Pilihan EditorTravelog

Merentangkan Tangan dalam Sekotak Makan Siang

“Melihat perjuangan para pasien dan pendampingnya, mengingatkanku pada mendiang orang tua dan sahabatku. Ini adalah salah satu upayaku, merawat kenangan untuk mereka.”

— Diena Utomo.

Senin, 27 Mei 2024, pukul 11.00. Panas siang itu. Kemarau mulai masuk di Yogyakarta. Saya berdiri di samping meja satpam Gedung Instalasi Kanker Terpadu Tulip Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sardjito. Ramainya melebihi sebelumnya musabab libur panjang akhir pekan lalu. Seorang teman, Diena, sudah terlebih dahulu datang. Ia menunggu teman lainnya dan sebuah sedan hitam yang dikendarai Pak Jono datang. Mobil sedan itu membawa hasil pengumpulan donasi uang, yang kemudian diwujudkan berupa kotak nasi. Wujud donasi ini akan dibagikan gratis kepada para pendamping pasien untuk makan siang.

Diena menceritakan kepada saya ihwal awal kegiatan yang digagasnya. Ia berkeluh kesah betapa sulitnya mencari dan mendapatkan makan, ketika harus menunggu ayah dan ibunya yang kala itu dirawat di rumah sakit. Bahan kerap tak makan karena tak sedetik pun ia bisa meninggalkan ayah dan ibunya. Pun pengalamannya merawat seorang sahabat yang juga tergeletak di tempat tidur rumah sakit. Diena juga mendengarkan keluh kesah seorang teman lain, Eva, yang juga kesulitan mencari makan. Bayi yang baru saja dilahirkan mengalami gangguan kesehatan dan harus dirawat di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU), sementara Eva harus rutin memberikan ASI.

Ceritanya berlanjut. Upayanya merawat kenangan mendampingi orangtua dan sahabatnya—yang telah tiada— dengan mengajak teman lainnya, Nindya dan Sari, untuk turut serta. Mereka memilih Sardjito karena merupakan rumah sakit pusat yang menjadi rujukan daerah lain. Di RSUP Sardjito, mereka kemudian mendatangi bangunan masjid yang dirasa sesuai sebagai lokasi pembagian makan siang gratis. Namun, yang terjadi di lapangan berbeda. Selain jumlah kotak makan siang tidak sebanding dengan jumlah orang yang berada di masjid, yang kemudian menjadikan keadaannya tidak kondusif, pemilihan masjid sebagai titik pembagian donasi juga kurang tepat sasaran. Mereka merasa, para pendamping yang berada di masjid masih bisa meninggalkan kerabatnya yang dirawat di rumah sakit tersebut. Bukan berarti salah, melainkan mereka merasa ada yang lebih membutuhkan.

Mereka memutar otak lagi. Kembali berkeliling, memilah dan memilih pendamping pasien dari gedung mana yang dirasa benar-benar kesulitan mendapatkan makan. Letaknya jauh, sementara pasien atau antrean obat tidak bisa ditinggal.

Dan di sinilah, Gedung Instalasi Kanker Terpadu Tulip, saya dan Diena berdiri. Beruntun datang Nindya, Ian, Nanto dan Venty, lalu diakhiri Sari dengan membawa tiga boks air kemasan. Tak lama tampak sedan hitam yang dikendarai Pak Jono datang. Dari 30 Oktober 2023 sampai sekarang, kegiatan pada tiap Senin di Sardjito itu disebut dengan Peduli Caregiver. Sementara saya baru bergabung pada 4 Maret 2024. 

Kekuatan yang Tumbuh dari Keberanian

“Hari ini 400 kotak nasi, Mbak,” ucap Pak Jono ramah. Jumlah yang tak kalah banyak dengan pasien yang, menurut penuturan Mbak Yuli, satpam Instalasi Tulip, mencapai seribu orang dan biasanya datang bersama dua sampai tiga pendamping.

Dari meja satpam, kami membawa sebagian kotak nasi menuju boks kaca yang sudah disediakan di area ruang tunggu lantai 1 Gedung Tulip. Lalu kami memasukkan kotak-kotak nasi ke dalamnya. Melihat kami menyusun kotak nasi, orang-orang menyambut dengan berduyun menghampiri. Menanggapi keramaian, Nanto sigap mengatur orang-orang untuk mengantre dua baris ke belakang agar kerumunan tidak mengganggu lalu lintas. Ada yang menurut, tapi ada pula yang berusaha menerobos antrean.

