Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi pemimpin Lembaga Orthopedi dan Prothese. Sempat pula ia menjadi penggerak berdirinya Yayasan Koperasi Harapan. Atas usahanya yang ulet, daerah aktivitasnya pun semakin luas.
Dua tahun setelahnya, yakni 1957, ia mendirikan sheltered workshop penyandang disabilitas prothese di Surakarta. Di situ tidak hanya membuat alat-alat saja, tetapi juga menampung para kaum difabel, yang nantinya mereka diberi kesempatan bekerja dan melatih diri sesuai kemampuan masing-masing. Upaya tersebut menunjukkan Prof. Dr. Soeharso telah berbuat baik bagi psikologi mereka, sehingga mereka akan merasa masih berguna dan layak untuk hidup. Pada tahun 1962, Prof. Dr. Soeharso juga merintis pendirian Yayasan Pembina Olahraga Penderita Cacat (YPOC)1. Sesuai dengan namanya, yayasan itu digunakan untuk mendidik dan memberi latihan olahraga bagi para individu difabel agar badannya sehat.
Tidak berhenti di situ, tahun 1967 didirikan juga Yayasan Balai Penampungan Penderita Paraplegia di Surakarta. Hampir bersamaan, pada tahun 1968 didirikan pula Dana Skoliosis Resser di Surakarta yang diketuai Prof. Dr. Soeharso. Selain aktif di bidang kesehatan, Prof. Dr. Soeharso juga aktif di bidang kebudayaan dan kesenian Jawa2.
Begitulah beberapa andil perjuangan Prof. Dr. Soeharso yang sangat berguna bagi masyarakat. Tentu masih banyak lagi jasa lainnya yang belum saya sebutkan di sini.

Diorama Kebudayaan Boyolali
Selanjutnya diorama budaya yang ada di Boyolali juga ditampilkan. Misalnya, tradisi ngalap berkah apem kukus keong mas di Pengging, Banyudono, dan tradisi sedekah gunung di Lencoh, Selo.
Selain itu, ada juga cagar budaya yang ada di daerah saya, Cepogo, yang belum lama dibuatkan dioramanya di museum, yakni Candi Lawang, Candi Sari, dan Pesanggrahan Pracimoharjo. Cagar budaya lainnya adalah Loji Papak di Juwangi dan Umbul Pengging di Banyudono.
Di samping itu, tak hanya diorama, terdapat juga peninggalan-peninggalan lain yang ditampilkan di lantai satu, seperti foto-foto bupati Boyolali dari masa R. Hamong Wardoyo dan seterusnya. Ada juga arsip foto sejarah Presiden Sukarno dan Soeharto yang pernah datang ke Boyolali, koleksi batuan klasik pindahan dari Rumah Arca di Taman Sono Kridanggo—yang digusur menjadi pom bensin—kereta kencana, meriam, keris, beberapa pusaka peninggalan Pakubuwono X, dan masih banyak lagi peninggalan bersejarah lainnya.
Ketika saya dan Abdul Rochim naik ke lantai dua, kami melewati lorong berbentuk spiral untuk mencapainya. Di sini tersaji arsip foto-foto bersejarah di Boyolali pada tembok lorong, yang menemani perjalanan pengunjung agar tak bosan sekaligus menambah pengetahuan. Ketika kami mencapai lantai dua yang beratap kaca itu, ternyata ruangan seperti auditorium itu kosong. Setelah itu, kami bergegas turun menemui Mas Pepi untuk mengobrol di bagian registrasi.
Sejarah Berdirinya Museum R. Hamong Wardoyo
Atas ide dari bupati ke-23 Boyolali Seno Samodro, tahun 2015 didirikan museum pertama di atas lahan bekas gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boyolali. Operasional pertama pada awal 2016.
“Alasan Pak Seno mendirikan museum itu apa, Mas?” tanya saya.
“Bapak Seno itu punya ide untuk memperkenalkan Boyolali ke masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun [masyarakat] luar Boyolali, bahwa di sini itu ada museum yang bisa memperkenalkan Boyolali,” ujar Mas Pepi.
Banyak yang menyebut bentuk bangunan ini mirip Museum Louvre di Paris. Jadi, sejarahnya, sebelum jadi bupati Pak Seno pernah bekerja menjadi koresponden beberapa media cetak Indonesia di Prancis, seperti Bola, Merdeka, dan GO. Maklum jika bekerja di Prancis, karena ia adalah lulusan Sastra Prancis UGM. Meski menamatkan kuliah selama 7,5 tahun, siapa sangka dialah yang menjadi pelopor berdirinya museum pertama di Boyolali. Ia kembali ke Indonesia tahun 20003.
“Setelah pulang ke Boyolali [Bapak Seno itu] punya angan-angan [kurang lebih], ‘Oh, suk ning Boyolali tak buatkan museum seperti yang ada di Paris, Prancis’, begitu,” ungkap Mas Pepi.
Begitulah alasan mengapa Museum R. Hamong Wardoyo mirip Museum Louvre di Paris, Prancis. Adapun nama R. Hamong Wardoyo diambil dari bupati ke-10 yang memimpin Boyolali pada 1947.

Rencana Selanjutnya di Lantai dua
Ternyata, lantai dua itu walaupun kosong tetap digunakan untuk kegiatan pertemuan, sarasehan, atau peminjaman tempat dari orang luar. “Mungkin ke depannya kami buatkan bioskop mini,” ungkap Mas Pepi.
Ia juga menambahkan, “Ada rencana mau minta file Joglo Wisata tentang terjadinya proses erupsi Merapi untuk dibawa ke sini. Ada juga rencana film tentang asal usul Boyolali,” tambahnya.
“Di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Boyolali itu ada film dokumenter tentang Boyolali, Pak. Mungkin bisa dikoordinasikan,” celetuk saya.
Walaupun lantai dua dari atap kaca, tetapi ada rencana pembuatan bioskop mini itu. Tentu harus ada desain pembuatan ruang khusus agar cahaya dari luar yang tembus melalui atap kaca itu tidak masuk ke ruang bioskop mini. Entah nantinya terlaksana atau tidak, tentu hal itu menjadi nilai plus sebagai daya tarik wisatawan.
Selain itu, beberapa orang tentu ada yang memiliki gaya belajar audiovisual. Jika memang rencana itu terealisasi, misal kurang memahami bagian museum di lantai satu, mereka tentu dapat merasakan dampaknya melalui media bioskop mini di lantai dua, sehingga pesan-pesan sejarah, budaya, dan pembelajaran pada benda-benda mati itu bisa tersampaikan kepada para pengunjung.
Sarana Pembelajaran Masyarakat dan Bekal Pulang
“Kalau outing class itu giliran, Mas. Sering. Misal minggu ini dari sekolah A, [kemudian] besok sekolah B. Makanya mereka itu kalau berkunjung kirim surat dulu yang isinya akan berkunjung hari apa, tanggal berapa, dan jumlah siswa berapa, gitu,” jawab Mas Pepi menyambung pertanyaan-pertanyaan saya sebelumnya.
Museum ini tentu menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat luas. Tidak hanya mereka yang bersekolah saja, tetapi juga bagi semua kalangan, baik di wilayah Boyolali maupun luar Boyolali.
Dari anak sekolah, seringnya yang berkunjung adalah anak-anak PAUD, TK, SD, dan SMP. Kalau anak SMA biasanya ke sini untuk tugas video kelompok atau individu. Bertepatan juga dengan Kurikulum Merdeka yang memiliki P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), yaitu program yang ada kegiatan di luar kelasnya. Tentu pada saat guru memilih tema kearifan lokal, para siswa bisa diajak berkunjung ke Museum R. Hamong Wardoyo agar lebih mengenali Boyolali dan sejarahnya.
Mas Pepi mengungkapkan, kalau yang berkunjung itu tidak hanya sekolah di Boyolali saja, melainkan dari luar Boyolali juga, seperti pengunjung umum. Ramainya museum terjadi pada masa liburan atau tanggal merah. Sementara anak sekolah, selain kegiatan outing class tadi, biasa berkunjung sepulang sekolah.
Namun, ada juga ironisnya. “Kalau untuk pengunjung umum harian itu masih sepi. Sampai sehari tidak ada pengunjung itu sering,” kata Mas Pepi.
Saya pun agak heran karena ada hari-hari tanpa kunjungan itu. Kemudian saya tanyakan harapan Mas Pepi dari museum ini. “Harapannya, ya, semoga banyak orang berkunjung ke museum. Intinya, ya, meningkatnya wisatawan yang pergi ke Boyolali, khususnya ke Museum Hamong Wardoyo, [agar] mereka mengenal lebih dalam tentang sejarah atau apa yang ada di Kabupaten Boyolali, yang masyarakat [sekitar dan luar] belum tahu tentang sebagian kecilnya,” pungkasnya.
Saya lantas mengucap terima kasih dan membawa bekal pulang ‘pertanyaan’ dari perkataan Mas Pepi sebelum memungkasi wawancara itu. “Apakah museum ini perlu menjelma bupati ke-10 Boyolali itu sebagai manusia hidup lagi untuk berteriak dikunjungi supaya sehari-harinya tidak sepi?”
- Pada nama lembaga bagian ‘Penderita Cacat’ alangkah baiknya diganti cara membaca/pada saat Anda menulis (misal bukan sejarah nama lembaga yang paten) dengan Difabel, Kaum Difabel, Penyandang Disabilitas, atau Kaum Penyandang Disabilitas seperti yang tertulis dalam Arif Maftuhin, “Difabel dan Penyandang Disabilitas”, Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga, September 2014, http://pld.uin-suka.ac.id/2014/09/difabel-dan-penyandang-disabilitas.html. ↩︎
- Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎
- Taufiq, “Mengenal Lebih Dekat Seno Samodro: Membuat Boyolali Tersenyum dengan Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi di Indonesia”, Kagama.co, 5 November, 2018, https://kagama.co/2018/11/05/mengenal-lebih-dekat-seno-samodro-membuat-boyolali-tersenyum-dengan-pertumbuhan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia/3/. ↩︎
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.