Kenangan awal ketika datang ke Kelurahan Selang, Kebumen, adalah tradisi pasar senggolnya. Entah mengapa, masyarakat di desa tersebut kerap merekomendasikan saya menunggu beberapa waktu untuk mengalami tradisi pasar senggol secara langsung.

Bagi sebagian warga Selang, momen munculnya pasar senggol merupakan perayaan kecil yang kerap mereka nantikan. Biasanya mereka akan mengajak kerabat dan keluarganya untuk menghabiskan waktu menikmati meriahnya acara tersebut.

“Kalau Mas-nya bingung mau ngapain di sini, mending jangan pulang dulu. Tunggu bulan-bulan ini bakalan ada pasar senggol,” sahut salah satu warga ketika kami sedang bercengkerama di angkringan.

Celetukan itu membuat saya cukup tertarik untuk bertahan lebih lama. Terlebih masih banyak hal yang mesti saya kerjakan di sini. Namun, yang membuat saya heran dan bertanya-tanya, bukankah pasar senggol sebenarnya sudah sangat akrab bagi sebagian masyarakat Jawa? Bahkan keberadaannya pun bisa kita temui di berbagai tempat?

Lantas, apa yang membuat tradisi pasar senggol begitu penting dan dekat bagi masyarakat Selang, meskipun tidak setiap waktu ada dan hanya berlangsung dua kali dalam setahun?

Ternyata setelah berbagi cerita dengan seorang warga Selang di angkringan, saya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Jawaban yang membuat saya mengerti alasan masyarakat Selang begitu antusias menyambut tradisi pasar senggol. 

Asal Usul Tradisi Pasar Senggol

Sejatinya, tradisi pasar senggol di Kelurahan Selang tidak lepas dari akar sejarah dan warisan leluhur mereka. Itulah sebabnya pasar senggol menjadi tradisi yang paling ditunggu-tunggu. Sekaligus menjadi ajang antarwarga untuk saling menjalin ritme paguyubannya masing-masing.

Dalam catatan yang saya kumpulkan, termasuk perbincangan saya dengan warga sekitar, pasar senggol merupakan tradisi yang hanya dirayakan menjelang Maulid Nabi Muhammad dan juga Idulfitri. Pun dalam teknis penyelenggaraan, biasanya hanya berlangsung selama dua dan tiga hari saja.

Perayaan tradisi tersebut mengingatkan masyarakat Selang terhadap sosok leluhur mereka yang sangat berpengaruh, yakni R. Ng. Kramaleksana. Dalam tutur lisan yang berkembang, beliau merupakan sosok yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Menariknya, kemampuan tersebut bukan untuk memancing keributan, melainkan mengawal para adipati selama perjalanan menuju Keraton Mataram.

Peristiwa tersebut dapat dirujuk ketika wilayah Klagen Kilang (saat ini menjadi Kelurahan Selang) masih di bawah kekuasaan Raja Amangkurat I.  Pada masa itu, setiap enam bulan sekali wilayah-wilayah sebelah barat Keraton Mataram, seperti Cilacap, Banyumas, Purwokerto, dan lain sebagainya terkena kewajiban membayar dan mengantarkan upeti menuju Keraton Mataram.

Namun, ketika para adipati hendak mengantar upeti, mereka selalu diganggu oleh gerombolan begal di wilayah Kutowinangun. Hal tersebut membuat Raja Amangkurat I murka. Melalui penasihatnya, beliau direkomendasikan untuk mengutus seorang ahli kanuragan di Klagen Kilang agar mengawal perjalanan para adipati. 

Kemudian Raja Amangkurat I memerintahkan R. Ng. Kramaleksana untuk menjadi pengawal. R. Ng. Kramaleksana menyanggupi perintah rajanya, dengan syarat para adipati mesti berkumpul terlebih dahulu di Klagen Kilang, agar ia dapat berangkat bersama-sama menuju Keraton Mataram melalui kawalannya.

Setiap enam bulan sekali wilayah Klagen Kilang selalu ramai dengan kehadiran rombongan Adipati Mataram. Ketika hendak berkumpul, para adipati kerap beristirahat di bawah pohon mangga. Alhasil, banyak warga sekitar yang tertarik untuk menyaksikan mereka secara langsung. 

Melihat fenomena itu, R. Ng. Kramaleksana terinspirasi untuk menghadirkan tontonan guna menghibur para adipati dan masyarakat setempat. Di sekitar pohon mangga tersebut, ia menyiapkan tanah lapang sebagai arena geladi (latih tanding). Para santri R. Ng. Kramaleksana menggunakannya untuk berlatih kanuragan hingga aksi-aksi kesenian lainnya. 

Peristiwa kesenian dan aksi kanuragan gagasan R. Ng. Kramaleksana itu juga memancing banyak perhatian masyarakat di luar Klagen Kilang untuk hadir. Para pedagang pun memanfaatkan momen untuk menggelar lapak berjualan guna mendapat keuntungan. Dari interaksi antarpengunjung dan pedagang, maka muncullah tradisi pasar senggol. 

Secara natural, tradisi pasar senggol muncul dari masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Istilah “senggol” mengacu pada para pengunjung yang saling berdesakan, sehingga mereka saling menyenggol satu sama lain. 

Pasar Senggol Saat Ini

Meskipun kekuasaan Mataram sudah berakhir, tradisi pasar senggol masih tetap lestari sampai sekarang. Tradisi tersebut merupakan bagian dari memori masyarakat Selang untuk mengingat jasa para leluhur terdahulu. Selain itu masyarakat juga dapat memanfaatkannya untuk saling bersilaturahmi.

Ketika pertama kali mengalami dan menjadi bagian dari tradisi pasar senggol, saya mendapati banyak dari sanak saudara mereka yang datang dari perantauan. Kembali ke kampung halaman hanya untuk memeriahkan tradisi pasar senggol bersama keluarga. Terdapat aneka makanan dan jajakan kuliner lainnya yang dapat dinikmati selama penyelenggaraan pasar senggol.

Saking ramainya para pedagang dan masyarakat yang hadir, lalu lintas sepanjang jalan Kutoarjo menuju Pasar Selang menjadi padat merayap. Baru pada momen ini Kebumen bisa dibuat macet. Ketika hari biasa daerah ini cukup lengang dan jarang sekali terjadi kemacetan. Meskipun demikian, saya tidak menyesal bisa hadir dalam tradisi yang hanya berlangsung dua kali dalam setahun.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar