Berbicara mengenai pahlawan di Indonesia, sejarah kerap mencatatnya sebagai sosok yang lekat dengan perjuangan besar dan hebat. Perjuangan mereka lekat dengan karisma dan popularitasnya bagi masyarakat. Mereka merupakan patron yang memimpin aksi-aksi pemberontakan, hingga menyusur dasar-dasar terbentuknya tatanan negara.
Sebut saja Soekarno sebagai founding father bagi bangsa Indonesia, Bung Tomo bagi perlawanan arek-arek Surabaya, hingga Cut Nyak Dhien yang memperjuangkan kebebasan rakyat Aceh dari Belanda. Lalu jasa dan riwayat mereka disusun dalam bentuk kurikulum, agar generasi mendatang dapat meneladan sebagai rasa cinta tanah air.
Namun, jarang dari kita melihat pahlawan dari aksi-aksi paling pinggiran. Pahlawan yang sejatinya telah mengambil peran yang cukup penting, tetapi kadang keberadaanya kerap kali terpinggirkan. Alhasil, jasa dan kontribusinya segera lekas terlupakan bahkan terkubur ke dalam liang bersama jasadnya.
Pahlawan pinggiran itu bernama Sholeh, penjaga palang pintu kereta api di Kelurahan Selang, Kebumen, Jawa Tengah. Pertama kali saya menjumpai pemuda berusia 20 tahun itu ketika pagi-pagi saya sedang mencari kopi di sekitar “tempat dinasnya”.
Berkenalan Lewat Rokok dan Kopi
Kala itu matahari masih cukup malu memperlihatkan simpul senyumnya yang mekar di hamparan sawah. Entah mengapa sinarnya yang menguning membasahi padi-padi, membuat saya bersemangat untuk mencari kopi. Oleh warga sekitar, saya diarahkan menuju kedai kopi yang sudah buka dan berada tepat di selatan palang pintu kereta api. Saya lekas menelusuri jalan menuju lokasi dengan jalan kaki.
Benar saja. Saya mendapati sebuah warung kopi dengan tawaran kudapan pagi yang menarik, yakni bubur. Di tengah asyik menikmati secangkir kopi, ditambah siluet baskara yang mulai membilas wajah saya, dari arah barat suara klakson terdengar cukup nyaring. Tanda akan ada kereta yang melintas.
Berbekal tiang bambu, sang penjaga lekas menarik tali yang telah terikat di ujung palang. Akses jalan antarkelurahan segera tertutup. Tak berselang lama terlihat kereta melaju kencang. Masinis memberikan klakson kecil kepada relawan penjaga itu dan ia membalasnya dengan lambaian tangan.
Para pengendara yang akan menyeberang seketika harus berhenti. Menunggu sampai kereta benar-benar lewat. Beberapa di antara mereka menyisipkan sejumput uang ke dalam kotak bertuliskan “Kotak Swadaya” di pinggir jalan. Mungkin hasilnya untuk bekal jajan atau kebutuhan ngopi si penjaga palang kereta itu.
Pikiran saya langsung tertuju pada sebuah pertanyaan, “Mengapa hari ini masih ada palang yang dijalankan secara manual? Bukankah di luar sana palang kereta sudah bekerja secara otomatis?”
Namun, pertanyaan tersebut lekas pergi ketika mata saya menatap sosok itu dari kejauhan. Ia pun balas menatap saya.
Saya langsung beranjak dari kedai kopi dan menghampirinya. Ia masih siaga menunggu laju kereta berikutnya. Berbekal sebatang rokok dan kopi yang masih hangat, saya mencoba mengajaknya berkenalan.
“Saya Sholeh,” ia menyebutkan namanya.
Jasa yang Hidup dari Swadaya
Dari perkenalan awal tersebut, kami jadi cukup sering bertemu. Selama tiga bulan tinggal di Kebumen, kami sesekali bertukar cerita. Sembari menikmati kopi dan melihat kereta melintas dari jarak yang sangat dekat. Ternyata jika laju kereta itu kita dekati dalam jarak beberapa meter, tubuh kita bisa terempas karena saking kencangnya.
Saya akhirnya menemukan hal menarik tentang Sholeh dan perlintasan kereta tanpa palang pintu di kelurahan ini. Sholeh baru menekuni profesi sebagai penjaga palang kereta beberapa tahun belakangan ini. Sebelumnya, perlintasan rel tersebut sama sekali tidak ada pos penjagaan.
Menurut penuturan beberapa warga, rel kereta tersebut sudah banyak memakan korban jiwa. Salah satunya adalah seorang kakek yang hendak membuang sampah. Alhasil, beredarlah kisah-kisah mistis yang kerap melekat pada lintasan kereta tersebut.
Namun, setelah Sholeh mengambil perannya, angka kecelakaan serta korban jiwa hampir tidak lagi ia dengar. Tak sedikit warga sekitar yang menyisihkan uang kembalian belanja dari pasar untuknya, ketika mereka hendak melewati rel. Maka Sholeh berinisiatif memasang kotak swadaya agar memudahkan orang yang mau menaruh uang.
“Untuk apa uang tersebut?” tanya saya.
“Rokok dan kopi di warung sebelah,” jawabnya. Sisanya akan ia tabung, entah untuk kebutuhan apa.
Sholeh merupakan angkatan produktif yang masih tinggal di Selang. Sementara banyak dari kawan seusianya memilih untuk meninggalkan tempat tinggalnya, karena harus merantau ke daerah lain. Tak pelak waktu Sholeh lebih banyak dihabiskan di palang pintu kereta. Atau sekadar nongkrong bersama bapak-bapak lain di dekat posnya. Bahkan ia sudah siap sedia di tempatnya bertugas ketika pagi masih gelap.
Sebelum kembali ke Yogyakarta, sesekali saya memberanikan diri untuk menjajal peran Sholeh. Kalau saya pikir-pikir lagi, menarik palang pintu secara manual ternyata membuat jantung saya berdebar-debar. Sebabnya bunyi klakson kereta luar biasa menakutkan. Ditambah terpaan angin yang dihasilkan kereta ketika hanya berjarak beberapa meter dari ular besi itu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.