Komunikasi terakhir saya dengan Abdul Kadir Usman terjadi 18 Agustus 2025. Waktu itu saya kirim tautan tulisan 75 Tahun Kang Yayat, Pendiri Wanadri yang tinggal di “Bromo”. Beliau merespons antusias.
Ami Kadir senang mendapat info terkini soal Kang Yayat, karena relasi Unit Pandu Lingkungan (UPL) Mapala Unsoed dan Wanadri erat. “Kami mengadopsi pola pendidikan dasar Wanadri,” katanya di kompleks Sekar Kemuning, Kota Cirebon, 2023.
Secangkir kopi arabika Gayo plus risoles terhidang di meja dekat kolam ikan koi. Ami Kadir menyalakan rokok. Saya lantas mengorek detail kronologi petaka menimpa anggota muda UPL Unsoed di medan berpasir jalur Permadi Gunung Slamet, 25 Februari 2023. Kejadian tersebut menewaskan seorang pendaki: Sadewa Natha Radya (19).
Dua pekan sebelumnya, saya dan tiga anak lanang menjajal rute yang sama menggapai atap Jawa Tengah. “Cuaca buruk, kondisi personel drop. Tidak tertolong,” ujar Ami Kadir mengulas penyebab juniornya pergi dalam dekapan kabut. “Terkejut dan sedih,” imbuhnya.
Padahal, Gunung Slamet ibarat rumah bagi anggota UPL Unsoed. Mereka familiar dengan jalurnya. “Tapi, ya, musibah. Adik kami gugur di sana,” ucapnya lirih.

Pindah ke Purwokerto
Tahun 2024, Ami Kadir pindah domisili ke Purwokerto. “Ada sedikit tanah peninggalan orang tua.”.
Ami Kadir terus berkelana. Mendaki Kerinci, Argopuro, Ciremai Sadarehe, dan Sindoro. Kami tetap kontak. Hingga kemudian ketika saya pulang dari Rinjani, beliau tanya perihal sistem booking online Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), moda transportasi, sekaligus urus surat keterangan sehat.
“Mudah, Mi. Bisa di Puskesmas Sembalun,” kata saya lalu memberitahu nama kapal laut jurusan Surabaya–Lombok yang berlayar setiap hari. “Pesan tiket daring lewat aplikasi. Ada kelas ekonomi sampai VIP.”
Pada 8 Juli 2024, Ami Kadir mengabari, “Terpaksa naik pesawat Surabaya–Lombok. Menyesuaikan jadwal Simaksi.” Saya balas, “Ya mi, ambil yang termudah saja. Yang penting selamat, lancar.”
Lusanya (11 Juli), naungan langit biru dan hijau toska Segara Anak, jadi latar potret Ami Kadir duduk selonjoran pakai kupluk, memegang plakat Summit Rinjani (tampak pada foto sampul tulisan ini). Syal oranye kebanggaan UPL Unsoed melingkar di lehernya.
“Alhamdulillah, selamat!” komentar saya bangga.
Hanya saja, dia batal lintas jalur via Torean. Tidak jadi ke danau. “Sepatu temanku hilang dicuri,” katanya berbesar hati turun lagi lewat Sembalun. “Diambil monyet mungkin,” terka saya. “Monyet kepala hitam,” sahutnya kesal.
Sontak saya infokan kasus tersebut ke Kepala TNGR Resor Sembalun, Taufikurrahman. “Ini sering terjadi, ulah oknum tak bertanggung jawab,” responsnya. Dia menyebutkan kamera pengawas di area Plawangan sedang rusak. Petugas kesulitan mendeteksi pelaku. “Kami sudah minta bantuan rekan porter dan pemandu. Semoga lekas tertangkap.”
Eh, bukannya langsung pulang ke rumah, Ami Kadir lanjut mendaki Gunung Agung di Bali. Petualangan yang luar biasa untuk seorang lelaki 61 tahun. Langkahnya saat mendekati puncak kala fajar menyingsing, terekam apik di media sosial. “Waduh, Mi, apakah saya tetap bisa mendaki di umur segitu,” cuit saya.
Kenal dari Teman
Pertemuan perdana saya dengan Ami Kadir di sebuah acara teman, tahun 2019. Kami cepat akrab karena punya hobi sama: naik gunung. Ami Kadir cerita, beberapa tahun terakhir ini kembali aktif mendaki. “Saya sempat kena obesitas dan diabetes. Berusaha sehat lagi,” bebernya.
Sementara si empunya acara, Muhammad Sungkar (45), tidak sengaja jumpa Ami Kadir di lereng Ciremai, Apuy. Ketika hampir sampai tujuan, tanjakan curam menghambat laju motornya.
“Untung ada yang membantu dorong,” kata Sungkar mengenang kesigapan Ami Kadir. Mereka saling cocok, sesama keturunan Arab. “Akhirnya, saya gabung di tenda Ami Kadir,” ucapnya.
Ami Kadir sendiri sedang kemah bareng Djukardi “Bongkeng” Adriana; pendaki kawakan Wanadri. “Sungkar itu unik! Camping bawa roti maryam dan penganan khas Arab,” tuturnya lalu tertawa.
Pemilik Meru Outdoor, Ari Fendianto, juga sahabat Ami Kadir. Kedekatan mereka bermula dari Ami Kadir yang kerap menyambangi Meru, membeli perlengkapan mendaki. Mereka lantas mendaki Argopuro bersama.
Atas rekomendasi Ami Kadir, saya kenalan dengan Ari, anak Magelang yang merantau ke pantura. Saya dapat carrier, daypack, dan sandal gunung di Meru. Sempat sewa tenda pula buat acara kemah santri.

Tiba di Nepal
Ami Kadir suka membagikan aktivitas petualangannya di Instagram. Pada 16 Oktober 2024, dia ada di Tribhuvan International Airport, Kathmandu. Kain sari kuning khas negeri Hindustan menjuntai di pundaknya.
“Mau ke Everest atau Annapurna, Mi?”
“Insyaallah EBC.”
Sebelumnya dia menunjukkan tiket pesawat jurusan Jakarta–Bangkok–Kathmandu. Namun, saat hendak meneruskan penerbangan ke Lukla, gerbang pendakian puncak-puncak beken di Himalaya, Ami Kadir menanti selama tiga hari. Terkendala cuaca buruk.
“Keindahan pegunungan Himalaya mampu membuat orang menjelma jadi ‘dewa sabar’,” dia menghibur diri.
Tak mau tertahan di Kathmandu lebih lama, Ami Kadir yang memakai agen perjalanan Nima Adventure, bareng anak muda Malaysia Adlee Haqeem, memutuskan naik helikopter dengan biaya ekstra. Pemilik Nima, Khanca Sherpa (50), sudah tiga kali menjejak puncak Everest.
Helikopter mendarat di Desa Surke. Tim lanjut jalan ke Desa Chaplung (2.770 mdpl). Pada 20 Oktober, dikawal Tsewang Sherpa, Ami Kadir menyusuri Namche Bazaar (3.440 mdpl). Mereka melintasi jembatan gantung ikonis “Hillary”, mengabadikan nama Sir Edmund Hillary. Membentang 140 meter di atas “sungai susu” Dudh Koshi.
Di Namche—desa terbesar kedua setelah Lukla—pendaki wajib tinggal seharian di hotel. Proses adaptasi ketinggian bagi tubuh (aklimatisasi). Di sana Ami Kadir puas memandangi deret pegunungan Himalaya yang bersalju.
“Namche ini terisolasi, tapi maju. Semua kebutuhan turis lengkap,” kabarnya.
Sepanjang trek menuju Everest Base Camp (EBC), kata Ami Kadir, banyak pendaki usia 50-an tahun. Paling istimewa asal Skotlandia, 79 tahun, berjenggot putih lebat.
Pendakian hari keempat, tim tiba di Hotel Everest (3.880 mdpl). Medan semakin terjal, naik-turun jalur perdesaan. Di sini pelancong leluasa memandang kemegahan Gunung Everest (8.849 mdpl).


Potret Ami Kadir bermalam di salah satu hotel paling terpencil di muka bumi (kiri) dan saat menjejak jalur berliku penuh tantangan menuju EBC/Dokumentasi Kadir Usman
“Mata ini tak henti berlinang mensyukuri nikmat Sang Maha Kuasa,” Ami Kadir mencurahkan kebahagiaan.
Perjalanan terus ke Desa Dengboche (4.481 mdpl). Pendaki wajib istirahat dua hari, memantapkan aklimatisasi. Ami Kadir mulai merasakan penyakit ketinggian di kawasan ini. “Napas tersengal. Nafsu makan berkurang,” ungkapnya.
Hari kedelapan, Ami Kadir menuju Lobuche. Menembus medan bebatuan dengan suhu mendekati titik beku. Barisan puncak pegunungan Himayala bagai pagar raksasa menjulang ke langit.
Minggu (27/10/2024), usai mendaki selama tujuh jam, pukul 16.45 waktu setempat, Ami Kadir berhasil mengibarkan Merah Putih di Everest Base Camp (5.364 mdpl). Lokasi berkumpulnya pendaki top dunia, sebelum menziarahi atap bumi.
“Suhu minus lima derajat celcius. Sekeliling salju dan batuan. Kami bergegas turun lagi,” ujarnya tegang.
Walau tubuh gontai, semangat Ami Kadir terus menyala. Kalimat sakti di kalangan pendaki: kalau naik ingat misi, pulang ingat keluarga; berkobar dalam dadanya. Seekor keledai menjadi tunggangan menuju Gorakshep—desa terdekat dari EBC. Durasi lebih dari satu jam, ongkos US$100.
“Dingin amat menyiksa. Padahal sudah pakai celana dua lapis, kaus panjang dobel, jaket bulu angsa dan penahan angin,” tuturnya.

Besoknya, sebelum kembali ke Lukla, Ami Kadir mampir Tukla Memorial Park; “kuburan” plakat in memoriam pendaki yang tinggal nama di Everest serta pegunungan sekitar.
Jumat (1/11/2024), Ami Kadir menghirup udara Lukla. Menginap di Sherpa Lodge, sebelum terbang ke Kathmandu. Tapi, lagi-lagi cuaca tidak menentu, baru lusa mengudara.
Ami Kadir pulang ke tanah air, 4 November 2024. Adik UPL Unsoed menjemput abangnya penuh haru di Bandara Soekarno Hatta.
Berakhir di Waduk Penjalin
Sebelum menutup layar ponsel—saat kontak terakhir—saya bilang akan segera ke Purwokerto. “Udah gatel nih, Mi. Mau nulis cerita ke EBC,” cerocos saya.
“Tafadhol. Ahlan wa sahlan,” sambutnya. Artinya, silakan dengan senang hati. Saya dan Ami Kadir kerap ngobrol diselingi bahasa Arab, karena beliau berdarah Timur Tengah. Ami: pamanku.
Sungguh, tinggal tunggu hari keberangkatan ke Purwokerto, tiba-tiba Ari kirim Whatsapp: foto Ami Kadir dalam bingkai duka cita. “Wafat: Senin, 15 September 2025”.
Saya telepon, “Loh, kenapa beliau?”
“Tenggelam di Waduk Penjalin, Brebes. Pas nyelam sambil nembak ikan. Spearfishing.”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…” lunglai mendengarnya.
Jenazah Ami Kadir berhasil diangkat tim SAR dari dasar danau buatan itu, keesokan pagi pascainsiden. Tubuhnya mengenakan pakaian selam, kaku terlilit ganggang. Warga bertahmid begitu mayat dinaikkan ke perahu.
Saya lantas mengingat momen yang telah lewat. Kiranya Tuhan mewujudkan impian Ami Kadir berziarah ke Himalaya, “Makkahnya” pendaki gunung planet ini.
Semoga Allah mengampuni dan merahmati Ami Kadir. Pamanku, ini akhir fragmen pengembaraanmu. Semoga berkenan, sampai bertemu di negeri keabadian kelak.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.