Sawahlunto ditetapkan UNESCO sebagai situs warisan dunia pada 6 Juli 2019 di Baku, Azerbaijan. Kota yang dijuluki Little Dutch itu, masuk ke dalam jaringan kota pusaka Indonesia berbasis sejarah dan budaya. Selain geopark unggulan utama, tata kotanya pun menjadi daya tarik dengan kesan neoklasik.
Terhubung dari Emmahaven (nama lain dari Teluk Bayur) sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan di Sumatera Barat. Jalur rel dibangun kemudian ketika sarjana Belanda, De Groot menemukan kandungan emas hitam batu bara tahun 1858 yang dilanjutkan oleh De Grave 1868.
Sawahlunto dahulu, bukanlah kota seperti yang ada sekarang dengan beragam bangunan tua bergaya Eropa. Melainkan belantara hutan dan sawah penduduk yang tidak mengesankan bagi siapapun yang melancong. Namun sebuah penelitian oleh sarjana Belanda tersebut, akhirnya mengubah segalanya. Mulai dari sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Jika menyaksikan rupa wajah Sawahlunto hari ini, bangunan tua bekas peninggalan kolonialis amat kentara. Mengadopsi gaya arsitektur The Dutch Colonial. Bangunan itu di antaranya; Gluck Auf atau GPK (Gedung Pusat Kebudayaan), bangunan PT BA (Bukit Asam), rumah dinas Walikota, Goedang Ransoem, dll.
Setidaknya semua waktu, tidak semua fase, telah saya saksikan betapa kota ini tengah mengalami kemajuan pembangunan namun kemunduran kebudayaan. Kemunduran dari kacamata saya karena identitas asli Minang telah memudar. Hal ini karena sejak dibukanya tambang di masa silam dan pekerja yang didatangkan dari luar pulau.
Tapi tidak dengan entitas kebudayaan yang sejak mbah-daeng-opung bersatu padu menjadi akulturasi. Kota yang telah bertransformasi menjadi multikultural dengan bahasa kreol, yakni bahasa yang digunakan di kalangan pekerja tambang—bahasa Tangsi sebagai bahasa setempat—menciptakan kehidupan plural.
Tak ketinggalan jua adanya perpaduan bangunan. Di kota ini berdiri gagah rumah ibadah umat Islam yang dahulu digunakan sebagai gudang senjata. Sempat pula beralih menjadi PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Namun sejak tahun 1952 pasca Indonesia merdeka. Bangunan tua tersebut secara resmi menjadi masjid bernama Masjid Agung Nurul Islam.
Arah utara tepat di sudut kota, menyusuri jalan lintas berhiaskan jajaran ruko yang mengesankan sekalipun orang yang baru melihat wajah Sawahlunto. Tak jauh dari lapangan sepakbola Ombilin, berdiri kokoh gereja Santa Barbara.
Gereja yang dibangun sejak tahun 1920-an itu, berfungsi sebagai tempat tinggal para biarawati saat era kolonialis Belanda. Masih dalam satu kompleks, berdiri sekolah Santa Lucia yang dibangun oleh pekerja Belanda untuk anak-anak mereka mengenyam pendidikan.
Hingga kini pun gereja Santa Barbara dan SD Santa Lucia masih berfungsi. Dua bangunan dengan perbedaan pemeluk menambah multietnik kota yang juga dijuluki kota tambang berbudaya. Bahkan jika ditilik kembali, terutama kota-kota di Sumatera Barat, sangat jarang sekali ditemui bangunan ibadah yang tegak berdampingan.
Menjelang sore hari, biasanya saya akan berleha-leha di pusat pedagang dan masyarakat berkumpul. Tepatnya lebih ke utara melewati bangunan Gluck Auf. Tempat itu oleh mayoritas masyarakat dinamakan Lapangan Segitiga. Di depannya, saya melihat PT BA tegak yang dahulu selain sebagai pusat pengelolaan administratif batu bara, di halaman depan juga kerap diadakan pertunjukan budaya seperti kuda lumping.
Gedung yang sudah berusia 106 tahun sejak berdirinya pada tahun 1916-2022. Melambung menjadi ikon sejarah dan warisan dunia. Sebagai Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto, UNESCO pun menguatkan sebagai kota tambang batu bara tertua di Asia Tenggara. Konon usaha-usaha hingga Sawahlunto masuk ke dalam daftar UNESCO, dilakukan sejak tahun 2003.
Biasanya setelah usai berbelanja camilan, saya akan beranjak ke arah barat melewati beberapa peninggalan rumah dinas yang kini ditempati oleh beberapa pegawai berpangkat. Tak jauh dari sana barulah saya akan menyaksikan tiga buah bangunan mirip batu baterai terpancang layaknya menara.
Dahulu, lokasi yang telah menjadi pusat rekreasi dan taman itu digunakan sebagai tempat pencucian batu bara. Lalu-lalang kereta kala masih aktifnya tambang menjadikan kota ini jauh dari kata menarik. Karena pekerja kontrak atau buruh tambang dari kalangan laki-laki dan perempuan sibuk bergumul memilah dan memilih batu bara untuk diekspor ke luar daerah.
Saya melihat tiga buah bangunan yang menjulang itu telah terpasang jalur panjat tebing. Di depannya dibuatkan panggung pertunjukkan dengan dikelilingi bangku-bangku bagai auditorium terbuka. Sedikit ke sebelah kanan, ada atap-atap yang menaungi rel kereta. Pernah di tahun 2018, lokasi tersebut difungsikan sebagai pasar rakyat dan pusat ekonomi kreatif.
Sawahlunto akan lebih indah jika disaksikan saat malam hari dari atas bukit. Malam itu saya menyambangi Puncak Cemara sebab mudah dijangkau dari pusat kota. Gemerlap cahaya lampu yang dikelilingi lembahan tak ayal kota kuali pun tersemat untuk Sawahlunto. Hal ini terlihat dari cekungan patahan ombilin yang seolah mengurung kota ke dalam dekapannya.
Tak menyangka memang. Belantara hutan yang dahulu sangat terpelosok dan jauh dari jangkauan, kini justru menjadi situs warisan dunia. Bahkan dalam nominasinya mengalahkan Kota Tua Jakarta. Namun bukan berarti secara kualitas Kota Tua Jakarta diragukan, hanya saja masing-masing memiliki karakteristik yang unik.
Batu bara telah mengubah segalanya. Tatanan masyarakat, kota, sosial, politik, pendidikan dan budaya. Keberagaman menjadi hal penting di sini. Terutama menyoal toleransi antar etnis yang sudah ada sejak kolonialis Belanda mengklaim tahanan politik sebagai pemberontak pemerintah Hindia Belanda, kemudian dipekerjakan di tambang dan tinggal di tangsi-tangsi, rumah bagi buruh paksa.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa disapa Raja, kini ia berdomisili di Jogja sebagai mahasiswa. Kadang suka jalan-jalan, kadang menulis cerita perjalanan. Di sela-sela kesibukan, Raja menekuni dunia kepenulisan di ruang kreatif Jejak Imaji dan tengah mengembangkan Komunitas Kolam Baca di kampung halaman.