Dahulu saya berpikir, sepertinya merepotkan jadi anak rantau. Harus merasakan berdesak-desakan di dalam bus antarkota atau antarprovinsi saat mudik lebaran. Sibuk berkunjung ke kerabat yang rumahnya berjauhan lintas kecamatan. Status perantau bermula karena mengikuti bapak berkarir sebagai pegawai negeri sipil kampus Islam negeri di Surabaya sejak 1991.
Saya lahir dari orang tua berbeda provinsi meskipun masih satu pulau. Bapak dari Wedarijaksa, Pati. Seseorang yang besar di lingkungan pondok pesantren di pesisir utara Jawa Tengah. Sementara Ibu dari Pacitan, Jawa Timur, yang juga menjadi tempat pertama saya mengenal dunia.
Sempat ada guyonan di keluarga besar, kalau saya adalah orang Timur-Tengah. Bukan karena mancungnya hidung saya dan nama yang bernuansa islami. Melainkan daerah asal bapak-ibu dari provinsi yang bertetangga dekat.
Namun, lambat laun saya menyadari betapa prestisenya menjadi anak rantau. Betapa “wah”-nya bisa merasakan pulang ke tanah kelahiran. Kepulangan saya bersama keluarga yang sebentar ke Pacitan puasa lalu, sekitar seminggu sebelum lebaran menegaskan itu. Selama tiga hari dua malam, waktu melempar saya mundur sejauh tiga dasawarsa.
Mengenang Rumah Mbah Kakung
Kenangan pertama yang mengingatkan masa kecil saya adalah rumah peninggalan Mbah Kakung. Beliau seorang guru agama yang disiplin dan sangat berhati-hati dalam beribadah. Saya hanya mengenal dan melihat wajah kakek tiga tahun saja, sampai beliau wafat tahun 1994. Setelah itu nenek saya yang merawat rumah tersebut dibantu tetangga yang masih terhitung kerabat.
Rumah Mbah Kakung sangat sederhana, meskipun tergolong apik dan rapi di zamannya. Pondasinya cukup tinggi, sehingga kami harus menaiki anak tangga untuk masuk ke rumah. Biasanya saya tidur di kamar depan, sementara ibu dan Mbah Putri di kamar belakang dekat pawon. Dapur adalah salah satu bagian terbesar di rumah ini, selain ruang tengah dan ruang tamu. Sayang sekali dokumentasi lawas rumah ini lama hilang.
Namun, saya punya dua kenangan paling unik di rumah ini. Masih terngiang sampai sekarang.
Pertama, jatuh alias nggelundung dari pintu depan menuruni tangga. Gara-garanya bermain terlalu lincah dengan saudara sepupu. Dahi saya bocor dan harus dijahit. Jangan tanya apakah saya menangis? Sudah pasti.
Kedua, perasaan was-was saat harus pipis tengah malam. Kamar mandi berada terpisah dari rumah. Mbah Kakung membangunnya di sebelah timur laut, dekat jalan kampung yang belum beraspal seperti sekarang. Dahulu, terdapat tiga ruangan untuk mandi dengan bak air memanjang, lalu satu bilik dilengkapi kakus. Bukan soal gelap dan sepinya, melainkan peluang bertemu anjing hutan yang biasanya bergerak ke arah sawah.
“Aku sama ibu sering lihat jejaknya di jalan setapak tanah antara kamar mandi dan bagian timur rumah,” kata saya ke istri.
Saat ini rumah Mbah Kakung sudah “terpotong” separuh. Kamar-kamar yang masih ada disewakan untuk kos. Bekas pondasi dan anak tangga di dinding timur menjadi lorong untuk parkir motor dan sepeda. Adapun kamar mandi dan lahan jemuran sudah lama berubah menjadi kediaman pakde saya, yang pulang karena sudah purna sebagai abdi negara di Samarinda.
Menjenguk Pusara Bersahaja di Lereng Bukit
Tiada cara lain yang lebih baik untuk mengenang Mbah Kakung dan Mbah Putri, selain mengunjungi makam keduanya. Walaupun ziarah bukan menjadi tradisi umum bagi sebagian orang di dusun, tetapi kami tetap wajib mampir setiap pulang ke Pacitan.
Pusara kakek dan nenek saya berada di pemakaman umum di barat laut desa. Lokasinya di lereng bukit. Dahulu kami harus jalan kaki menyusuri jalan setapak yang cukup terjal dari rumah warga terakhir sebelum hutan. Kini sudah bisa diakses mobil sampai ke atas, meskipun hanya makadam.
Bagi saya, meninggalnya sang nenek adalah kehilangan terbesar bagi keluarga. Khususnya saya. Mbah Putri cukup sering tinggal bersama kami di rumah Waru, Sidoarjo. Sosok humoris, tegas, dan selalu mengingatkan saya untuk salat berjamaah di musala.
Momen menyesakkan adalah ketika beliau mengembuskan napas terakhir di ranjang rumah sakit di Surabaya, pada tanggal 28 Oktober 2019. Tak sampai sebulan sebelum pernikahan saya dan istri di Yogyakarta. Mbah Putri tak sempat melihat cucu lanangnya di pelaminan. Namun, saya yakin beliau “hadir” di acara kami.
Selain kakek dan nenek, ada juga makam Mbah Buyut yang terletak berdampingan. Tidak jelas kapan beliau berdua wafat, tetapi ibu saya bilang sudah sangat lama. Saya bersama bapak dan adik bergantian mencabut rumput dan membersihkan seresah di atas makam mereka.
“Ziarah kubur itu bentuk bakti kita sebagai anak kepada orang tua,” kata bapak seusai memimpin tahlil dan doa bersama.
Saya mengangguk. Saya jadi teringat pesan di sebuah spanduk ajakan gotong royong bersih makam desa yang terpasang di sana: Gelem Warisane, Tapi Ora Gelem Ngrumat Kuburane.
Para Tetangga Pengasuh Semasa Kecil
Kata orang, yang namanya hubungan keluarga tak mesti sedarah atau sekandung. Bahkan kadang-kadang tidak kalah erat pertalian emosionalnya dengan orang tua atau saudara kita. Saya memiliki contoh nyata dan mengalaminya sendiri. Selama mudik kemarin, saya sempat menemui beberapa orang yang pernah ikut mengasuh waktu saya masih kecil.
Orang pertama yang saya temui adalah perempuan mungil yang akrab dipanggil Mbok Yem. Almarhum suaminya adalah tukang becak dan petani, yang semasa hidup sangat lihai memanjat pohon kelapa dan memetik buahnya untuk saya. Kini Mbok Yem masih sering membantu bude saya memasak. Sesekali momong cucu-cucu, hadiah terindah dari keenam anaknya yang sudah menikah dan berpencar hidup mandiri. Baik di Pacitan maupun luar kota.
Saya dan keluarga juga menyempatkan diri menjenguk pasangan suami-istri petani, Paklik Abidin dan Bulik Tutik. Rumahnya ada di tikungan jalan dusun sebelum rumah Mbah Kakung.
Lik Bidin—panggilan akrabnya—sedang terbaring lemah di kasur. Beliau baru saja rutin cuci darah di Yogyakarta dan Pacitan. Sementara bulik masih terlihat sehat, meskipun memiliki riwayat diabetes dan hipertensi. Bulik termasuk orang yang pernah ikut menggarap lahan padi sawah milik Mbah Putri di seberang rumahnya. Kini lahan tersebut sudah berubah fungsi menjadi bangunan, entah hunian atau tempat usaha.
Para tetangga pengasuh saya di masa kecil itu satu suara tatkala memandang saya, “Masya Allah, lha kok sudah besar dan gagah begini?”
“Dulu sering tak gendong pas cilik dan sik sering nangis, ha-ha-ha! Wah, dulu masih segini, lho, si Rifqy itu,” tambah mereka sembari meletakkan telapak tangannya sejajar dengan lutut saya.
Mereka menceritakan kenangan itu dalam bahasa Jawa tentunya. Dan gelagat yang menunjukkan seolah pangling melihat saya sudah tumbuh dewasa. Berkumis dan berambut panjang, setidaknya sampai saat ini.
Kenangan Masa Kecil akan Abadi
Lagi-lagi, memang benar kata orang. Kenangan masa kecil mungkin tak akan terlupakan. Dari rumah peninggalan kakek-nenek dan makam mereka di lereng bukit, perjumpaan dengan tetangga yang serasa keluarga sendiri, hingga suasana khas pedesaan membangunkan labirin pemikiran saya.
Begini rupanya menjadi seseorang yang pernah lahir dan memiliki masa kecil di sebuah tempat nun jauh di ujung barat daya sebuah provinsi. Lalu ikut orang tua pergi meninggalkan kampung halaman ke kota metropolis untuk mengubah nasib menjadi (sedikit) lebih baik. Tumbuh besar dan berkesempatan mengenyam pendidikan di perantauan.
Begini rasanya menjadi anak yang kapan pun akan selalu memiliki alasan untuk menengok kembali ke kampung halaman. Menjadi seseorang yang mengerti betapa berharganya arti kepulangan.
Oh, ya. Saya harus membuat pengakuan. Ketika menulis ini, tiba-tiba wajah kakek, nenek, ibu, bapak, dan orang-orang terkasih di sekitarnya melintas di ingatan. Pintu-pintu di lorong waktu tersibak begitu saja ke masa-masa sebelum kedewasaan tumbuh. Tanpa terasa, butiran air di ujung kedua mata nyaris jatuh menetes.
Saya juga ingin bilang, sekalipun begitu, sepertinya saya berhasil menyelesaikan tulisan ini. Dan saya tetap harus mengusap air mata setelahnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.