INTERVAL

Naik Gunung demi Validasi Media Sosial, Tren Wisata yang Luput dari Perkiraan Pakar Tahun Ini

Dilansir Kementerian Pariwisata Republik Indonesia (21/12/2024),1 tren pariwisata 2025 diperkirakan masih sejalan dengan tren yang berkembang sepanjang 2023–2024. Tahun ini, para ahli memprediksi terjadi peningkatan minat wisatawan terhadap cultural immersion (pengalaman budaya yang mendalam) hingga 58,97%. Kemudian 56,41% ahli menyatakan health and wellness tourism (wisata kesehatan dan kebugaran fisik dan mental) akan mengalami kenaikan tren, begitu pun kesadaran akan ecotourism atau wisata ramah lingkungan, yang diyakini masih relevan untuk tahun ini.

Di sisi lain, para ahli juga memperkirakan aktivitas luar ruang (outdoor), seperti kegiatan petualangan di hutan, pegunungan, danau, dan pesisir pantai, akan jadi favorit turis, baik domestik maupun mancanegara. Namun, dari sekian daftar tersebut, ada satu tren wisata kekinian yang mungkin luput dari perkiraan dan perhatian pakar, tetapi sangat membahayakan diri sendiri dan pihak lain: naik gunung karena sindrom fear out missing out (FOMO) akut demi pengakuan media sosial. 

FOMO adalah istilah unik yang diketahui muncul sejak 2004 untuk menggambarkan fenomena keterikatan yang bermasalah dengan media sosial—Facebook, Instagram, X (dulu Twitter), dan sejenisnya. Sejumlah peneliti mengungkap temuan dampak FOMO terhadap kesehatan fisik dan mental, gangguan perkembangan saraf, hingga produktivitas dan kesejahteraan kerja, sehingga membutuhkan pengobatan klinis dan psikologis.2

Beragam insiden di jalur pendakian gunung-gunung populer di Indonesia, baik yang berakibat fatal maupun tidak, antara yang bikin elus-elus dada hingga garuk-garuk kepala, memvalidasi betapa mengerikannya tren naik gunung karena FOMO atau sekadar memberi asupan konten untuk beranda media sosial pribadi. Bukannya dapat tenang dan senang, justru malah cari masalah.

Naik Gunung demi Validasi Media Sosial, Tren Wisata yang Luput dari Perkiraan Pakar Tahun Ini
Ramainya pendaki di Pos 2 Gunung Merbabu via Suwanting. Seperti Gunung Prau, Gunung Merbabu laris diserbu pendaki, terutama saat akhir pekan, karena menawarkan pemandangan yang lebih terbuka dibanding gunung-gunung lainnya/Rifqy Faiza Rahman

Keliaran media sosial yang butuh kebijaksanaan pengguna

Pendakian gunung adalah salah satu kegiatan yang, bisa dibilang, paling banyak peminat berkategori FOMO. Kegiatan luar ruang ekstrem yang tidak dihadapi dengan persiapan dan perencanaan matang, serta pengetahuan memadai seputar teknis pendakian, justru bisa mengancam nyawa pendaki itu sendiri.

Pertengahan Juli lalu, terjadi sebuah peristiwa menggelitik sekaligus memprihatinkan karena sudah terjadi berkali-kali. Belasan atau (mungkin) puluhan pendaki sedang berjuang melawan gigil di Gunung Prau via jalur Patak Banteng, Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Mereka duduk dan berbaring meringkuk di sekitar selter tanpa dinding, berselimut emergency blanket, sebuah lembaran tipis berbahan alumunium untuk menghalau angin kencang dan suhu dingin. Tampaknya sebagian besar merupakan pendaki tektok. Tektok adalah sebuah teknik pendakian naik dan turun dalam satu hari yang sama, tanpa menginap (camp).

Cuaca gunung dengan ketinggian puncak 2.565 meter di atas permukaan laut (mdpl) hari itu (13/7/2025) barangkali di luar prediksi kebanyakan pendaki. Sebab, mungkin saja sejak berangkat mereka telah berekspektasi matahari terbit merona, langit membiru, pemandangan sekeliling bersih tanpa selimut kabut, sehingga memenuhi harapan untuk mengisi memori kamera gawai yang dibawa. Padahal, BMKG jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti kemarau tahun ini lebih basah. Dataran Tinggi Dieng, yang saat kemarau terkenal beku, makin menusuk kulit ditambah suhu rendah karena cuaca buruk.

Peningkatan tren naik gunung rupanya menjalar bagai serasah kering yang disulut minyak dan bara api. Saking demikian cepatnya, sampai-sampai esensi pendakian itu pun mengabur. Gunung-gunung yang dulunya sepi dan damai, mendadak ramai bak pasar. Apalagi gunung-gunung favorit di Jawa Tengah seperti Prau, Merbabu, Andong, Telomoyo; atau di Jawa Timur macam Penanggungan hingga Butak. Media sosial disinyalir jadi salah satu faktor utama yang memengaruhi alasan seseorang naik gunung.

Saya pun tergelitik setiap kali beberapa konten para pemengaruh (influencer) pendakian gunung muncul di beranda media sosial, khususnya Instagram. Saya tidak terlalu aktif di TikTok, tetapi mungkin situasi yang sama akan saya temukan juga.

Rasa gelitik tersebut berkelindan dengan keresahan yang membuat saya terbenam pada perasaan yang membingungkan. Bayangkan, sebuah konten viral hanya karena elemen visual, mengundang penontonnya mengikuti jejak yang sama. Padahal terkadang di dalam konten tersebut minim informasi seputar medan dan kontur jalur pendakian, cuaca yang sulit diprediksi, ketersediaan sumber air, alur penanganan kejadian darurat, dan sebagainya. Acapkali pembuat konten cenderung mengabaikan bahwa tidak semua pengikut atau penonton video-video perjalanannya memiliki ketahanan fisik dan kelengkapan peralatan yang sama seperti dirinya.

Haus akan perhatian atau pengakuan di media sosial membuat seseorang terkadang melakukan tindakan di luar nalar, dan bukan tidak mungkin terdorong untuk membuat pencapaian melebihi konten apa pun yang sudah ia lihat. Bahkan menerobos aturan-aturan formal yang berlaku.

Contoh riil yang baru-baru ini terjadi di antaranya ulah sejumlah pendaki yang mendaki Gunung Barujari, sebuah gunung berapi aktif di kawasan Segara Anak, Taman Nasional Gunung Rinjani dan terlarang untuk didaki karena berbahaya (12/7/2025). Sementara beberapa waktu sebelumnya di Jawa Tengah, sejumlah remaja mendaki secara ilegal di jalur pendakian Gunung Merapi via Selo, Boyolali (15/6/2025). Padahal Gunung Merapi berstatus Siaga (Level III) dan tertutup untuk pendakian umum sejak 2018. Dan yang membuat saya tidak habis pikir, bisa-bisanya mereka dengan percaya diri memamerkan “pencapaian” tersebut di media sosial, yang kemudian dengan mudahnya otoritas berwenang menghukum mereka dengan sanksi denda dan kegiatan sosial, hingga masuk daftar hitam larangan mendaki untuk beberapa tahun.

Mungkin, jika mereka tidak sampai latah bikin kiriman di media sosial, orang-orang tak akan tahu, mereka aman dari hukuman. Tapi persoalannya bukan itu. Ini adalah soal etika, wawasan, dan kesadaran yang terkubur di bawah rasa ingin dianggap hebat dan anti-mainstream. Sungguh tak ada tujuan berarti selain hanya karena ingin ‘memberi makan’ beranda media sosial mereka.

Yang tidak disadari dari polah seperti itu, ialah marabahaya yang mengintai. Entah itu jatuh ke jurang, hipotermia, kelaparan, atau luka-luka karena terjungkal ke batuan saat berjalan. Ketika semua—potensi musibah—sudah telanjur terjadi tanpa sempat diantisipasi, di situlah penyesalan baru benar-benar hadir. Yang repot pun akhirnya teman-teman relawan dan tim SAR, yang seyogianya sedang menikmati masa istirahat meskipun tetap bersiaga.

Banyaknya insiden yang menimpa pendaki bisa jadi karena adanya pengabaian terhadap aspek-aspek yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan perjalanan atau pendakian. Pengaruh media sosial, terutama dari bujuk rayu visual yang “instagramable” dan narasi bombastis—bahkan cenderung berlebihan—dari pemilik konten (umumnya selebritas medsos atau influencer yang memiliki puluhan hingga jutaan pengikut), rawan menjerumuskan audiens pada keputusan berisiko tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul. 

Mahajan dkk (2024)3 menyebut setidaknya “ethical consideration” (pertimbangan etis) harus dibenamkan dalam pikiran seorang pengguna media sosial dari beberapa konten yang dilihat dan berseliweran, sebelum akhirnya membuat keputusan final ke manakah dan bagaimana ia akan pergi ke suatu tempat yang dipilih untuk berwisata—atau dalam hal ini naik gunung yang benar-benar menjadi sesuatu yang baru dan buta bagi seorang calon pendaki. Sebab, untuk saat ini tidak bisa dimungkiri, media sosial menjadi salah satu cara seseorang mencari informasi.

