TRAVELOG

Museum Pertama di Boyolali (1)

Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi?

Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan sebutan Kota Susu, Boyolali kini tampak lebih maju. Salah satu kemajuan itu terlihat dari berdirinya museum pertama bernama Museum R. Hamong Wardoyo.

Cuti bersama Tahun Baru Imlek (28/1/2025) memancing hasrat saya untuk pergi bermain di kota sendiri. Awan kelabu yang terlihat menggumpal di Cepogo, daerah saya yang terletak di lereng Gunung Merapi, tak mengurungkan niat saya untuk mengunjungi Museum R. Hamong Wardoyo.

“Ayo, jadi apa tidak? Tapi mendung cuacanya,” ajak Abdul Rochim, teman saya dalam bahasa Jawa.

“Oke, gas! Santai, bagian kota tampak cerah. Otw (dalam perjalanan ke) rumahmu,” celetuk saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Tampak depan Museum R. Hamong Wardoyo Boyolali/Danang Nugroho

Perjalanan ke Museum

Seperti biasanya, daerah pegunungan memang lebih sering mendung dan hujan, tetapi tidak dengan daerah perkotaan. Sebab, dataran pegunungan lebih tinggi, sehingga saya bisa melihat cuaca di dataran rendah yang lebih cerah. Sinyal hijau cuaca di daerah bawah akhirnya mengantarkan kami bergegas menuju museum.

Kami mengendarai sepeda motor ke museum. Jarak dari Cepogo cuma 12 km, hanya memakan waktu 20 menit perjalanan. Lokasi museum terletak di Jl. Pandanaran No. 19, Tegalmulyo, Siswodipuran, Boyolali, Jawa Tengah. Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan masuk ke bangunan yang mirip dengan Museum Louvre di Rive Droite Seine, arondisemen pertama di Paris, Prancis. Museum ini berbentuk segi enam dan atap dari kaca serupa piramida.

Kami mengisi daftar hadir. Tidak ada biaya masuk alias gratis. Tampak beberapa wisatawan yang berkunjung hari ini. Pada saat pengisian itu, saya sempat mengobrol sejenak dengan penjaga museum bernama Farid Purnomo atau akrab disapa Mas Pepi. Kami pun janjian untuk wawancara dengannya setelah mengitari museum.

Di dalam gedung museum, tampak lorong melingkar di lantai satu dan lorong spiral untuk naik ke lantai dua. Kami menelusuri bagian bawah terlebih dahulu.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang mengisi daftar hadir disaksikan Mas Pepi/Danang Nugroho

Cerita Rakyat tentang Asal Usul Nama Boyolali

Awalnya kami disuguhkan sebuah diorama seorang bekas bupati Semarang pada abad XVI, Ki Ageng Pandan Arang atau yang lebih dikenal dengan nama Tumenggung Notoprojo—ada juga yang menyebutnya Sunan Tembayat—yang sedang beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai. Konon, ia diramalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai wali penutup menggantikan Syekh Siti Jenar. Hal itu berkaitan dengan sejarah nama Boyolali.

Menurut cerita rakyat yang hidup di sini, Ki Ageng Pandan Arang kala itu terkenal dengan wataknya yang suka pada harta dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, berkat dakwah Sunan Kalijaga, ia disadarkan akan sangkan paraning dumadi, sehingga ia dengan tulus ikhlas meninggalkan harta, jabatan, dan kedudukannya di Semarang. Sunan Kalijaga menugaskannya pergi ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten, untuk syiar agama Islam diikuti istri dan anak.

Selama perjalanan sufi tersebut, ia mengalami berbagai rintangan dan ujian. Ia berjalan cukup jauh meninggalkan istri dan anak—yang tertinggal karena tergoda harta dunia dan belum ikhlas untuk meninggalkan. Sambil menunggu anak dan istrinya, Ki Ageng Pandan Arang beristirahat di atas batu besar yang berada di tengah sungai (sekarang belakang Gedung Sonosudoro Theater). Dalam istirahat dan penantiannya itu, ia berucap, “Boya wis lali wong iki (sudah lupakah orang ini?”. Dari ucapan itu maka jadilah nama ‘Boyolali’. 

Perjalanan sufi Ki Ageng Pandan Arang berlanjut ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten. Ketika sang istri atau Nyi Ageng dan anaknya sampai di batu tersebut dan mengetahui kalau sang suami sudah tidak ada, Nyi Ageng berkata, “Kiai, boya wis lali aku teko ninggal wae.” Kemudian mereka menyusul Ki Ageng Pandan Arang.

Begitulah cerita rakyat singkat yang masih hidup tentang asal usul nama Boyolali. Kabupaten Boyolali berdiri pada 5 Juni 1847, ditandai dengan surya sengkala “Kas Wareng Woh Mojo Tunggal.” Nama Boyolali diambil dari rangkaian kata “Boya” dan “Lali” yang berarti jangan lupa; selanjutnya menjadi semboyan rakyat Boyolali, terutama para pemimpin-pemimpin di sini untuk selalu patuh, taat, penuh rasa tanggung jawab, serta penuh kewaspadaan dalam melaksanakan tugasnya1. “Sungguh, sejarah nama yang menampar diri bagi para pemimpin untuk selalu berkontemplasi,” batin saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang membaca desskripsi diorama Asal Mula Kabupaten Boyolali/Danang Nugroho

Diorama Erupsi Merapi dan Pahlawan Nasional dari Boyolali

Perjalanan kami menelusuri museum berlanjut. Sejajar dengan diorama Ki Ageng Pandan Arang tadi, terdapat diorama-diorama lain yang memperlihatkan tragedi, perjuangan, budaya, dan cagar budaya yang ada di Boyolali. Tentang tragedi, museum menampilkan diorama erupsi Gunung Merapi. Mengapa terdapat diorama tragedi erupsi Gunung Merapi?

Boyolali terletak di lereng gunung Merapi, sehingga ketika erupsi besar terjadi, kami juga terkena dampaknya. Periode 3000—250 tahun yang lalu, Gunung Merapi tercatat mengalami sekitar 33 letusan, dengan letusan terparah pada 4 Agustus 1672. Kemudian abad ke-19 merupakan periode Merapi baru. Waktu itu tercatat 80 kali letusan pada tahun 1768, 1822, 1849, dan 1872. Setelahnya, Merapi mengalami letusan lagi pada tahun 1930, 1954, 1961, 1998, 2001, 2006, 2010, 20212, dan 2024.

Semasa kecil, saya pernah mengalami letusan hebat saat 2010. Kala itu saya yang berada di Cepogo diguyur abu vulkanik yang begitu tebal, sehingga perlu mengungsi ke daerah yang lebih aman.

Terdapat sebutan aktivitas vulkanik pada Gunung Merapi yang masih saya ingat hingga kini, yakni wedhus gembel. Penamaan wedhus gembel diartikan sebagai awan panas yang keluar saat erupsi terjadi. Wedhus gembel dalam bahasa Indonesia berarti ‘kambing atau domba berbulu gimbal’, selaras dengan visualisasi awan panas yang keluar bergumpal-gumpal berwarna abu-abu keputihan seperti bulu domba. Hingga kini, Merapi masih aktif mengeluarkan guguran lava dan ditetapkan statusnya menjadi Siaga.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama erupsi Gunung Merapi/Danang Nugroho

Sementara di kaki Gunung Merbabu, lahir seorang anak laki-laki bernama Soeharso pada 13 Mei 1912 di Desa Kembang, Ampel, Boyolali. Anak itu kelak menjadi salah satu pejuang kesehatan dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Perjuangan Prof. dr. R. Soeharso menjadi salah satu diorama yang ditampilkan di museum.

Soeharso memiliki enam saudara. Di keluarganya, Soeharso termasuk anak yang cerdas. Pada masa itu, masih sedikit sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Sebab, Indonesia masih dalam masa penjajahan dan keculasan kolonial, yang sengaja membuat sebagian besar rakyat Indonesia untuk tetap bodoh agar Belanda tidak kesulitan untuk terus menjajah.

Hanya di kota-kota besar saja ada sekolah. Soeharso harus pergi ke Salatiga untuk menempuh pendidikan dengan jalan kaki. Sebuah keberuntungan ia bisa diterima di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Salatiga. Singkat cerita, selama menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga sarjana, Soeharso dapat menunjukkan hasil yang memuaskan tanpa pernah tinggal kelas sampai meraih gelar profesor. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, Prof. dr. R. Soeharso mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan bekerja di bidang kesehatan.

Soeharso merupakan perintis dan perencana Rehabilitasi Centrum (RC) di Sala—Solo atau Surakarta sekarang—untuk menampung penyandang disabilitas akibat perang. Pada 1945 Soeharso mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Surakarta dan menjadi pemimpin gerak cepat di garis depan Ambarawa dan Mranggen. Sekitar tahun 1945–1946, banyak pemuda yang kehilangan anggota tubuhnya dan menjadi penyandang disabilitas. Pada waktu itu, Soeharso dan Soeroto Reksopranoto sebagai tenaga teknik dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Jebres Surakarta mulai melakukan percobaan dalam menghasilkan tangan dan kaki tiruan.

Saat terjadi Agresi Militer Belanda I dan II (1947–1949), Soeharso memimpin pasukan gerak cepat PMI Cabang Surakarta. Tugasnya makin berat, karena ia juga menjadi dokter Palang Merah di Sukoharjo. Selama beberapa tahun tiada henti Soeharso berjuang untuk mengobati penyandang disabilitas. Karena jumlah penyandang bertambah, akhirnya didirikan rumah sakit darurat yang terletak di belakang RSUP Jebres.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama perjuangan Prof. dr. R. Soeharso/Danang Nugroho

Sesudah tanggal 28 Agustus 1951, Rehabilitasi Centrum untuk pertama kalinya diperkenalkan ke masyarakat umum. Kemudian pada tahun 1953, Soeharso berhasil pula mendirikan Rehabilitasi Centrum (Rumah Sakit Ortopedi) di Surakarta hingga mendapat perhatian dari dunia internasional atas usahanya dalam bidang kesehatan.

Di bawah dukungannya, 10 cabang Yayasan Anak-anak Penyandang Disabilitas dapat didirikan. Masih di Surakarta, Soeharso juga mendirikan Sheltered Workshop Foundation dr. Soeharso3. Usahanya untuk memelihara dan merawat anak-anak penyandang disabilitas belum usai, tetapi masih ada kelanjutan kegiatan lainnya.

(Bersambung)


  1. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Boyolali, “Laporan Akhir Identifikasi dan Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Boyolali Tahun 2020”, BI-SMART Boyolali, https://bi-smart.boyolali.go.id/uploads/riset/2020/rekomendasi_riset/a2730bfd0663f7ae4ed145c6b974f102.pdf. ↩︎
  2. Fathur Rachman, “Riwayat Letusan Gunung Merapi, Paling Parah Tahun 1930”, Tempo.co, 30 November, 2022, https://www.tempo.co/politik/riwayat-letusan-gunung-merapi-paling-parah-tahun-1930-244552. ↩︎
  3. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Danang Nugroho

Danang Nugroho, lahir 2004 di Boyolali. Kini sedang menempuh pendidikan di Jogja. Suka berkelana serta menikmatinya. Dapat dihubungi via instagram @danang.kulo_real atau email [email protected].

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *