“Loh, kok tanggal 29–30? Katanya kemarin tanggal 30–31 acaranya. Gimana sih ini Novita?” gumamku dalam hati. 

Pesan masuk yang berisikan rundown acara “Ngaji Ekologi: Penghayatan Dampak Lingkungan Pesisir” dari Novita waktu itu membuatku sebal. Tanggal yang diberitahukan Novita di akhir bulan kemarin berbeda dengan yang ada di rundown acara tersebut. Novita adalah salah satu pemrakarsa Laboratorium Teknik Apung (Labtek Apung) yang  gerakannya peduli dengan isu-isu lingkungan.

Labtek Apung lahir dari Lokakarya Citizen Science di Tanah Rendah, bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta pada 2017. Intervensi muncul dari sebuah eksperimen, yaitu interpretasi ulang sebuah rakit tempat masyarakat berkumpul untuk mencuci baju, piring, hingga aktivitas buang air besar menjadi sebuah laboratorium teknik yang mengapung di Sungai Ciliwung. Tidak hanya menyuarakan kualitas sungai yang sangat buruk, tetapi juga membuat sungai menyampaikan keprihatinannya dalam bahasa mereka sendiri. Laboratorium berfungsi sebagai tempat mendemonstrasikan penelitian dan ilmu pengetahuan warga.

Sebagai suatu kolektif transdisipliner yang beranggotakan seorang antropolog, ahli kimia, praktisi air bersih dan sanitasi, seniman, dan arsitek, sejak 2021 Labtek Apung melakukan eksplorasi tentang lingkungan di wilayah Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi. Labtek Apung menggandeng masyarakat lokal dan profesional lainnya untuk membaca dampak kerusakan lingkungan yang tidak hanya terpusat pada manusia, tetapi juga makhluk hidup nonmanusia; serta kemungkinan-kemungkinan untuk membayangkan masa depan yang berbeda.

Salah satu perhatian di Muaragembong adalah tingkat salinitas tinggi yang mendorong berbagai eksperimen multidisipliner, seperti pengujian cemaran pada sumber air, pembuatan prototipe desalinasi sederhana, dan eksplorasi artistik indikator tingkat salinitas. Pada akhir 2023, Labtek Apung telah menyelenggarakan lokakarya Kerabat Lama (nonhuman kins) bersama ahli biologi primata dan anak-anak sekolah dasar setempat sebagai satu langkah pertama penghayatan (immersion) dunia multispesies di Muaragembong.

Dan dari 2021 itu aku beberapa kali mengikuti kegiatan Labtek Apung. Bukan sebagai volunteer atau peserta, melainkan hanya ikut jalan-jalannya saja.

Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
Kapal Cahaya Abadi bersandar di pelabuhan nelayan Cilincing, Jakarta Utara/Daan Andraan

Perjalanan Tak Mudah Menuju Muaragembong

Sebagai penikmat jalan jalan, Muaragembong bukanlah tempat eksotis ataupun serpihan surga yang jatuh di bumi. Bahkan bukan pilihan warganet untuk menghiasi linimasa media sosial mereka. Namun, tetap kumasukkan ke daftar keinginan tempat yang harus dikunjungi minimal sekali dalam seumur hidup.

Muaragembong terdiri enam desa: Jayasakti, Pantai Harapan jaya, Pantai Sederhana, Pantai Bahagia, Pantai Bakti, dan Pantai Mekar. Ada lima desa dengan nama pantai, karena memang sebagian besar wilayah Muaragembong ada di pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

Kegiatan yang dilaksanakan Labtek Apung dan ITB bertempat di Kampung Muara Beting, Desa Pantai Bahagia. Di tahun 1980-an, kampung ini dijuluki “Kampung Dollar” karena hasil laut yang melimpah dan menghasilkan pundi-pundi uang bagi para nelayan. Kemudian pada 1990-an, tambak-tambak udang dan bandeng mulai menjadi sumber mata pencaharian menggiurkan karena hasilnya.

Akan tetapi, pada tahun 2000-an terjadi ancaman abrasi laut dan penurunan muka tanah. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak dan permukiman di Desa Pantai Bahagia, yang melenyapkan tiga kampung lain dan merusak tambak nelayan. 

Pesan dari Novita kembali masuk. Isinya menyarankan kepadaku menggunakan transportasi laut saja untuk ke Muaragembong.

Karena kesalahan komunikasi, aku tidak bisa pergi bersama Novita dan suaminya. Sementara, transportasi umum menuju Muaragembong sangatlah susah. Mobil mikrobus Isuzu Elf menjadi satu-satunya transportasi darat menuju Muaragembong. Itu pun berangkat dari Cikarang hanya sehari sekali. Total waktu dari Jakarta ke Muaragembong dengan jarak 70 km bisa sampai lima jam, jika keadaan lalu lintas normal.

Melewati jalur laut menjadi pilihan lainnya. Nugroho Febrianto, seorang pegiat media sosial, pernah mengunggah perjalanannya ke Muaragembong menggunakan perahu bermotor di akun Youtube miliknya. 

Bersumber itu aku memulai hari sepagi mungkin untuk mengejar jadwal keberangkatan kapal. Dari Stasiun Gondangdia, aku transit di Stasiun Kota menuju Stasiun Tanjung Priok. Setelah 15 menit menggunakan ojek daring, pukul 09.30 aku sampai di pelabuhan nelayan Kali Cakung Drain, Cilincing.

Teguran seorang bapak membuyarkan kebingunganku. Ia bertanya padaku, “Mau kemana, Mas?”

“Kalau ke Muara Bendera naik kapal yang mana, ya, Pak?” Sang bapak menunjuk ke kapal kayu yang di haluannya bertuliskan “Cahaya Abadi”. Ia menambahkan, “Tapi berangkatnya nanti, jam 10-an.”

  • Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
  • Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
  • Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong

Ada beberapa perahu kayu yang tertambat di turap beton berbentuk seperti tangga. Tampak beberapa orang menaikkan tong-tong plastik biru ke atas kapal Cahaya Abadi.

“Pak, nanti saya bisa diturunin di Dermaga Beting, gak, Pak?” tanyaku ke sang bapak, yang akhirnya kuketahui bernama Pak Maksudi dan juga nakhoda dari kapal Cahaya Abadi.

Gak sampe sono, kapal yang ke Beting nanti berangkat yang jam 2,” jawab Pak Maksudi. Beliau pun menyarankan untuk turun di lokasi yang aku lupa namanya.

Jaringan seluler di Muaragembong sangatlah buruk. Oleh karena itu aku langsung menghubungi Novita dan memberitahukan lokasi tempat aku turun dan perkiraan waktu tiba di sana. 

Kapal pun berangkat dari Cilincing pukul 10.30. Dari total kapasitas 25 orang, kapal hanya diisi delapan orang penumpang: tiga pemancing, tiga pedagang, seorang warga lokal, dan aku sendiri.

Pak Maksudi bercerita, usaha angkutan penumpang yang dia jalani sekarang sepi. Tidak seperti 10 tahun yang lalu. Untuk mengakali besarnya biaya bensin, beliau juga membuka jasa antar barang. Makanya di kapalnya memuat tong-tong biru berisi solar dan es balok pesanan dari para pengepul ikan dan nelayan di Muara Bendera.

Setelah hampir satu setengah jam berlayar di laut, kapal kayu kami memasuki mulut Sungai Citarum yang alirannya meliuk-liuk di Muaragembong. Butuh waktu sejam bagi Pak Maksudi dan anak buah kapalnya (ABK) menurunkan muatan pesanan es balok ke rumah-rumah pengepul ikan, yang berdiri di kiri-kanan Sungai Citarum.

Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
Dermaga sederhana di jalur sungai yang vital untuk masyarakat Kampung Beting Muaragembong/Daan Andraan

Merenungi Manfaat Ekologi dengan Pendekatan Religi

Sesampainya di rumah Mak Unah di Kampung Beting, tempat berkumpulnya teman teman dari Labtek Apung dan ITB, aku mengecek aplikasi pencatat jarak. Tertulis jarak 22,07 km dan waktu tempuh 2 jam 54 menit 34 detik. Angka-angka yang tidak akan kudapati kalau menggunakan transportasi darat. Setelah beristirahat secukupnya, aku dan rombongan menuju Masjid Salapiyah Al-Huda tempat Ngaji Ekologi diadakan.

Udara lembap khas pesisir, bekas jalur ban di jalan tanah kering, halaman rumah yang sebagian tanahnya masih basah akibat genangan banjir rob, pohon mati mengering karena tingkat salinitas di tanah yang tinggi, tambak-tambak yang sudah tidak produktif, hingga pemakaman umum yang nisannya hilang tergerus rob menjadi pemandangan sepanjang jalan menuju masjid. Namun, hamparan pohon bakau pun terlihat hijau memadat di lahan-lahan bekas tambak yang menghadap ke laut. Menandakan kesadaran akan konservasi telah terbangun.

Ada satu lagi pemandangan yang sangat jarang ditemui di daerah Bekasi dan Jakarta pada umumnya. Anak anak di sini bermain dengan mainan yang mereka buat atau yang sudah ada. Tidak terlihat mereka memegang handphone untuk memainkan permainan daring. Jaringan seluler sangat susah, bahkan di beberapa tempat tidak terdapat sinyal sama sekali.

Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
Para jemaah menyimak ceramah Kiai Abdullah Wong di Masjid Salapiyah Al-Huda/Daan Andraan

Acara Ngaji Ekologi dimulai pukul lima sore, dibuka dengan pembacaan ayat-ayat Alquran dan sambutan-sambutan. Kiai Abdullah Wong dari Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi NU) membawakan materi pengajian dengan bahasa sederhana. Ceramahnya mudah dimengerti para jemaah Masjid Salapiyah Al-Huda, Kampung Beting, yang sebagian besar adalah nelayan dan keluarganya.

Ulama sekaligus budayawan itu menekankan, untuk mendapatkan Ar-Rahman (kasih) dan Ar-Rahim (sayang) dari Allah Swt, maka kita juga harus menyebarkan Rahman dan Rahim tersebut ke sekitar kita. Bukan hanya ke sesama manusia, melainkan juga alam lingkungan tempat tinggal kita.

Memahami ekologi dengan pendekatan religius yang diadakan oleh Labtek Apung dan ITB di Kampung Beting ini adalah sebuah ikhtiar mencari keseimbangan harmonis antara kemanusiaan dan alam semesta. Agama mengajarkan manusia untuk harmonis dengan lingkungan atau alam. Agama juga melarang umatnya untuk merusak keseimbangan alam dan menjaga lingkungan sekitarnya. Gerakan seperti ini dikenal dengan banyak nama, seperti Green Religion, Greener Faith, Eco-Theology, Green Islam, Environmental Ethics, dan Religious Environmentalist.

Sementara Buya Hamka membangun istilah “eco-sufisme” di dalam bukunya Tafsir al-Azhar. Eco-sufisme ini didorong oleh masalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh paradigma antroposentris. Menurut Hamka, alam semesta seharusnya menambah kepercayaan kepada Allah sebagai Tuhan yang Esa. Hamka berusaha membangun paradigma tentang pelestarian lingkungan melalui penafsiran ayat-ayat Alquran.

Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
Warga setempat melintasi jalanan kampung dengan sepeda motor/Daan Andraan

Hari itu acara ditutup dengan diskusi bersama Labtek Apung ITB dan warga Kampung Beting. Sebelum itu kami buka bersama terlebih dahulu dilanjutkan salat Magrib berjemaah.

Menjelang kepulangan ke Jakarta, Mak Unah menyuguhkan kami makan malam. Menunya ayam bekakak, pepes bandeng, udang goreng hasil tambak, sayur, dan buah-buahan. Bahkan kami pun mencicipi dodol pidada. Kuliner olahan dari daging buah pohon pidada—sejenis pohon bakau—dicampur dengan gula putih.

Sambil menikmati sepiring nasi panas dan seekor udang galah jumbo, pikiranku melayang-layang pada kondisi-kondisi menyulitkan di sini. Mengingat susahnya jaringan seluler, abrasi, banjir rob, air tanah yang terasa asin, bank keliling yang menggerogoti kehidupan bermasyarakat, sampai dengan masalah bukti kepemilikan tanah di wilayah Desa Pantai Bahagia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar