Sore hari, di atas kendaraan roda dua kami, saya dan seorang teman menyusuri sepanjang Jalan Bawakaraeng menuju salah satu tempat penuh sejarah yang cukup nyaman untuk menghabiskan sisa hari sebelum gelap. Sekitar pukul setengah lima, kami tiba di pekarangan Benteng Fort Rotterdam yang terletak di Jalan Ujung Pandang, Kota Makassar. Seorang dengan peluit merah bergantung di lehernya, mengarahkan motor kami ke samping kiri, tempat beberapa motor lain berjejeran.
“Parkirnya dibayar dimuka, di,” ucapnya.
Kami membayar Rp5.000 dan pemuda itu segera menjauh setelahnya.
Benteng ini terlihat megah dengan pagar dari bebatuan kokoh berwarna gelap setinggi 5 meter dengan tebal sekitar 2 meter. Sebelum memasuki gerbang benteng dari kayu tebal dengan beberapa aksen besi hitam, terdapat sebuah pos penjagaan di sebelah kiri. Di sini kami menuliskan nama dan instansi maupun asal pengunjung, tanpa harus membayar biaya masuk. Itu merupakan kali pertama saya melewati sebuah gerbang yang begitu besar dan megah. Bahkan dari tampilan gerbangnya saja, bangunan megah pada zamannya ini telah menunjukkan betapa ia menjadi saksi banyak peristiwa sejarah kerajaan Gowa–Tallo.
Tidak banyak yang berubah dari benteng ini sejak terakhir kali saya menginjakkan kaki di sini, mungkin sekitar dua tahun lalu, kecuali sebuah papan informasi elektronik berbentung persegi panjang yang ditanam tepat di sudut area lapangan yang luas, persis setelah memasuki gerbang benteng. Begitu memasuki area benteng, saya dan seorang teman memutuskan untuk berjalan ke arah belakang, hendak mencari lokasi foto yang instagenik. Sebenarnya kami hendak masuk ke Museum I La Galigo, tetapi sayang kami datang melewati jam operasionalnya. Akhirnya, sore itu kami memutuskan menghabiskan sisa jam untuk mengelilingi sekitaran benteng ini, mulai dari menaiki dinding benteng di bagian belakang.
Benteng Rotterdam yang Tampak Kokoh Menyaksikan Makassar yang Semakin Sesak
Benteng Fort Rotterdam didirikan pada abad ke-16, tepatnya pada 1545 oleh raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Kemegahan benteng yang masih kokoh hingga hari ini, mencerminkan dominasi pihak di daerah Makassar di masa lalu, dari waktu ke waktu. Ketika awal dibangun, benteng ini berbentuk persegi empat khas arsitektur Portugis dengan bahan utama campuran batu dan tanah liat yang dibakar hingga kering.
Seiring berlalunya waktu, arsitektur benteng ini juga mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terlihat seperti penambahan dinding tembok batu padas hitam, batu karang, batu bata, dengan kapur dan pasir sebagai perekatnya oleh Sultan Gowa XIV, I Mangerangi Daeng Manrabbia atau Sultan Alauddin pada 1634 dan penambahan tembok kedua di dekat gerbang pada 1635.
Benteng Ujung Pandang, nama terdahulu benteng ini, sempat hancur pada 1667 sebagai saksi perang antara kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin dan Gubernur Jendral Speelman. Peristiwa penandatanganan Perjanjian Bongaya, dan perubahan dominasi di daerah ini ditandai dengan dibangun kembalinya benteng yang hancur ini oleh Belanda, kemudian dinamai Benteng Fort Rotterdam, merujuk pada kota tempat kelahiran Speelman di negara Belanda.
Tak hanya arsitekturnya, benteng ini juga beralih fungsi dari waktu ke waktu. Pada pendudukan Belanda sampai 1942, berfungsi sebagai markas komando pertahanan, kantor pusat perdagangan, serta tempat tinggal pejabat Belanda. Berganti ke pendudukan Jepang dari 1942-1945, berfungsi sebagai pusat penelitian pertanian dan bahasa. Berpindah ke tahun 1950, benteng ini kemudian dijadikan tempat tinggal bagi aparat TNI dan warga sipil, lalu berganti ke tangan Belanda dan dialihfungsikan sebagai Pusat Pertahanan Tentara, hingga KNIL dibubarkan secara resmi dan benteng ini juga sempat dikosongkan, lalu beralih fungsi sebagai Balai Pelestarian Cagar Budaya di tahun 1977.
Sejarah yang panjang dari pergantian nama, dominasi kekuasaan, hingga peralihan fungsinya yang terjadi berkali-kali, menjadikan benteng kokoh dengan pagar batu menjulang tinggi, kompleks bagunan beratap tinggi dengan dominasi warna krem dan merah ini menjadi salah satu saksi bisu sejarah yang terjadi di Kota Makassar dan sekitarnya.
Benteng Rotterdam sebagai Wadah Ekspresi Pemuda Makassar
Kini, masyarakat dapat berkunjung ke Fort Rotterdam. Sebagai ruang terbuka, benteng ini kerap menjadi tujuan wisata keluarga, wisatawan, dan berbagai kalangan masyarakat. Saat mengunjungi benteng ini di sore hari, saya mendapati cukup banyak pengunjung keluarga dengan anak-anak mereka yang berlarian bebas. Benteng ini menjadi lokasi yang cukup ramah bagi anak-anak dengan lapangan luasnya yang hijau, tangga-tangga yang landai, juga besi-besi pengaman yang terpasang meskipun tidak di seluruh titik-titik benteng.
Hari ini, Benteng Fort Rotterdam tidak hanya menjadi tujuan wisata sejarah, ataupun tempat liburan murah dalam kota bagi warganya yang kian padat. Benteng Fort Rotterdam beberapa kali digunakan sebagai lokasi festival maupun pameran pemuda Kota Makassar. Saya beberapa kali mengunjungi benteng ini dalam kondisinya yang padat pengunjung, seperti festival kreatif sekitar akhir bulan Juni tahun ini, festival komunitas beberapa tahun yang lalu, atau Makassar Jazz Festival di tahun-tahun sebelum pandemi. Kemeriahan di tengah padatnya orang-orang, suara musik yang diputar keras-keras, juga lampu sorot aneka warna yang bergerak meriah begitu kontras dengan aura benteng yang dingin dan kokoh ini.
Tapi hari ini, saya cukup senang menikmati panorama Benteng Fort Rotterdam saat sore, melihat bagaimana langit berubah perlahan, dari terang kuning, redup lembayung, hingga berubah gelap dari atas tembok batu benteng setinggi lima meter. Setelah puas mengelilingi benteng ini, kami pun beristirahat dengan duduk di pinggiran lapangan rumput tidak jauh dari pos pengamanan. Beberapa menit sebelum pukul enam sore tepat, beberapa petugas pengamanan menghampiri pengunjung satu per satu, menginformasikan bahwa benteng ini akan segera tutup. Kami juga diberitahu sore itu, sehingga kami pun segera bergerak meninggalkan kompleks benteng ini.
Suara pengeras masjid mengumandangkan azan Magrib saat kami hendak mengeluarkan motor kami dari area parkir. Tukang parkir yang kami temui saat hendak memasuki benteng sudah tidak kami temui saat itu, pantas saja karcis parkir dibayar sebelum memasuki benteng tadi. Selain lampu-lampu jalan yang menyala, langit yang mulai gelap dan suasana kendaraan yang semakin padat, saya juga mendapati gerobak-gerobak dengan berbagai jajanan semakin ramai terparkir di pinggir-pinggir jalan di luar benteng ini.
Dengan satu tarikan gas, motor kami mulai melaju santai di Jalan Ujung Pandang sebelum berbelok di Jalan Jend. M. Jusuf, dan berhenti sebentar di Masjid Raya Makassar sebelum melanjutkan perjalanan menyisiri jalan-jalan ramai Makassar menuju rumah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.