Muda Mudi Mekko

Bangkit Muda Mudi Mekko bukanlah organisasi pertama yang berdiri di Mekko, namun merupakan kelanjutan dari organisasi sebelumnya yang selalu mengalami patah tumbuh. Hari ini jadi, minggu depan sudah bubar. Meskipun namanya muda-mudi, Bangkit Muda Mudi Mekko mewadahi segala usia, dan menjadi organisasi satu-satunya di Mekko yang berbasis warga Mekko. 

Awal perubahan Bangkit Muda Mudi Mekko mulanya dari yang hanya sekedar kelompok sepak bola dan pembantu warga, menjadi sebuah kelompok sadar wisata terjadi pada tahun 2016. 

Potensi Mekko sebagai tujuan wisata bahari dibangun atas pondasi wisata berbasis masyarakat. Dengan bantuan dari WWF, orang-orang dilatih untuk berkecimpung di pariwisata dan segala pelayanannya; menyediakan homestay, melayani tamu untuk berkeliling, pelatihan snorkeling, pembelajaran mengenai laut dan sumber dayanya, dan hal lainnya. Dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup orang Mekko melalui sadar wisata dan menjaga alam Mekko dari perubahan radikal yang merusak alam.

Pasir putih timbul di tengah laut yang menjadi objek wisata di Mekko
Pasir putih timbul di tengah laut yang menjadi objek wisata di Mekko/Arah Singgah

Sebelum pandemi COVID-19, penghasilan dari wisata di Mekko, terutama hari Sabtu–Minggu bisa mencapai 800 ribu per kapal dari puluhan kapal. Sekarang, karena masih masa pemulihan pasca pandemi, wisatawan yang datang tidak sebanyak dahulu. “Mudah-mudahan bisa kembali seperti asal,” harap Pak Bakri yang menahkodai Bangkit Muda Mudi Mekko.

“Seandainya kalau kami sebagai masyarakat Mekko dalam Bangkit ini dipercaya oleh pemerintah, apapun masalahnya, tolong libatkan Bangkit!” seru Pak Bakri berapi-api. Pak Bakri ingin Bangkit menjadi mitra dalam urusan kemaslahatan Mekko karena memang semuanya diisi oleh orang-orang Mekko.

Mekko akan maju kalau orang-orang di Mekko yang banyak dilibatkan
Pak Bakri bercerita Mekko akan maju kalau orang-orang di Mekko yang banyak dilibatkan/Tim Arah Singgah

Pak Bakri mengungkapkan berbagai rencana yang masih urung terwujud. Semisal, hutan-hutan bakau yang belum terjamah wisata ingin dikelola oleh Bangkit Muda Mudi Mekko, sebagai bentuk perluasan sektor wisata di Mekko. Tapi apa daya, setelah semua sudah diukur dan dipetakan bersama instansi terkait, janji tinggalah janji. Rencana itu terbengkalai. Muda Mudi Mekko yang ingin menuntaskan sendiri rencana itu pun susah karena keterbatasan dana.

Mereka pun punya niatan untuk menghijaukan bukit-bukit tandus yang mengelilingi Mekko. Namun, kendala-kendala di luar Mekko lah yang menyebabkan rencana ini urung terwujud.

Mekko dikelilingi oleh bukit-bukit yang tandus
Mekko dikelilingi oleh bukit-bukit yang tandus/Tim Arah Singgah

Pada suatu hari, dalam suatu rapat di aula sekda, Pak Bakri pernah dengan lantang menyebut semua instansi yang datang ke Mekko hanya untuk membual saja. Suasana menjadi panas. Untungnya, Pak Bakri masih bisa menahan diri sambil dipeluk Romo Edu dari Larantuka untuk menenangkannya. Semuanya terdiam.

“Kalau dikatakan Indonesia itu merdeka, kami belum merasakan kemerdekaan itu. Apakah Mekko itu bukan berada di wilayah Kabupaten Flores Timur?”

Merdeka itu kota besar. Kota-kota kecil apalagi dusun. Jangankan untuk merdeka, makan sehari-hari saja masih susah. Merdeka itu tidak sama. Bagi dusun seperti Mekko; air dan listrik yang mengalir saja sudah bagian dari kemerdekaan yang hakiki. Bangkit Muda Mudi Mekko adalah sebuah simbol perlawanan pemuda melawan ketidakadilan di Mekko.

Pipa air dari Masjid
Pipa air dari Masjid/Arah Singgah

Air sekarang melimpah di Mekko bukan tanpa perjalanan panjang. Saat Pak Said mengisi bak yang biasa kami pakai mandi di rumahnya, saya bertanya bagaimana cara pendistribusian air ke rumah-rumah warga di sini. 

Katanya, belum genap setahun, distribusi air dari sumur bor ke rumah warga dipermudah dengan selang air panjang, per drum besar dihargai sekitar 10 ribu. 

“Sebenarnya itu sumur bukan buat warga, tapi buat masjid. Karena airnya banyak jadi juga dimanfaatkan warga dengan bayaran tertentu karena sumur tersebut milik yayasan.” 

Sebelum ada sumur bor, Mekko sering kesulitan mengakses air bersih. Air hanya didapat dari sumur galian yang tidak seberapa dalam. Kalau pagi ada air, menjelang siang, air sudah mengering karena warga sudah mengantri semenjak subuh untuk mendapatkan air. Sekarang Mekko tidak lagi kesulitan air. Bagi warga yang mampu bisa membayar dan mengalirkan air ke rumah, tanpa harus keluar tenaga untuk menimba secara manual. Namun, bagi yang belum ada uang, terpaksa harus menimba secara manual.

Mekko selalu dijanjikan untuk berubah, seperti ketersediaan akses air bersih—selain dari sumur bor yayasan—, listrik, jalanan yang bagus, tapi realisasinya sampai saat ini masih nol besar. 

“Setelah Mekko dikenal dengan potensi wisata, pemerintah sudah mulai masuk ke sini. Setiap masuk mereka selalu tanya apa kebutuhan warga,” ujar Pak Said.

“Warga tuh sampai muak kalau ada acara kumpul-kumpul oleh pemerintah, semuanya janji saja,” keluhnya. 

Pemuda Mekko sedang melaut/Arah Singgah

Mekko yang sudah berada di ujung pulau, dibuat terisolasi oleh keadaan yang memaksa mereka menjadi lebih terbelakang. Belum lagi masalah SDM yang belum mampu memenuhi semua lini. Orang-orang Mekko seringkali putus sekolah di tengah jalan, karena harus membantu orang tua melaut. Orang-orang Mekko tetap berjuang di tengah keterbatasan mereka, meski dalam keadaan yang sukar, meski sekedar mengisi perut untuk melanjutkan hidup keesokan hari. Hidup tidak ramah pada orang-orang Mekko.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar