Rinduku pada Sumba adalah rindu pelukan hangat ayah dan ibu; rindu senyuman manis yang selalu menjadi penyemangat hidup untuk terus melangkah meraih mimpi dan bahagia. Corona menjawab rinduku pada Sumba.
Awal tahun 2020, dunia berduka oleh kemunculan wabah baru yang lalu tenar sebagai COVID-19. Tak perlu waktu lama sampai angka orang yang terpapar dan meninggal meningkat, termasuk di Indonesiaku tercinta ini.
Sejak 16 Maret 2020, kampus libur karena corona. Dalam pengumuman resmi, libur disebut berlangsung selama dua minggu. Namun, karena statistik corona meningkat terus dari hari ke hari, libur diperpanjang sampai 29 Mei—lalu kuliah digeser ke dunia maya.
Peningkatan kasus corona di Pulau Jawa, khususnya Jogja, membuat orang-orang panik. Warung-warung mulai tutup, orang-orang takut keluar rumah. Di Sumba, orangtua dan kakak-kakakku juga ikut khawatir. Setiap hari mereka telepon dan suruh aku pulang ke rumah di Sumba Timur—mungkin mereka khawatir jika stok makananku habis karena warung-warung tutup. Terlebih setelah kuberi tahu bahwa teman-teman kos sudah pada mudik.
Lalu, berhubung kampus sudah menerapkan kuliah daring, tanggal 26 Maret aku dikirimkan tiket pesawat untuk pulang. Aku akan transit dua kali dalam perjalanan pulang ke rumah via udara itu. Tanggal 27 Maret aku akan terbang dari Jogja ke Surabaya. Keesokan harinya, 28 Maret, aku berangkat dari Surabaya ke Kupang, baru kemudian terbang ke Sumba Timur.
Sebelum berangkat, kupersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk menjalankan protokol kesehatan. Masker steril, misalnya. Mencari masker steril susah, sebab saat itu benda itu tidak dijual sembarangan. Jangankan di supermarket, di apotek saja susah menemukan masker steril. Aku baru mendapatkannya setelah singgah di empat K24 di Jogja, di apotek sekitar Jalan Janti. Untuk membelinya, ternyata aku mesti mengunduh sebuah aplikasi. Setelah menyebutkan kode dalam aplikasi itu baru aku dilayani. Sudah begitu, aku hanya boleh beli satu paket berisi lima masker (Rp10.000), tisu basah, tisu kering, dan cairan pembersih tangan.
Jam 7 malam tanggal 27 Maret, aku pun akhirnya mengantre check-in di bandara. Malam itu ramai dan aku yang paling terakhir melapor masuk. Maka terjadilah drama perdebatan dengan petugas yang melayani pelaporan. Pasalnya, pihak bandara memberi tahu bahwa pesawatnya sudah hendak berangkat. Aku tak bisa lagi masuk. Hanguslah tiket Jogja-Surabaya itu.
Untuk tetap berangkat pulang ke rumah hari itu, aku harus naik kereta api atau bus ke Surabaya. Aku pilih naik bus. Lalu dari bandara aku ke terminal. Jam 9.45 malam aku tiba di terminal dan, beruntungnya, masih ada bus. Lima belas menit kemudian, jam 10 malam, bus itu berangkat. Aku tiba di Surabaya jam 5 pagi dan langsung naik Grab ke bandara. Sampai di bandara, pas jam 5.15, aku langsung antre lapor-masuk. Setelah urusan beres, aku ke kamar mandi, bersih-bersih dahulu sebelum take-off menuju Kupang. Dari Surabaya ke Kupang 2 jam; Kupang ke Sumba Timur 45 menit.
Begitu mendarat di Sumba, terasa sekali ada yang beda dengan pulang kampung kali ini. Turun dari pesawat aku langsung melapor dan mengisi lembaran tentang kesehatan pribadi. Menuju rumah pun—aku dijemput kakak pertamaku—aku tidak langsung dibawa ke rumah. Aku dibawa dulu ke rumah paman untuk mandi air hangat dan ramuan obat-obatan alami—bawang merah, bawang putih, daun serai wangi, dan lainnya—untuk mengantisipasi penularan virus corona. Selesai bersih-bersih baru ke rumah. Sampai rumah, ada duka: opaku meninggal dunia. Tapi hanya dua jam aku di rumah sebelum dibawa lagi ke rumah tanteku.
Aku karantina mandiri di sana selama 14 hari dan benar-benar tidak keluar rumah.
Setelah karantina mandiri selama 14 hari
Setelah karantina mandiri selama dua minggu, hari ke-16 di tanah kelahiran aku akhirnya keluar rumah untuk jumpa sahabat-sahabat SMP-ku, yakni Vini Alfernia Rambu, Dhyan Bale, dan Adik Oni.
Niatnya, kami ke Pantai Walakiri. Tapi, karena pantai tersebut tutup sementara akibat corona, kami ganti arah ke pantai lain yang matahari terbenamnya tenar, yang di garis pantainya ada batu karang besar serta pohon-pohon cemara, yaitu Pantai Lie. Pantai Lie berada di Laipori, sekitar 35 menit dari rumahku. Pantai itu bersih. Masuk ke sana juga gratis. Jadilah kami duduk-duduk santai di atas batu karang, di bawah pohon cemara, sembari cerita-cerita mengulang memori masa SMP. Sambil menikmati matahari terbenam, tentunya.
Lepas itu, sekali-sekali aku juga keluar rumah. Di bawah ini adalah catatan-catatan soal jalan-jalanku selama di kampung halamanku, Sumba Timur:
18 April 2020
Aku kembali ke Pantai Walakiri. Masih tutup memang, tapi aku bisa masuk karena rumah suami kakak pertamaku persis di pinggir pantai berpasir putih itu. Aku menghabiskan waktu di sana menikmati suasana pantai sambil mendengar lagu dan melihat matahari terbenam. (Banyak yang bilang matahari terbenam terbaik di Sumba ada di Walakiri.)
Di pantai itu ada warung atau lopo. Bisa pesan makanan laut segar dengan harga yang tidak terlalu mahal di sana. Tapi hari itu warung tutup sehingga aku tak bisa mencoba makanan khas di pantai tersebut. Sekitar dua minggu kemudian, 5 Mei, aku kembali ke sana untuk mandi di laut mengilangkan penat.
10 Mei 2020
Aku mampir ke tempat wisata yang terpaut hanya 25 menit perjalanan berkendara dari rumah. Tempat yang sedang hits itu bernama Bukit Tenau. Cantik memang. Banyak wisatawan dan warga lokal, termasuk aku, yang tidak mau ketinggalan berpose “ala-ala” menggunakan kain tenun ikat khas Sumba dengan latar belakang bukit dan senja seperti yang lazim diunggah di media sosial. Setelah berpose, kami menikmati makanan ringan yang kami bawa, sambil mendengar lagu dan menikmati matahari terbenam dan angin sepoi-sepoi.
Masuk Bukit Tenau juga gratis. Syaratnya pun hanya membawa kembali sampah plastik dari camilan atau makanan yang dibawa ke tempat itu. Saking terpesonanya dengan Bukit Tenau, lusanya, 12 Mei, aku ke sana lagi untuk menenangkan hati dan pikiran.
13 Juni 2020
Aku ke Danau Cemara Laipori yang berada tidak jauh dari Pantai Lie. Bisa ditebak, di danau itu banyak pohon cemara. Suasana sejuk. Angin semilir membuat daun-daun tajam cemara bergemerisik. Andai saja tak banyak pengunjung yang membuang sampah di sana, Danau Cemara Laipori pastilah akan kelihatan tanpa cela.
15 Juni 2020
Aku pergi ke Bukit Piarakuku. Setelah 15 Juni, aku sempat dua kali lagi ke Bukit Piarakuku, yakni tanggal 26 Juni dan 12 Juli. Waktu itu, tempat itu masih ditutup untuk umum, sebab masih masa pandemi. Namun, kami bisa masuk setelah minta izin kepada warga setempat.
Sama seperti Bukit Tenau, Piarakuku juga jadi tempat foto “ala-ala.” Sabananya luas, bukit-bukitnya enak dipandang mata. Tapi aku ke sana untuk melihat matahari terbenam. Entah kenapa aku suka sekali melihat matahari terbenam. Dan itulah yang menjadi tujuan utamaku berwisata.
10 Juli 2020
Tanggal 10 Juli 2020, aku pergi ke Air Terjun Tanggedu. Kami berangkat berenam dari Waingapu. Dari Waingapu ke Tanggedu lumayan jauh, perlu perjalanan sekitar 3 jam. Meskipun perlu waktu lama untuk ke sana, aku betah-betah saja karena pemandangan sepanjang perjalanan sungguh menarik—aku jadi maklum kenapa banyak orang rela jauh-jauh ke tempat itu.
Dulu jalan menuju Tanggedu masih jelek. Tapi, waktu aku ke sana kemarin—puji Tuhan—jalannya sudah bagus. Sudah ada jembatan pula untuk menyeberang. Sebelum ada jembatan itu, orang-orang mesti parkir di tempat yang masih jauh dari air terjun. Sekarang parkiran sudah dekat sekali.
Air Terjun Tanggedu dikelilingi pegunungan dan batu-batu besar alami yang takpak seperti kapal. Kalau ingin lebih nyaman di air terjun, pemandu lokal siap sedia di sana untuk mengarahkan pengunjung.
24 Juli 2020
Aku pergi ke Pantai Puru Kambera. Tentu saja untuk menikmati matahari terbenam di sana. Yang membuat Puru Kambera menarik adalah sabana di jalan menuju pantai serta pohon-pohon cemara di pinggir laut.
26 Juli 2020
Tanggal 26 Juli aku mampir ke Pantai Kawangu. Di sana banyak nelaya. Orang-orang datang silih berganti mencari ikan segar. Pasir Pantai Kawangu hitam dan pesisirnya dipagari pohon bakau. Selain mencari ikan, banyak juga yang ke sana untuk berfoto bahkan mandi atau berenang.
Begitulah. Selama menanti pandemi berakhir, di rumahku, Sumba Timur, aku masih bisa pergi ke beberapa tempat wisata. Memang, rasanya ada yang berubah. Sekarang sebelum ke mana-mana aku harus memastikan banyak hal. Protokol kesehatan mesti dijalankan—menggunakan masker, membawa hand sanitizer, dan langsung bersih-bersih, mencuci pakaian, dan mandi begitu pulang. Mungkin akan begitu terus sampai pandemi ini berakhir dan dunia pulih.