Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun dari boncengan. Kami beranjak memasuki gerbang pemakaman.
Sebenarnya, keinginan saya untuk berkunjung ke tempat ini cukup besar sejak dulu. Namun, karena beberapa hal, saya baru bisa mewujudkannya baru-baru ini. Sejujurnya, meski sudah lama tinggal di Malang, tetapi keberadaan pesarean (makam) Ki Ageng Gribig baru saya dengar beberapa waktu lalu. Bukan cuma saya saja yang tidak tahu, melainkan juga masyarakat Malang pun tak banyak yang menyadari. Setidaknya hal inilah yang diakui juru kunci makam Ki Ageng Gribig yang sempat saya temui.
Akses menuju makam di Jalan Ki Ageng Gribig Gang 3 tersebut sangat mudah. Meskipun berada di pinggiran kota, tetapi jarak dari pusat kota hanya sekitar 25 menit. Bagi pengunjung luar kota, makam Ki Ageng Gribig juga bisa dicapai melalui pintu keluar tol Malang (Madyopuro) yang hanya berjarak kurang lebih 1,5 kilometer.
Sosok Ki Ageng Gribig
Suasana pagi di makam Ki Ageng Gribig pada Minggu (19/4/2024) terpantau sepi. Suasana asri menjadi hal pertama yang saya tangkap. Kami berdua lalu menghampiri lelaki yang saat itu sedang menyapu. Kami berpikir dia adalah juru kunci (kuncen) makam. Ternyata kami salah. Kepada kami, ia mengaku hanya petugas kebersihan makam. Ia kemudian memberitahu kami nama penjaga makam.
Sebelum berlalu, saya beranjak memasukkan selembar uang ke dalam kotak infak yang ada di dekat gerbang makam. Setelah itu, saya dan Titu lanjut jalan untuk melihat-lihat area kompleks makam.
Makam Ki Ageng Gribig sebenarnya menjadi salah satu destinasi wisata religi yang ada di Kota Malang, selain Kelenteng Eng An Kiong yang terletak di pusat kota. Sesuai namanya, di kompleks makam ini memang terdapat kuburan Ki Ageng Gribig, tokoh penyebar Islam di Malang.
Diduga, Ki Ageng Gribig merupakan keturunan seorang kesatria bernama Menak Koncar dan berasal dari Mataram. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Saat itu, Kesultanan Mataram sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain, termasuk daerah Malang dan sekitarnya
Ki Ageng Gribig dikirim ke wilayah tersebut untuk menyebarkan agama Islam. Semula Ki Ageng Gribig ditugaskan di Pasuruan, lalu setelah itu pindah ke Malang—dulunya masuk wilayah Pasuruan. Adapun Kampung Gribig sendiri kemungkinan sudah eksis sejak zaman Majapahit di bawah pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Menurut Devan Firmansyah, pemerhati sejarah sekaligus penulis sejumlah buku tentang sejarah Malang Raya, menyebut identitas Ki Ageng Gribig di Malang cukup beragam. Ki Ageng Gribig disebut paman Sunan Giri, cucu Sunan Giri, cucu Raja Blambangan, atau cucu Untung Surapati.
Dari empat kemungkinan tersebut, Devan meyakini Ki Ageng Gribig di Malang bisa jadi merupakan cucu Raja Blambangan (Menak Koncar) atau cucu Untung Surapati. Namun, ia belum bersedia berkomentar lebih lanjut tentang hal ini. “Nanti tak jadikan buku dulu, Mbak, biar enak membacanya,” jawabnya melalui pesan Whatsapp kepada saya.
Ya, ia memang sedang menyusun buku tentang sejarah Ki Ageng Gribig untuk diterbitkan. Selain menjelaskan latar belakang Ki Ageng Gribig, Devan juga masih berusaha menghubungkan Ki Ageng Gribig Jatinom di Klaten dengan Ki Ageng Gribig di Malang.
“Ini yang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) saya. Kedua tokoh tersebut ada hubungan apa,” sambungnya.
Menelusuri Dua Bangunan Makam Utama
Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, saya dan Titu secara acak melihat-lihat berbagai makam yang ada di kompleks. Pandangan kami lalu tertuju pada sebuah bangunan yang mencolok mata dengan dominasi warna putih pada dinding dan sepasang daun pintu bercat hijau. Dilihat dari bentuk pintu dan dua jendela yang berukuran besar, sepertinya bangunan tersebut sudah berusia tua.
Sebuah foto Raden Adipati Ario Notodiningrat II terpajang di samping pintu. Ia adalah bupati kedua Malang yang memerintah mulai tahun 1839 hingga 1884. Saya pun akhirnya menyadari di dalam bangunan tersebut terdapat makam.
Berhubung pintunya tertutup, semula kami ragu-ragu untuk masuk. Saya bahkan mengintip dari jendela untuk melihat bagian dalam. Tak berselang lama, kami pun memutuskan masuk. Selain pusara sang bupati yang berhias gorden putih dengan kain kuning menutupi nisan, juga terdapat beberapa nisan kayu kerabat dekat sang bupati.
Kami tak lama berada di dalam. Selanjutnya kami kembali melihat sejumlah makam yang ada di bagian depan bangunan tersebut. Salah satunya adalah kuburan Raden Ario Soeroadikoesoemo yang wafat pada 28 Juni 1946. Sebagaimana tulisan yang terpasang di pagar makam, disebutkan bahwa ia merupakan seorang pensiunan patih di Malang.
Setelah mengamati dari dekat, kami langkahkan kaki menuju tempat lain. Tepat di belakang bangunan pertama, ada bangunan lain yang bentuknya serupa dengan sebelumnya. Kali ini, tempat yang hendak kami masuki adalah bangunan makam Raden Tumenggung Notodiningrat I alias Raden Pandji Wielasmorokusumo. Dialah bupati Malang pertama selama periode 1819–1839.
Dalam Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, dijelaskan bahwa kawasan Malang dahulu kala masuk dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta. Oleh karena itu, para bupati Malang yang memerintah masih terhitung keturunan Surakarta. Tidak mengherankan bila sejumlah bupati Malang pun mempunyai gelar khas bangsawan Jawa.
Untuk menuju makam Raden Tumenggung Notodiningrat, kami harus belok melewati jalan kecil yang berada di samping bangunan pertama. Sesuai yang tertera di papan penunjuk, jalan ini dinamakan Lorong Hening. Saya tak mengetahui alasan di balik penamaannya.
Sebelum memasuki bangunan tersebut, ada sejumlah makam yang terletak di sekitarnya, seperti pusara bupati Banyuwangi, KRT. Ario Notodiningrat yang wafat 6 November 1918, maupun makam Raden Toemenggoeng Ario Notodiningrat yang menjabat sebagai bupati Bondowoso.
Sama seperti kuburan Raden Adipati Ario Notodiningrat II, di bagian dalam bangunan juga terdapat sejumlah makam. Persisnya 25 makam kerabat terdekat bupati pertama Malang tersebut. Bentuk makam juga tak beda jauh dengan sebelumnya, dikelilingi gorden dan pada nisan ditutupi kain kuning.
Makam Utama yang Lebih Sederhana
Selanjutnya, kami menuju pesarean paling kesohor di kompleks makam ini, yaitu Ki Ageng Gribig. Ketika berjalan, mata saya tertuju pada bangunan terbuka berisi kuburan yang dikelilingi pagar putih. Papan nama terpasang di langit bangunan bertuliskan Pesarean Nyai Kanigoro (garwo Sayyid Sulaiman Mojoagung). Dalam bahasa Jawa, kata garwo kurang lebih bermakna istri.
Nyai Kanigoro sendiri merupakan putri dari Ki Ageng Gribig. Ia dipersunting Sayyid Sulaiman, salah satu tokoh penyebar Islam di Jawa Timur. Kuburan Nyai Kanigoro berada tepat di depan makam Ki Ageng Gribig.
Dibandingkan dengan dua bangunan awal yang kami masuki, bangunan makam Ki Ageng Gribig terlihat lebih sederhana. Menurut saya, bangunannya menyerupai langgar (musala) kecil dengan dua pintu. Ketika hendak masuk, saya dan Titu harus mengurungkan niat karena kedua pintunya terkunci. Berhubung tak bisa masuk, kami pun memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil menikmati kompleks makam yang asri dan rimbun. Bagi saya, kondisinya lebih mirip kebun raya.
Referensi
Aminudin, M. (2023, 26 Maret). Menilik Makam Ki Ageng Gribig, Tokoh Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6638958/menilik-makam-ki-ageng-gribig-tokoh-penyebar-islam-di-malang.
Aminudin, M. (2023, 27 Maret). Asal-usul Ki Ageng Gribig Sosok Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6640618/asal-usul-ki-ageng-gribig-sosok-penyebar-islam-di-malang.
Anggraeni, P. (2018, 12 September). Masjid An-Nur Celaket; Dibangun Keturunan Sunan Gunung Jati, Saksi Penyebaran Islam di Malang. Diakses pada 24 Mei 2024 dari https://jatimtimes.com/baca/178841/20180912/081400/masjid-annur-celaket-dibangun-keturunan-sunan-gunung-jati-saksi-penyebaran-islam-di-malang.
Mahmudan. (2024, 1 April). Ternyata Begini Sejarah Ki Ageng Gribig, Babat Alas dan Jadi Penyebar Islam di Malang Timur. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://radarmalang.jawapos.com/sosok/814502434/ternyata-begini-sejarah-ki-ageng-gribig-babat-alas-dan-jadi-penyebar-islam-di-malang-timur?page=2.
Widodo, D. I. (2006). Malang Tempo Doeloe. Malang: Bayumedia Publishing.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.