Masa-masa mudik lebaran telah tiba. Teman-temanku, khususnya yang merayakan Hari Raya Idul Fitri, sedang bersiap untuk segera pulang ke daerah asal masing-masing.
Aku sendiri tidak pulang ke kampung halaman, meskipun kuliah libur selama tiga minggu. Liburan begini, tiket ke NTT kemungkinan mahal—dan kenyataannya memang demikian. Maka, untuk mengisi waktu, aku memilih untuk melakukan perjalanan ke tempat lain. Bolehlah dibilang mudik, meskipun bukan ke kampung sendiri.
Kota yang kupilih adalah Semarang. Tanggal 31 Mei 2019 kemarin, aku “mudik bareng” ke Ibu Kota Jawa Tengah itu bersama sahabat dekatku, Mersi Kelen. Kami ke sana naik skuter Mio yang dipinjamkan seorang kawan yang mudik ke Sulawesi.
Dengan bekal nasi dan mi goreng yang sudah dipersiapkan dari jam 4 pagi, kami berangkat dari Jogja selewat jam 5. Karena baru kali ini naik motor ke Semarang, kami mengandalkan Google Maps untuk navigasi.
Perjalanan lumayan lancar. Jam 5.15 kami sudah masuk Magelang dan singgah sebentar di pom bensin. Hawa masih begitu dingin. Meskipun sudah melengkapi diri dengan jaket, masker, dan sarung tangan, dingin masih tetap saja menerobos ke badan. Aku jadi sering bersin-bersin. Tapi tak mengapa. Perjalanan ini seru. Apalagi sepanjang perjalanan ke Semarang kami beberapa kali berpapasan dengan rombongan-rombongan yang mudik lebaran “beneran.”
Sekitar jam 7.30 kami tiba di Ambarawa. Mumpung di Ambarawa, kami sempatkan diri untuk mampir ziarah ke Patung Bunda Maria Assumpta. Lucunya, entah kenapa, susah sekali untuk ke sana. Meskipun sudah mengikuti Maps, kami toh nyasar juga. Mungkin memang belum rezeki. Tapi, saat sudah putar balik untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang, tiba-tiba Mersi menepuk pundakku dan menunjuk spanduk bergambar patung Bunda Maria serta arah jalannya.
Setelah mengikut arah di spanduk, akhirnya kami tiba juga di Patung Bunda Maria. Lama kami di sana—foto-foto, makan pagi, keliling-keliling menelusuri tempat doa, dan berdoa pada Bunda Maria. Lalu, setelah jarum jam menunjuk 9.30, kami kembali melaju di jalanan.
Kumpul bareng teman-teman sekampung di kampung orang
Aku dan Mersi tiba di Semarang sekitar tengah hari. Selama di Kota Lumpia, kami akan menginap di kos saudari sepupuku. Namun, alih-alih langsung ke tempat sepupuku, kami mampir dulu ke Lawang Sewu. Seru sekali rasanya menelusuri ruang demi ruang yang ada di bangunan bersejarah dari zaman baheula itu.
Selepas dari Lawang Sewu, kami melanjutkan perjalanan ke kos sepupuku yang cuma terpaut sekitar 27 km dari sana. Akhirnya, kami bisa istirahat.
Kos sepupuku menjadi ramai selepas berbuka puasa. Kerabat dan teman sekampung mulai berdatangan. Lalu, aku dan Mersi diajak ke Tugu Muda. Di sana kami nongkrong, foto-foto, dan bercengkerama. Gembira sekali rasanya bisa berkumpul dengan kerabat dan teman di perantauan. Malam terasa jadi tak begitu dingin, hiruk-pikuk kota jadi terasa tidak begitu menjengkelkan.
Tak terasa sudah jam 1 pagi. Enggan rasanya untuk pulang. Namun, berhubung kami sudah menyusun rencana untuk menelusuri beberapa tempat wisata di Semarang esok hari, kami pun menyudahi pertemuan.
Menelusuri tempat-tempat menarik di Semarang
Satu hari berlalu begitu cepatnya. Matahari pun kembali datang membawa hari baru, Sabtu yang indah. Ketika alarm ponsel berbunyi jam 8 pagi, kami bergegas bangun dan bersiap-siap untuk ke Ungaran, ke tempat kaka sepupuku. Dari sana, kami akan ke Eling Bening di Ambarawa.
Eling Bening memang sedang ngehits. Dari tempat ini kamu bisa berenang di kolam atau menyantap hidangan lezat di restoran sambil mengangumi keindahan alam. Kabar baiknya, kamu hanya perlu membayar Rp20.000/orang untuk menebus tiket.
Karena letaknya agak jauh dari Semarang, perjalanan ke Eling Bening lumayan lama. Tapi rasa capek karena perjalanan itu mendadak hilang begitu mataku menyaksikan pemandangan indah di sana—persawahan hijau dan gunung-gunung yang menjulang. Kami betah sekali di sana dan baru pulang ke Semarang menjelang tengah hari.
Keesokan harinya, Minggu, 2 Juni 2019, kami mampir ke Grand Maerakaca dan Kelenteng Sam Poo Kong.
Grand Maerakaca atau Kampung Laut terpaut sekitar 27 menit dari Semarang. Tempat ini tenar karena punya banyak spot instagenik. Selain itu di sini kamu juga bisa naik perahu keliling danau atau jalan kaki menelusuri hutan bakau.
Dari Grand Maerakaca, kami ke Kelenteng Sam Poo Kong. Seru sekali foto-foto di sini, sebab nuansa bangunannya yang kental budaya Tionghoa sangat unik dan menarik untuk dijadikan latar. Di sini kami sempat foto-foto bareng dengan orang-orang yang mengenakan baju khas Tionghoa.
Malam harinya kami mampir ke Kota Lama Semarang yang penuh bangunan tua. Suasananya mengingatkanku pada kawasan Malioboro yang selalu ramai oleh wisatawan.
Dari Kota Lama, kami pindah ke CitraGrand yang penuh anak muda dan anggota klub motor. Ramai sekali. Menariknya, di sini ada semacam lapangan rumput yang indah tempat para pengunjung bisa duduk-duduk santai dan tentu saja foto-foto. Kami nongkrong di CitraGrand sampai larut malam.
Kembali ke Yogyakarta
Keesokan harinya kami kembali ke Yogyakarta, setelah menghabiskan waktu 4 hari 3 malam di Semarang. Berat rasanya berpisah dengan para kerabat dan teman—pengobat rindu terhadap kampung halaman—yang menemani kami selama di Semarang.
Meskipun singkat, liburan mudik lebaran kali ini sangat menyenangkan. Sampai sekarang pun aku masih belum bisa move on dari suasana serta pemandangan indah di destinasi-destinasi wisata yang sempat kami datangi di Semarang.
Tahun depan, semisal kamu tak bisa mudik, mungkin kamu juga bisa coba caraku: mudik lebaran ke kampung orang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berasal dari Lewotala, Flores Timur, NTT. Sedang studi di Universitas Amikom Yogyakarta. Suka menari, memotret, dan mengisi liburan dengan jalan-jalan.