Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya.
Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu akhirnya berjumpa dengan juru kunci tempat ini. Namanya Nurrasul. Ia sedang berada di sebuah gazebo yang difungsikan sebagai tempat cangkruk (kongko). Setelah Titu memberitahunya kalau kami tidak bisa masuk karena terkunci, ia kemudian mengantarkan kami ke makam Ki Ageng Gribig.
Seperti sebelumnya, kami juga hanya sebentar di dalam makam Ki Ageng Gribig. Kami lalu kembali menemui Nurrasul yang masih berada di gazebo.
Cerita dari Juru Kunci
Sungguh, saya dan Titu merasa beruntung bisa bertemu Nurrasul. Kami berdua mulai mengorek kisah tentang kawasan makam ini. Kepada kami, lelaki kelahiran 1961-an itu membuka cerita bahwa kompleks makam tersebut ada setelah bupati pertama Malang wafat.
“Kalau ditanya berapa luas pesarean ini, kurang lebih satu hektare, ya. Sementara penghuni makam di sini selain Ki Ageng Gribig dan bupati Malang, mereka harus kerabat dari keturunan bupati Malang,” ucap Nurrasul.
Mendengarnya penjelasan Nurrasul, akhirnya teka-teki keberadaan makam bupati Banyuwangi dan bupati Bondowoso di kompleks ini terjawab. Sekaligus menyudahi rasa penasaran saya.
Nurrasul menambahkan, di samping mereka yang masih keturunan keluarga bupati Malang, terdapat pula makam murid-murid Ki Ageng Gribig. Namun, untuk hal ini, ia tak mengetahui nama-nama murid tersebut mengingat umur makamnya sendiri sudah sangat tua. Ditambah tak ada keterangan nama pada nisan.
Lelaki yang mulai menjadi juru kunci lima tahun lalu itu menambahkan, biasanya makam-makam yang masih diziarahi para pengunjung atau keluarga memiliki ciri, yaitu makamnya dipagari. Sementara makam-makam tanpa pagar adalah kuburan tua yang tidak dikunjungi oleh keturunannya atau makam tak dikenal.
Saat saya bertanya tentang status cagar budaya makam ini, Nurrasul menjelaskan bahwa makam bupati Malang telah ditetapkan sebagai cagar budaya karena merupakan bangunan asli. Saya pun teringat dengan sebuah papan yang tertempel di dinding, isinya penetapan bangunan yang dilindungi tersebut. Ia juga memperkirakan, bangunan makam itu ada setelah Raden Adipati Ario Notodiningrat II dan Raden Tumenggung Notodiningrat I wafat.
Lebih lanjut, dari cerita yang beredar, dulunya bangunan makam tersebut akan dipakai sebagai masjid. Namun, karena suatu hal, rencana itu terlaksana. Sejauh ini, dua bangunan makam utama bupati Malang hampir tidak mengalami perubahan berarti sejak didirikan, mulai dari tembok hingga kayu. Dari keterangan Nurrasul, satu-satunya yang berubah hanyalah genteng bangunan yang pernah rusak kemudian diganti di masa kepemimpinan Bupati Abdul Hamid Mahmud (1985–1995).
“Yang jelas makam Ki Ageng Gribig ini sudah ada terlebih dahulu ketimbang dua makam bupati. Karena Ki Ageng Gribig ini sangat dihormati, maka bupati Malang pertama berpesan kepada penerusnya untuk dikubur berdekatan dengan Ki Ageng Gribig,” jelas pria yang tinggal tak jauh dari makam itu.
Nurrasul pun menyebut jumlah makam di kompleks ini di atas 100, dengan jumlah makam yang ada penandanya sebanyak 160 makam. Sementara itu, makam Ki Ageng Gribig ternyata bukanlah makam tertua. Ia mengatakan masih ada makam yang jauh lebih tua. Diperkirakan makam tersebut berasal dari abad ke-16 Masehi atau masa akhir Majapahit yang ditandai dengan gambar matahari pada nisan.
Tentang nisan sendiri, ada satu hal yang membuat saya penasaran sejak masuk ke makam Raden Adipati Ario Notodiningrat II. Mengapa nisan mantan penguasa Malang tersebut disarungi kain?
Saat bertanya ke Nurrasul, jawabannya sangat sederhana. Supaya nisan tidak kotor.
“Nisan-nisan yang ada di makam ini ada yang terbuat dari teraso, ada juga yang dari kayu. Kalau nisan bupati kedua Malang dari teraso, sementara nisan Ki Ageng Gribig dari marmer, tetapi sudah diganti,” ujarnya.
Tempat “Ngalap” Berkah yang Minim Perhatian
Kendati cukup sepi, bukan berarti tempat ini jarang dikunjungi. Dari keterangan Nurrasul, makam Ki Ageng Gribig banyak didatangi pengunjung saat Jumat Legi. Bahkan ada yang datang dari luar kota, seperti Pasuruan, Surabaya, Mojokerto, Temanggung, Cirebon, dan Jakarta. Kebanyakan pengunjung melakukan kegiatan yasinan dan tahlil. Sementara di hari biasa, makam ini dikunjungi orang-orang berlatar akademis yang hendak melakukan penelitian.
Omong-omong soal pengunjung, Nurrasul membagikan pengalaman menarik selama menjadi juru kunci makam. “Paling ramai itu sewaktu Pemilu kemarin. Banyak caleg (calon legislatif) yang datang ke sini untuk ngalap (mencari) berkah. Terus akhir-akhir ini juga beberapa calon wali kota Malang juga berkunjung. Ada yang datang antara jam 12 dan jam 1 pagi. Cerita ini saya dapat dari warga sekitar,” katanya.
Beberapa nama sempat ia sebut. Nama-nama yang sangat familiar di telinga saya, mengingat baliho dan poster mereka sering saya jumpai di jalan.
Lalu saat saya menanyakan biaya perawatan makam, ia memberitahu bahwa dana yang dipakai berasal dari kotak infak atau swadaya masyarakat sekitar. Hasilnya untuk kegiatan operasional, termasuk membayar tukang sapu makam. Tak ada bantuan dari Pemerintah Kota Malang atau Kabupaten Malang. Nurrasul mengungkap bantuan terakhir yang ia terima berasal dari Kabupaten Malang sekitar tiga tahun lalu.
Warga Lesanpuro tersebut sehari-hari berada di makam mulai pagi hingga sore. Ketika siang tiba, ia akan pulang untuk beristirahat sebelum kembali bertugas. Ia juga bercerita mengenai buyutnya yang sudah menjadi juru kunci sejak tahun 1800–an. Dari cerita yang ia dapatkan, bupati pertama Malang-lah yang menunjuk langsung keluarga Nurrasul sebagai kuncen.
“Karena turun-temurun jadi kuncen, keluarga saya dimakamkan di sini termasuk buyut saya. Kalau saya nanti masih belum tahu, dimakamkan di sini atau tidak,” ucapnya. Ia sendiri menggantikan sang ayah sejak tahun 2019.
Saya tergelitik mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya, bagaimana seandainya anak Nurrasul tak berminat meneruskan pekerjaan sebagai kuncen?
Ada alasan saya bertanya tentang hal ini. Bagi saya, minat generasi muda saat ini terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sejarah atau nilai-nilai lokalitas terus-menerus menurun. Atau bahkan tidak tertarik sama sekali.
Mendengar pertanyaan saya, Nurrasul menghela napas panjang. “Ya, kalau anak saya enggak mau, nanti yang menggantikan saya adalah adik saya,” jawabnya. Sebuah senyuman yang sedikit dipaksakan menghiasi wajahnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.