“Jangan dorong-dorongan, ya, Bapak-Ibu. Kasihan yang di depan,” seru Nanto lantang mengingatkan.

Lepas antrean terurai habis, kami beranjak membawa sebagian kotak nasi dari lantai 1 menuju lantai 7. Berbeda dari sebelumnya, di lantai 7 kami berjalan menghampiri para pendamping yang sedang duduk menunggu untuk memberikan secara langsung kotak nasi.

“Kebetulan sekali saya lapar,” ucap seorang bapak dengan wajah semringah. Ia sedang mendampingi anaknya menjalani kemoterapi.

Kegiatan ini memerlukan keberanian. Saya membutuhkan waktu berpikir yang lama untuk berani bergabung. Mengikuti kegiatan yang disebut dengan #SenindiSardjito ini melalui akun media sosial Diena dengan diam, saya berusaha menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas di kepala. Apakah saya punya waktu? Apakah saya bisa konsisten untuk hadir di tiap pekan? Dan apakah saya berani?

Saya kemudian menyadari, tidak ada waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kecuali hari ini. Maka di suatu malam saya mengirim pesan singkat kepada Diena, memberi tahu bahwa saya ingin ikut ambil bagian. Syahdan, kalimat sederhana yang terlontar dari seorang bapak tadi, juga kalimat lain yang kerap saya dan teman lainnya dengar, menjadi kekuatan untuk terus berusaha agar kegiatan ini tetap berlangsung di tiap Senin.

Selesai di lantai yang khusus melayani kemoterapi anak, kami beranjak turun melalui tangga, menyisir tiap lantai, membagi-bagi secara langsung kotak nasi sampai habis. Tidak berhenti di situ. Di siang yang masih saja panas, dari ujung belakang kompleks RSUP Sardjito, kami melanjutkan kegiatan dengan berjalan kaki menuju Gedung NICU dan ICU yang berada di area depan.

Setiap makanan dan minuman yang hendak dibagikan harus melalui pengecekan dan perizinan dari Instalasi Gizi RSUP Sardjito/Peduli Caregiver

Donasi sesuai Kebutuhan agar Tepat Sasaran

Banyak pertanyaan yang kerap datang kepada kami perihal sumber dana. Melalui tulisan ini saya menjelaskan bahwa Peduli Caregiver adalah murni kegiatan kemanusiaan. Di tiap pekan, akun Instagram Peduli Caregiver membuka donasi berupa uang, buah, dan air mineral. Tim Peduli Caregiver juga menyambut teman-teman yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk ambil bagian dalam kegiatan ini di setiap Senin siang di RSUP Sardjito.

Target Peduli Caregiver memang hanya untuk para pendamping pasien sesuai dengan izin yang didapatkan dari Instalasi Gizi RSUP Sardjito. Sebab biasanya para pasien memiliki pantangan makanan khusus perihal penyakitnya. Namun, jika di lapangan ada pasien yang meminta kotak nasi, tim harus memastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada pantangan makanan apa pun. Tim Peduli Caregiver juga selalu menyetorkan dua kotak makanan yang dibagikan tiap minggu ke Instalasi Gizi sebagai pertanggungjawaban atas izin yang telah diperoleh.

Bagi saya, kegiatan ini menghadirkan kekuatan tersendiri. Saya bisa berdiri kuat di antara kesedihan yang melanda bapak yang mendampingi kemoterapi anaknya. Dan orang lainnya yang bernasib sama, yang duduk di tangga karena tidak kebagian tempat duduk di ruang tunggu hingga tertidur. Pun ibu yang menunggu dengan harap cemas anaknya yang baru saja dilahirkan untuk bisa ia bawa pulang.

Saya dan teman-teman melihat harapan. Kebahagiaan hadir dari kotak-kotak makan siang yang dibagikan. 

Semoga kegiatan baik ini berumur panjang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

lucia widi

Mengalir sampai jauh. Terbang hingga menghilang.

Mengalir sampai jauh. Terbang hingga menghilang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *