TRAVELOG

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa

Awal Desember 2024, saya diajak oleh salah satu kawan untuk mengikuti walking tour bertema “Hidden History of Pasar Lama”. Ini menjadi kesempatan menambah pengetahuan tentang wilayah yang statusnya sebagai kota penyangga Jakarta. Apalagi Pasar Lama menjadi salah satu ikon wilayah Tangerang saat ini.

Setelah bergerak dari titik kumpul di Stasiun Tangerang, lalu melewati Jam Argo Pantes yang berada tepat di depan Pasar Lama, rombongan tur mulai memasuki Pasar Lama Tangerang. Tur kali ini dipandu oleh Ci Elsa, keturunan asli Cina Benteng yang ada di Tangerang.

Pagi itu aktivitas di Pasar Lama seperti pasar basah pada umumnya. Ramai penjual dan pembeli kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga, serta kuliner pagi. Saat malam, sepanjang jalan Pasar Lama akan berubah menjadi pusat kuliner.

Mata saya sempat tertuju pada jajanan di bagian depan pasar. Seperti membaca pikiran saya, Ci Elsa bilang kalau onde-onde buatan warga Cina Benteng sangat enak dan punya ciri khas yang sedikit berbeda dengan yang lain. Namun, saya tidak mampir beli karena tidak ingin membuat peserta lain menunggu.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Cagar budaya makam dan Masjid Kalipasir/Nita Chaerunisa

Peradaban Islam dan Tionghoa di Sungai Cisadane

Tidak sampai terlalu dalam masuk area Pasar Lama, kami berbelok ke pemukiman warga. Bergerak ke depan rumah pembuatan salah satu kecap tertua di Tangerang dan produksi asli warga Cina Benteng. Kecap Istana, yang juga disebut kecap Benteng Tulen atau kecap Teng Giok Seng. Diperkirakan sudah diproduksi sejak 1882 dan sampai saat ini masih mempertahankan produksi dari satu rumah.

Selain Kecap Istana, ada pula kecap SH (Siong Hin) yang terkenal di Tangerang. Informasi baru bagi saya, ternyata kecap Bango produksi PT Unilever Indonesia, awalnya diproduksi oleh salah satu warga Cina Benteng di rumahnya.

Dari lokasi yang berada di sekitar perbatasan antara permukiman Islam dan peranakan Tionghoa, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Masjid Jami Kalipasir, yang merupakan salah satu bentuk kerukunan umat Islam Tangerang dan warga Cina Benteng. Berada di kawasan Pecinan, Masjid Jami Kalipasir dipengaruhi budaya Tionghoa yang tampak dari menara mirip pagoda. Masjid yang berada di pinggir jalan dan menghadap langsung ke Sungai Cisadane ini termasuk salah satu masjid tertua di Kota Tangerang dan diperkirakan sudah berdiri sejak 1576.

Masjid Jami Kalipasir sudah ditetapkan sebagai cagar budaya karena menyimpan banyak cerita peradaban Tangerang dari masa Kesultanan Banten sampai sekarang. Di halaman depan masjid terdapat sejumlah makam para tokoh dan pemuka agama Islam dari masa Kesultanan Banten.

Kemudian pemandu tur mengajak kami berpindah, hanya berjarak 300 meter sampai di Toa Pekong Air atau Prasasti Tangga Jamban yang berada tepat di pinggir Sungai Cisadane. Awalnya banyak warga yang sedang memancing ikan di tepi Toa Pekong Air. “Nanti lanjut lagi, ada turis yang mau belajar dulu,” celetukan dari salah satu pemancing.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Plang Toa Pekong Air/Nita Chaerunisa

Toa Pekong Air yang didominasi warna merah ini merupakan dermaga kecil, dan ada sebuah tempat pembakaran dupa untuk warga Cina Benteng bersembahyang. Toa Pekong Air dulunya dibangun untuk menautkan tali perahu warga dari luar wilayah ini ataupun sebaliknya. Namun, dulu juga banyak warga yang menjadikan lokasi ini untuk buang air sehingga disebut juga Tangga Jamban—karena terdapat tangga yang menghubungkan jalanan dengan Toa Pekong Air.

Sungai Cisadane sendiri sering menjadi tempat digelarnya perayaan Peh Cun atau tradisi lomba perahu naga setiap tanggal lima bulan lima penanggalan Konghucu. Toa Pekong Air menjadi salah satu lokasi utama setiap kali acara Peh Cun

Saat pemandu tur sedang bercerita di pinggir Sungai Cisadane, beberapa rombongan perahu dayung melintas. Dari tulisan di perahunya, sepertinya mereka adalah para atlet perahu dayung yang sedang latihan.

Pemandu tur juga bercerita tentang asal usul sebutan Cina Benteng. Dulu, Tangerang, terutama wilayah ini terkenal dengan sebutan ‘Benteng’, merujuk pada bangunan benteng di pinggir Sungai Cisadane yang dibangun VOC untuk berlindung dari serangan pasukan Kesultanan Banten. Namun, pendatang dari Cina di Tangerang sendiri dapat ditelisik jauh sebelum VOC datang, dari cerita rombongan anak buah Laksamana Cheng Ho. 

Mereka bermukim dan menikah dengan penduduk lokal. Hasil dari pernikahan itu menghasilkan peranakan Tionghoa yang kemudian disebut Cina Benteng—karena banyak bermukim di sekitar benteng VOC. Orang Cina Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya. “Hitaci atau hitam tapi Cina,” kata Ci Elsa.

Warga dan anak-anak setempat memancing di Toa Pekong Air (kiri) dan para atlet perahu dayung berlatih di Sungai Cisadane/Nita Chaerunisa

Rumah Bergaya Tionghoa Lama

Dari Sungai Cisadane kami bergerak menuju area Pasar Lama. Di perjalanan kami melewati permukiman penduduk, termasuk rumah-rumah peninggalan peranakan Tionghoa lama.  Misalnya Roemah Boeroeng, yang awalnya merupakan rumah keluarga warga biasa, lalu diubah menjadi rumah burung walet oleh pengusaha burung walet. Setelah mengalami restorasi, bangunan ini sempat digunakan untuk menyimpan barang-barang kuno dan menjadi sebuah restoran. 

Sayangnya, Roemah Boeroeng sudah ditutup untuk umum. Saat rombongan kami datang, tepat di depannya terparkir sebuah mobil sehingga kami tidak dapat melihat lebih dekat bangunan ini. Roemah Boeroeng memiliki gaya arsitektur yang unik, kontras dengan rumah-rumah di sekelilingnya. Di depan Roemah Boeroeng terdapat rumah penulis buku silat terkenal Oey Kim Tiang (OKT). Semasa hidupnya OKT telah menerjemahkan lebih dari 100 buku silat, dari bahasa Hokkien menjadi Melayu Pasar.

Selain itu, kami juga melewati rumah-rumah tua yang umurnya diperkirakan sudah hampir ratusan tahun. Salah satu atap rumah ada yang bergaya Tiongkok Selatan bernama Pelana Kuda. Pada jendela rumah bagian samping terdapat ukiran keramik, bahkan pada tiang penyangga bagian depan rumah juga terdapat lukisan di atasnya. Meskipun bangunan sudah semakin tergerus, tetapi ukiran pada bangunan masih dapat dianalisis dengan jelas. 

Tampak depan Roemah Boeroeng (kiri) dan Kelenteng Boen Tek Bio/Nita Chaerunisa

Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage

Kelenteng Boen Tek Bio berada di dalam area Pasar Lama dan berbatasan dengan permukiman warga. Kelenteng ini diperkirakan berdiri tahun 1684 dan menjadi kelenteng tertua yang ada di Tangerang. Di bagian depan kelenteng ada lonceng yang diperkirakan sudah ada sejak 1835 dan sepasang ciok say atau singa batu yang diperkirakan dibuat tahun 1827.

Saat itu suasana Kelenteng Boen Tek Bio sangat ramai. Selain beribadah, umat Tridharma juga sedang mengadakan acara donor darah. Kegiatan donor darah berlangsung di salah satu ruangan yang masih termasuk dalam bagian kelenteng. Kami tidak berlama-lama di satu titik, supaya tidak menghambat lalu-lalang orang.

Pemandu tur mengajak rombongan mengelilingi altar-altar yang ada. Kami dapat melihat langsung umat Tridharma sedang beribadah. Dewi utama di Klenteng Boen Tek Bio adalah Dewi Kwan Im atau dewi welas asih, yang katanya patungnya sudah ada sejak kelenteng berdiri. Ini pengalaman pertama bagi saya masuk ke area kelenteng, melihat langsung umat Tridharma sembahyang dari satu altar ke altar lain. 

Kami juga diajak ke depan sebuah ruang tempat menyimpan tandu untuk perayaan arak-arakan Gotong Toapekong. Jadi, setiap 12 tahun sekali Kelenteng Boen Tek Bio melanggengkan tradisi yang sudah dimulai sejak 1856. Ritual Gotong Toapekong bermula saat adanya pemindahan dan pengembalian patung dewi utama saat terjadi revitalisasi Kelenteng Boen Tek Bio pada tahun 1844. 

Saat acara Gotong Toapekong pada 21 September 2024 lalu, ada tiga dewa yang diarak mengelilingi sekitar wilayah Kelenteng Boen Tek Bio dan Pasar Lama Tangerang, dewi utama Kwan Im Hud Couw, Kwan Seng Tee Kun, dan Kha Lam Ya. Selain itu juga terdapat parade lintas budaya dan lintas agama. Acara arak-arakan Gotong Toapekong bukan hanya menjadi acara tradisi yang dinantikan umat Tridharma Kelenteng Boen Tek Bio atau warga Cina Benteng, melainkan masyarakat umum di Tangerang dan bahkan sekitarnya juga selalu ikut meramaikan. Acara ini seakan menjadi wujud toleransi keberagaman yang ada di Tangerang.

Setelah dari Kelenteng Boen Tek Bio, berjalan kurang dari 100 meter kami sampai di Museum Benteng Heritage. Berbeda dari tempat lain, Museum Benteng Heritage berada tepat di tengah-tengah Pasar Lama. Di samping kiri dan kanan pintu masuk museum ramai pedagang. Bahkan pemandu tur sempat menyarankan, jika ingin mencoba kecap khas Tangerang dapat membeli di warung sembako samping museum.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Pernik hiasan di bagian depan Museum Benteng Heritage/Nita Chaerunisa

Museum Benteng Heritage merupakan hasil restorasi sebuah bangunan tua milik warga Cina Benteng yang diduga dibangun sekitar abad ke-17. Pemilik museum ini adalah orang Cina Benteng asli, Udaya Halim. Saat hendak masuk, kami disambut oleh dua patung ciok say di kiri dan kanan pintu. Serupa dengan yang ada di Kelenteng Boen Tek Bio.

Untuk menjelajahi gedung dua lantai tersebut, setiap orang akan dikenakan tiket masuk sebesar Rp30.000 dan akan dipandu berkeliling selama satu jam. Katanya, di dalam museum bisa menemukan banyak peninggalan orang-orang Cina Benteng yang bisa menandai eksistensi mereka dari masa ke masa.

Namun, rombongan kami hanya melihat-lihat ruang depan museum saja. Di bagian depan terdapat beberapa lukisan yang menggambarkan kondisi Pasar Lama Tangerang tempo dulu, poster kegiatan warga, dan beberapa piagam rekor MURI. Museum Benteng Heritage menjadi lokasi terakhir dalam perjalanan tur kali ini. Para peserta berpisah setelah Ci Elsa resmi menutup walking tour yang ia pimpin hari itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Perempuan Jakarta yang tertarik dengan keindahan alam, budaya, dan cerita masyarakat Indonesia.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *