Bertolak dari Osaka, saya menempuh perjalanan selama 35 menit dengan kereta api menuju kota Nara untuk mengunjungi Nara Park yang terkenal dengan rusa-rusa liar yang katanya sangat jinak.
Sesampainya di Stasiun Nara, saya mencuri dengar pertanyaan dari rombongan turis asing yang menghampiri seorang petugas di sana, “Di mana Nara Park?” dan “Bagaimana cara menuju ke Nara Park?” Kemudian, saya membuntuti mereka berjalan menuju bis yang salah satu pemberhentian utamanya adalah Nara Park.
Dalam kurang lebih 10 menit perjalanan, mulailah nampak segelintir rusa yang duduk-duduk dan menyeberang jalan di zebra cross sambil diawasi seorang penjaga. Tak salah lagi, pasti saya sudah sampai Nara Park yang menjadi destinasi incaran utama para turis lokal dan mancanegara.
Nara Park adalah salah satu taman nasional tertua di Jepang yang didirikan tahun 1880 yang merupakan habitat rusa dengan populasi melebihi 1200 ekor. Semua berawal dari kedatangan dewa petir Takemikazuchi ke Nara yang bertujuan memberikan perlindungan untuk pembangunan ibu kota baru di sana. Dengan menunggangi rusa putih, ia tiba di kaki gunung Wakakusa, di mana Nara Park kini terletak di kaki gunung tersebut. Dengan keberadaan Takemikazuchi sebagai pelindung kota dan rusa putih miliknya, rusa-rusa lain yang tinggal di sana dianggap sakral selama berabad-abad.
Bahkan, hingga tahun 1637, pernah terjadi pemberlakuan hukuman mati bila salah satu dari rusa sakral ini dibunuh. Setelah Perang Dunia II, mereka sudah resmi tidak dianggap sakral lagi, namun masih tergolong hewan yang dilindungi negara. Barangsiapa yang menyakiti atau membunuhnya akan ditempatkan di balik jeruji bila terbukti bersalah.
Secara garis besar, taman nasional seluas 6 hektar ini terdiri dari pertokoan, taman dengan hamparan rumput hijau luas beserta Sarusawa Pond, kolam yang dihuni kura-kura dan ikan, 3 kuil besar yakni Kuil Todaiji, Kuil Kofukuji dan Kuil Kasuga, dan National Treasure Museum yang memamerkan karya-karya seni Budha. Tidak ada biaya masuk untuk mengelilingi Nara Park, kecuali bila hendak memasuki kuil-kuilnya dengan tarif yang dimulai dari 500 Yen atau Rp66.000.
Dipayungi landasan hukum yang kuat, rusa-rusa ini senantiasa hidup nyaman dan tenteram. Hal ini mempengaruhi ketenangan mereka diantara lautan manusia setiap harinya tanpa merasa terancam.
Menariknya, mereka begitu jinak bagaikan hewan peliharaan. Seekor rusa yang saya usap-usap kepala dan punggungnya nampak sangat menikmati sambil memejamkan mata, seolah-olah melarang saya untuk berhenti. Ia pun tak canggung ketika diajak foto bersama.
Memberi makan hewan-hewan berkaki empat ini adalah kegiatan yang paling digemari. Mereka dengan sangat berani dan percaya diri mendekati para pengunjung untuk minta makanan. Beberapa diantaranya bahkan sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Pada umumnya, mereka berkeliaran di sekitar pertokoan dan taman.
Supaya kesehatan mereka tetap terjaga di tengah gempuran “jajanan”, pihak pengurus Nara Park menyediakan konter-konter penjualan biskuit yang dibuat khusus rusa, atau shika senbei, yang dibanderol seharga 150 Yen atau Rp20.000 per 10 keping. Dengan bahan utama tepung gandum dan bekatul tanpa tambahan gula, biskuit ini lebih aman untuk pencernaan rusa.
Sejinak-jinaknya rusa di sana, ingatlah bahwa mereka tetap saja hewan liar. Interaksi dengan “penduduk tetap” di taman nasional tersebut bukannya selalu lancar tanpa masalah.
Keagresifan mereka terhadap makanan adalah salah satu hal yang harus diwaspadai. Ketika sedang asyik-asyiknya memberi makan kawanan rusa, tiba-tiba saya kehabisan biskuit dan meninggalkan lokasi. Namun rupanya saya masih saja dibuntuti salah satu rusa yang menagih jatahnya sambil menyundul saya dari belakang dengan moncongnya.
Kejadian lain yang saya saksikan adalah seekor rusa yang mendadak menyerbu brosur yang terjatuh dari tangan seorang turis Tiongkok. Setelah sempat terjadi perebutan brosur antara turis dan rusa, akhirnya sang penjaga langsung menyuruh rusa melepas brosur itu dan pergi. Selain memberi rasa nyaman turis tersebut, sang penjaga juga harus melarang rusa makan brosur supaya tidak sakit perut.
Tentunya, apa yang saya lihat dan alami tidak termasuk berbahaya, bahkan menimbulkan gelak tawa bagi yang melihatnya. Namun, terdapat beberapa insiden lain di mana rusa yang tadinya baik-baik, tiba-tiba saja melakukan penyerangan. Lelucon dengan cara memancing perhatian rusa dengan biskuit yang tidak jadi diberikan merupakan salah satu tindakan yang membuat mereka kesal, marah, dan akhirnya menggigit.
Segelintir kasus memang tidak membuat kunjungan ke Nara Park berkurang, namun tetap saja harus diantisipasi. Maka, di salah satu sisi taman terdapat papan peringatan dengan ilustrasi yang menggambarkan contoh-contoh tindakan rusa yang tak terduga dan berpotensi membahayakan, misalnya menggigit, menyeruduk, dan menendang.
Menurut pengamatan saya, walaupun rusa-rusa ini berkeliaran di mana-mana sesuka hati, sebetulnya mereka sudah tahu betul batas teritorinya. Ketika saya melewati Nandaimon Gate, gerbang utama Kuil Todaiji yang sudah diakui sebagai warisan dunia UNESCO, beberapa rusa hanya duduk santai di depan gerbang tanpa berusaha mengikuti saya masuk kuil. Bahkan, rusa lain yang tadinya mengikuti saya pada akhirnya berputar balik ke wilayahnya sendiri setelah sadar saya memasuki gerbang kuil.
Yang membuat Nara Park unik dan berkesan adalah rusa-rusa tersebut dapat lalu-lalang dengan bebasnya di depan toko cindera mata, kedai-kedai camilan, taman tanpa pagar pembatas apapun, bahkan menyeberang jalan di tengah kota. Melihat tingkah lucu mereka selama berinteraksi dengan manusia juga membuat pikiran saya tenang dan terhibur. Tentunya hal ini harus diikuti dengan pemahaman mengenai batasan-batasan dan antisipasi dalam menghadapi perilaku hewan liar yang terkadang tidak terduga.
Rasa kepemilikan dan kesadaran tinggi dari masyarakat Jepang dalam pelestarian rusa yang sudah menjadi ikon pariwisata kota Nara membuat Nara Park tetap menjadi habitat yang aman bagi hewan berkaki empat tersebut, bahkan setelah status kesakralannya sudah tidak disematkan lagi. Faktor pendukung yang tak kalah pentingnya untuk melindungi keberlangsungan hidup rusa adalah ketegasan pemerintah dalam menindak secara hukum bagi pelanggar.
Pengalaman saya memberi makan rusa di Indonesia adalah ketika saya mengunjungi Taman Rusa di Monas, yang hanya bisa dilakukan dari luar dan itu pun hanya seekor rusa yang benar-benar berani mendekati saya. Ketika memasuki area taman, kawanan rusa di sana sayangnya perlahan menjauh dari saya. Rupanya mereka hanya berani terhadap petugas yang membersihkan taman dan memberi makan secara rutin.
Di Indonesia, pemandangan yang serupa seperti di Nara Park tak akan bisa terwujud dalam waktu dekat. Insiden-insiden yang tak diinginkan, misalnya perdagangan ilegal rusa di Istana Bogor yang beberapa kali terjadi oleh oknum tertentu dan melibatkan orang dalam, serta sikap penduduk sekitar yang masih suka mengganggu dan menangkap hewan liar, baik untuk kesenangan pribadi maupun dijual, adalah cerminan masih rendahnya kesadaran akan pelestarian satwa yang berkelanjutan dan lemahnya pengawasan pemerintah dalam penegakan hukum.
Mengubah pola pikir, kesadaran dan kebiasaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam segi pariwisata, saya mengapresiasi kebijakan Taman Safari Indonesia dalam mengizinkan pengunjung untuk memberi makan hewan liar yang tidak dikandang karena bukan sekedar memberi nilai lebih dalam arti menghibur, namun dapat meningkatkan interaksi dan rasa sayang terhadap hewan, walaupun pengunjung tetap dianjurkan berada di dalam kendaraan.
Keberadaan komunitas pecinta hewan dan penampungan hewan (animal shelter) yang sudah mengalami peningkatan daripada tahun-tahun sebelumnya diharapkan mampu memberikan edukasi yang konsisten kepada masyarakat diluar sana, misalnya melalui media sosial, supaya mereka yang awalnya acuh tak acuh menjadi sadar bahwa hewan pun punya hak untuk hidup nyaman dan tentram layaknya manusia. Dengan peningkatan kinerja pemerintah dalam penegakkan hukum, pastinya hal tersebut lebih mudah terwujud di kemudian hari.
Dengan meningkatkan kepedulian pemerintah dan dasar hukum yang kuat, tentunya hal itu dapat semuanya lebih muda. Pada akhirnya, masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk mewujudkan keselarasan hidup antara manusia dan hewan
Karyawan swasta merangkap travel blogger.