Prolog 

Ini kisah tentang pembukaan hutan menjadi tempat wisata. Lokasi hutan yang saya maksud, ada di pegunungan kapur atau karst sekitar Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. 

Sekarang, di Gunung Kapur itu ada beberapa titik tuju yang biasa didatangi penggemar wisata alam. Dari tenggara bernama Puncak Galau, Puncak Lalana, hingga Puncak Batu roti. 

Saya berkunjung ke salah satu puncak tersebut, setelah sebelumnya tertarik pula merasakan pengalaman seorang kawan. Dia pernah mengunjungi area perbukitan kapur itu sebelum destinasi tadi jadi pariwisata andalan. 

Bukit Panenjoan 

Namanya Rifki Maulana. Pertengahan tahun 2014, lewat blognya Rifki bercerita tentang hidden treasure, harta karun tersembunyi berupa titik pijak menikmati matahari tenggelam. 

Lokasinya sekitar 20 menit perjalanan dari kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga, tempat Rifki berkuliah ekonomi. Bersama kawan-kawannya, mereka mendaki bukit Karang Panenjoan yang masih ada di dalam wilayah Ciampea. 

Saat bertamasya, ia mendeskripsikan bahwa penduduk setempat ramah. Mereka bahkan menunjukkan arah untuk menikmati pemandangan tadi. Setelah satu jam mendaki, rombongan Rifki pun tiba di tujuan dan berimpresi. 

Walau tidak sehebat pemandangan dari gunung gunung yang lebih tinggi, tapi pemandangan disini bisa dibilang ‘berkah’ dibalik lokasinya yang sebenarnya dekat dengan kota yang ruwet dengan kemacetannya.

Setelah momen itu, Rifki lagi-lagi berkunjung ke tempat yang sama. Yang berbeda, setelahnya ada penarikan tiket. 

Lambat laun, kedatangan wisatawan menyadarkan warga setempat bahwa ada potensi ekonomi. Sumbernya dari pesona pegunungan kapur tadi. 

Potensi Karst Ciampea 

Perbukitan batuan kapur Ciampea mencakup Desa Cibadak, Desa Ciampea, dan Desa Bojong Rangkas. Area ini, memiliki ciri khas keragaman ekosistem yang tinggi, sehingga punya cikal bakal pemanfaatan hayati yang juga besar. 

Sayangnya, ada ancaman eksploitasi batuan kapur yang bisa merusak bentang alam ini. Solusinya, sumber pendapatan warga setempat perlu dialihkan ke aktivitas ekonomi yang lebih berkelanjutan, misalnya pariwisata. 

Jurnal Media Konservasi terbitan 2 Agustus 2020 melaporkan, kawasan karst Cibadak di Ciampea Bogor punya potensi pemanfaatan di sektor pariwisata. 

Hal itu saya buktikan sendiri. Bulan Agustus 2020, saya ke Ciampea untuk datang ke tempat yang pernah diceritakan Rifki tadi. 

Rupanya, karst Ciampea punya banyak puncak. Dan Karang Panenjoan nampaknya belum ditandai di peramban digital. Saya pun mengarahkan tuju ke salah satunya: Puncak Lalana. 

Salah Puncak 

Puncak-puncak wisata Ciampea memang tersedia di GPS, tapi untuk sampai di sana ternyata tak semudah itu. Aplikasi peta digital menggiring saya ke kelokan yang berujung jalan buntu Karst Cibadak, masih di Kecamatan Ciampea. 

Namun, justru pengalaman tersesat itu mempertemukan saya dengan beberapa ekor monyet. Mereka tampak jinak dan terbiasa berbaur dengan penduduk di batas hutan dan permukiman. 

Seperti tertulis di jurnal di atas, monyet jenis Macaca fascicularis bukan satu-satunya fauna penghuni hutan. Walet dan ulat viper juga ada. 

Sementara, flora yang mendampingi mereka juga tak kalah beragam. Pohon rengas, klampis, karet, hingga paku-pakuan juga turut tumbuh. 

Bahkan, organisasi pecinta alam Lawalata IPB pernah melaporkan temuan hewan berbuku (arthropoda) di Goa Sigodawang. Keberadaan spesies hewan ini pun jadi penanda tertentu atau bioindikator kondisi alam di sana. 

Keanekaragaman itu bisa jadi daya tarik pariwisata, selain juga bentang alamnya. Seperti yang kemudian saya alami di Puncak Lalana. 

Puncak Lalana 

Semuanya sudah tertata. Setelah melintasi gerbang, ada penanda lokasi parkir, pendaftaran pendaki, hingga penjualan souvenir. 

Seorang warga yang saya ajak ngobrol, bercerita bahwa area wisata ini sudah ada sejak sekitar 2018. Awalnya, Puncak Galau yang dibuka pertama. Di sana ada helipad milik TNI AD yang jadi daya tarik tersendiri. 

Di Puncak Lalana, dari tempat kedatangan terlihat selembar bendera merah putih raksasa yang menandai perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Bulan Agustus itu hujan turun di beberapa malam. Untungnya, sore keesokannya ketika saya datang, lintasan mendaki tetap nyaman dijajal. 

Ada jalur yang menanjak hingga lutut saya menempel ke dada, ada pula jalur vertikal yang bikin pengunjung menempel di tembok batu. Tenang, ada tali pengaman. 

Setelah sekitar setengah jam, tibalah saya di salah satu puncak Gunung Kapur itu. Beberapa orang terlihat sedang berfoto, berlatar hamparan lanskap jalan dan perumahan. 

Di sisi berlawanan, sebuah tebing menjulang. Dia jadi tembok penyekat natural yang membatasi area perkemahan. Di balik batu kapur besar itu, kita memang bisa bermalam dengan atau tanpa tenda yang bisa disewa dari pengelola area ini. 

Warga Jadi Pengelola 

Pengelolaan lokasi wisata oleh warga setempat, jadi kondisi paling ideal. Menurut Rifki—yang kini sudah bekerja sebagai ekonom—pariwisata memang jadi sektor yang memiliki rambatan ekonomi paling luas. 

“Kayak misalnya pariwisata jalan di suatu daerah itu kan pasti bisa menumbuhkan iklim usaha di sana. Tukang makanan, tukang travel, tukang parkir, dan lain-lain,” papar Rifki.

Berdasarkan amatannya, dampak itu bahkan mulai tampak tak lama setelah kunjungan awalnya ke Karang Panenjoan. “Gue udah 8 apa 7 kali ke sana. Nah, beberapa bulan setelah gue dari sana, itu udah mulai banyak tuh (aktivitas ekonomi),” Rifki menambahkan. “Terus beberapa saat lagi ke sana, di kunjungan gue ke-4 apa ke-5 gitu, itu udah ada ticketing. Terus udah banyak warung-warung.”

Berdasarkan indikasi di atas, Rifki mendukung promosi wisata hidden gem di berbagai daerah, khususnya di Bogor. Meski demikian, ia juga memperingatkan bahwa berkah pariwisata bisa jadi buah simalakama. 

“Jangan sampe, ada ticketing yang nggak wajar. Soalnya ada beberapa tempat yang gue tahu, ticketing-nya jadi berlapis gitu. Kok jadi mahal banget gitu ke sana, padahal (pengalaman) yang diberikan segitu aja. Jadi orang males gitu ke sana,” pungkas Rifki.

Epilog 

Pada akhirnya, pemanfaatan alam sebagai aset bersama, perlu dibarengi kesadaran memaksimalkannya untuk kemaslahatan bersama pula. Tentu saja, legalitas pengelolaan kawasan juga jadi hal yang tak kalah penting. 

Pasalnya, pengelola yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Cibadak juga perlu berkolaborasi dengan Perum Perhutani hingga TNI AD. Di tengah upaya itu, ada satu hal yang selalu jadi prioritas utama: pelestarian alam dari kerusakan lingkungan.


1  indomietelorkeju.blogspot.com
2 radarbogor.id
3 journal.ipb.ac.id
4 lawalataipb.or.id

Tinggalkan Komentar