sudah tertarik untuk mengunjungi Gunung Rinjani. Barangkali ini juga saat yang tepat bagi kita semua untuk menghirup napas dalam-dalam lalu merenungkan dan menghayati kekayaan sumber daya alam yang kita miliki.

Setiap jengkal tanah kita diisi oleh kekayaan alam dan budaya yang luar biasa dan berbeda-beda. Jadikan perbedaan itu sebuah kekuatan—dan jangan hanya sekadar meniru orang luar. Lagipula, dalam teori mana pun, wisatawan akan melihat perbedaan antardaerah (destinasi), bukan persamaannya. Itulah sebabnya mereka berwisata. Ketika semula orang bangga tidur di hotel berbintang, saat ini banyak yang memilih tinggal di homestay karena akan mendapatkan pengalaman yang lebih bernilai dalam hidupnya. Mereka mendapatkan nuansa lokal, memahami kearifan lokal, dan nilai-nilai kelokalan lainnya. Mereka dibekali dengan keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge) sebelum melakukan pilihan perjalanannya dan ini menghasilkan bentuk wisata yang disebut sebagai wisata minat khusus.

Harapan perubahan

Para investor tampaknya bersemangat luar biasa untuk mencoba peruntungan di dunia bisnis wisata minat khusus seperti pendakian. Sayangnya, keinginan itu tidak dibarengi dengan pengetahuan, hanya mengedapankan keuntungan. Rinjani hanya dilihat sebagai sebuah objek yang dapat dijadikan barang dengan segmen pasar yang luas. Ia tak dilihat sebagai sesuatu yang menghidupi seluruh wilayah Pulau Lombok, bahkan, dalam skala lebih luas, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Barangkali kita juga perlu bertanya: Apakah produk wisata yang digadang-gadangkan itu telah melalui proses kajian mendalam? Orientasi pembangunan tampaknya hanya mengejar angka, sehingga kepuasan turis (tourist satisfaction) jauh lebih diutamakan daripada kepuasan komunitas (community satisfaction) apalagi kepuasan lingkungan (environment satisfaction). Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan sering dilupakan dan tidak masuk dalam pertimbangan pengambilan keputusan.

Maka, kembali lagi: etika mana yang dianut dan standar moral mana yang digunakan? Jelas antroposentris. Seluruh pertimbangan bertumpu pada apa yang bisa didapatkan sebesar-besarnya oleh manusia untuk memenuhi segala kebutuhan, hasrat, dan nafsunya.

gunung rinjani
Dari bibir kawah Gunung Rinjani via instagram.com/failureproject

Saat ini target pariwisata adalah menarik pengunjung sebanyak-banyaknya dan menghasilkan uang yang melimpah bagi “kelompok” pemegang kepentingan. Sebenarnya, tidak ada masalah dalam hal menghadirkan suatu teknologi baru guna menambah atraksi, namun akan berakhir bencana jika pertimbangannya hanya berdasar pada pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta sehingga berhak menentukan segala, dan bahwa hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Padahal, telah diketahui bahwa kerusakan yang ada di bumi, baik di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan lainnya, bersumber dari perilaku dan regulasi buatan akal kapitalis manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli, dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia yang diyakini lebih berakal dibanding makhluk hidup lainnya di muka bumi ternyata telah keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.

Cara berpikir seperti ini akan menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat lokal yang telah dibangun berabad-abad lamanya, dari sisi alam, ekonomi, dan sosial budaya.

Tapi era euforia pariwisata telanjur dimulai. Kini, gaung promosi pariwisata tidak hanya lagi ditangkap oleh para pelaku di tingkat nasional namun sampai juga ke desa. Siapa, sih, saat ini yang belum kenal branding pariwisata “Wonderful Indonesia” dan “Pesona Indonesia”? Ini sebuah ceritera sukses besar public-awareness campaign nasional—hampir menyamai sukses program Keluarga Berencana (KB) “Dua Anak Cukup”di era 90-an. Pariwisata kemudian diyakini sebagai cara mudah untuk cepat kaya. Ceritera sukses didengungkan untuk memotivasi daerah dan masyarakat. Ceritera dibangun dengan tema utama bagaimana kunjungan wisatawan dapat memberikan manfaat ekonomi langsung pada masyarakat setempat.

Abrakadabra!

Dampaknya nyata. Pariwisata kemudian menjadi trending topic di hampir setiap media cetak dan elektronik, bahkan dalam perbincangan (antar)komunitas. Berwisata juga telah menjadi sebuah lifestyle. Rasanya belum keren bila belum pernah berwisata ke mana-mana dan belum meng-upload foto-fotonya ke Instagram.

Permintaan (demand) pun menjadi sangat besar karena minat orang berwisata semakin besar, apa pun alasannya, entah mencari pengalaman (experience) maupun untuk eksis. Banyak yang bepergian ke tempat-tempat yang memerlukan persyaratan khusus, namun, jangankan empati, pengetahuan dasar soal sumber daya yang dikonsumsi pun mereka tidak paham. Kelompok ini hanya bertujuan untuk diakui sebagai kelompok wisatawan yang lebih “berkelas.”

Jika dihubungkan dengan “angin perubahan” Rinjani, wisatawan yang berkunjung ke Rinjani menggunakan kereta gantung atau helikopter bukan lagi terpancing datang karena memiliki minat khusus untuk memahami kekayaan alam, namun hanya untuk mengunggah foto-fotonya. Teknologi memang membuka ruang sangat besar bagi tujuan narsis. Respon langsung diberikan oleh tuan rumah—promosi, pembangunan besar-besaran, harga paket murah, termasuk memberikan “karpet merah” yang sangat luas pada investor tanpa memedulikan lagi daya dukung lingkungan. Di sinilah mewujud wisata massal yang berpotensi merusak masa depan destinasi pariwisata, wisata tanpa kemampuan manajerial yang baik. Saat ini hampir semua orang merasa sangat paham tentang pariwisata. Mereka merasa telah menjadi ahli pariwisata ketika berhasil mendatangkan wisatawan, terlebih dalam jumlah besar. Dari satu sudut pandang, tidak salah juga; kampanye besar-besaran memang lebih diarahkan untuk mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya.

Namun, masa euforia ini harus segera “dibendung” dengan kampanye pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pariwisata dibangun untuk kemakmuran daerah, bukan sebaliknya (daerah dibangun untuk pariwisata). Butler (1980) menyampaikan model bagaimana sebuah destinasi pariwisata bisa runtuh ketika tidak dikelola dengan baik, sementara Doxey (1975) sudah mengingatkan kemungkinan terjadinya iritasi sosial. Peringatan-peringatan mereka benar adanya. Barcelona dan Venezia dapat dijadikan contoh. Saat ini warga kedua kota tersebut sudah sedemikian bencinya pada wisatawan karena jumlah kunjungan yang terlalu tinggi dan dampaknya yang tidak terkendali. “Tourist: your luxury trip my daily misery” atau “Tourist go home” adalah contoh nyata ujaran kebencian warga Barcelona terhadap wisatawan.

Jadi, untuk mengubah, apakah kita harus menunggu sampai pariwisata tidak lagi dianggap sebagai berkah namun musibah? Sebetulnya, prinsip pembangunan pariwisata adalah menjadikan sebuah destinasi pariwisata menjadi tempat hidup yang baik bagi warganya, bukan kesengsaraan. Dan ketika itu terwujud, destinasi pariwisata tersebut akan otomatis menarik untuk dikunjungi. Ini yang mendasari konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism development).

Ketika tamu adalah raja, tuan rumah jadi hamba

Ketika tamu selalu dianggap menjadi raja dan tuan rumah adalah hamba, kebahagiaan warga selalu dikalahkan. Kita lupa bahwa tujuan akhir pembangunan pariwisata adalah kebahagiaan masyarakat lokal. Bila ini dilupakan, ukuran keberhasilan pariwisata akan menjadi sangat bias. Pembangunan pariwisata dianggap sukses ketika wisatawan puas. Lihat bagaimana para pakar lebih sibuk mengukur kepuasan konsumen daripada kepuasan tuan rumah. Demikian pula ukuran keberhasilan yang dilihat dari besarnya aliran dana investasi yang masuk, tidak peduli siapa investornya. “Karpet merah” digelar, bukan untuk warga lokal tapi justru investor luar. Semuanya ini baik pada tahap tertentu, namun sangat berbahaya kalau sudah melewati batas ambang toleransi (social threshold) yang dapat diterima lingkungan.

Sebetulnya, tujuan pembangunan pariwisata, sekali lagi, adalah untuk membahagiakan masyarakat lokal secara berkelanjutan sebagaimana disebutkan oleh Hermantoro (2018). Jadi, apa yang dikerjakan oleh Tri Rismaharini di Surabaya, yakni membangun taman-taman kota untuk membahagiakan warganya, adalah tepat. Dan ketika warga setempat bahagia, bonusnya adalah wisatawan akan datang, dan ini sudah terbukti. Jangan sampai pembangunan pariwisata justru menimbulkan masalah bagi warga lokal. Dalam setiap pembangunan pariwisata, kata kunci kebahagiaan komunitas (community happiness), dan keberlanjutan (sustainability) menjadi penting.

Sebetulnya, kita telah memiliki banyak pedoman dalam pembangunan pariwisata. Namun kita bahkan hampir tidak pernah menyentuhnya. Coba Pak Gubernur dan tuan-tuan pemegang otoritas silaq pelungguh pade simak inti Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009, juga kode etik UNWTO (1999), dan Pedoman Sapta Pesona yang intinya menjaga keselarasan hubungan antara wisatawan dengan tuan rumah. Lebih luas lagi, menjaga keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antarmanusia, dan antara manusia dengan alam mengacu pada konsep kehidupan masyarakat Bali (Tri Hita Karana).

Intinya, tujuan pembangunan pariwisata bukan hanya untuk menyenangkan tamu. Terlebih penting adalah untuk kebahagiaan tuan rumah. Ketika warga bahagia, wisatawan akan datang, dan bukan sebaliknya. Ini menegaskan bahwa kepala daerah harus lebih mementingkan kebahagiaan warganya dan bukan sebaliknya. Ini baru tepat, karena pemerintah seharusnya dapat menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat pemilihnya untuk kesejahteraan mereka, karena warga lokal/rakyat adalah konsumen anda yang sebenar-benarnya.


Referensi

Butler, R.W. (1980). The concept of a tourist area cycle of evolution; implications for management of resources. Canadian Geographer, 24 (1), 5-12.

Doxey, G. (1975). A causation theory of visitor-resident irritants: Methodology and research inferences. Proceedings of the 6th Annual Conference of the Travel and Tourism Research Association.

Hermantoro, H. (2017). Memahami Konsep Dasar Pariwisata. Aditri: Depok.

Hermantoro, H. (2018). Think: Tourism Without the Box. Aditri: Depok.

Tinggalkan Komentar