Lebih lanjut Mahajan dkk mengatakan, pertimbangan etis sangat penting untuk melihat seberapa jauh seorang pembuat konten atau pemengaruh (influencer) memiliki rasa tanggung jawab pada perjalanan, pendakian gunung, dan konten yang dihasilkan di media sosial. Narasi yang dibentuk dalam teks dan visual, seyogianya memuat ajakan kepada para pengikut agar menghormati masyarakat lokal dan destinasi wisata alam yang dikunjungi. 

Maka para pengikut pun diharapkan bisa memahami, betapa sebuah perjalanan atau pendakian gunung tidak semudah yang terlihat di layar gawai. Bukankah pulang dengan selamat jauh lebih penting daripada sekadar mengejar puncak?

FOMO boleh, asal jangan sembrono

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Vinda Maya Setianingrum, dalam pernyataannya kepada Humas Unesa (7/4/2024),4 membeberkan lima solusi menarik agar seorang pegiat media sosial tidak terlalu tenggelam dalam perasaan FOMO, yang bisa sangat menyita waktu dan pikiran, bahkan membuat kita terputus dari realitas. 

Pertama, mengatur pembatasan penggunaan media sosial per harinya. Kedua, mengubah fokus ketergantungan pada gawai menjadi kegiatan yang lebih menuntut tubuh aktif bergerak, agar tidak kelelahan atau depresi karena radiasi media sosial. Ketiga, mencari lingkaran pertemanan yang positif dan suportif di luar rutinitas yang menjemukan.

Keempat, mengubah orientasi FOMO menjadi JOMO (joy of missing out), yakni sebuah perasaan senang, rileks, dan tidak perlu takut ketinggalan informasi yang dirasa tidak penting atau sekadar viral belaka. Terakhir, selalu bersyukur, percaya diri, berdamai, dan menerima apa yang kita miliki saat ini, tanpa harus merasa repot-repot untuk iri pada pencapaian orang lain. 

Menurut saya, cara-cara yang diungkap Vinda tersebut bisa juga berlaku bagi calon pendaki gunung, agar tidak latah “potong kompas” mengejar puncak-puncak gunung tanpa persiapan memadai. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, tidak ada satu pun yang bisa menjadi pembatas konkret tentang apa yang sebaiknya boleh dilakukan atau sebaliknya, kecuali menumbuhkan kesadaran dalam diri sendiri. 

Seberapa mampu kita membatasi ego diri? Seberapa besar sebuah keinginan itu murni karena kita benar-benar ingin dan memiliki landasan atau alasan kuat, alih-alih karena ikut-ikutan semata?

Tidak ada yang salah untuk menjadi pemula dan memulai sebuah kesenangan baru—jika memang gunung menjadi candu di masa mendatang. Sebelum 3.000 mdpl, masih ada 2.000 mdpl. Sebelum 2.000 mdpl, masih ada 1.000 mdpl. Namun, jauh sebelum itu, fisik, menumbuhkan budaya literasi melalui riset dan observasi wawasan seputar pendakian gunung, serta kemauan berinvestasi pada perlengkapan yang sesuai standar keamanan dan kenyamanan, menempati daftar teratas yang harus disiapkan terlebih dahulu sebelum melangkah melewati pintu rimba.


  1. Kementerian Pariwisata, “Outlook Pariwisata: Melihat Tren Pariwisata Ke Depan Menurut Para Ahli”, Desember 21, 2024, https://kemenpar.go.id/berita/outlook-pariwisata-melihat-tren-pariwisata-ke-depan-menurut-para-ahli. ↩︎
  2. Mayank Gupta & Aditya Sharma, “Fear of Missing Out: A Brief Overview of Origin, Theoretical Underpinnings and Relationship with Mental Health”, World Journal of Clinical Cases, 2021 Jul 6;9(19):4881–4889, doi: 10.12998/wjcc.v9.i19.4881. ↩︎
  3. Prachi Mahajan, Bharti Gupta, & Sarath Chandrakanth Pedapalli, “How Does Social Media Influence Tourist Behavior? A Conceptual Framework for Exploration”, International Journal of Tourism & Hospitality Reviews, 1(t24/1), 01–08, https://doi.org/10.18510/ijthr.2024_t24_01. ↩︎
  4. Nelly, “The Negative Impact of FOMO and Tips for Overcoming It from a UNESA Lecturer”, Humas Unesa, April 7, 2024, https://en.unesa.ac.id/dampak-negatif-fomo-dan-kiat-mengatasinya-ala-dosen-unesa ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Pesan buat Para Pendaki Gunung