Dari uraian silsilah Ki Ageng Tarub, kita jadi mengetahui bahwa secara genealogis, Ki Ageng Tarub bukanlah keturunan orang sembarangan. Ayahnya, Syekh Maulana Maghribi, adalah seorang waliyullah, cucu Syekh Jumadil Kubro—seorang mubalig yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1300 M. Sedang ibunya, baik yang versi Dewi Rasa Wulan maupun Dewi Retna Dumilah, merupakan bangsawan dari Kadipaten Tuban.

Menurut sejumlah sumber, setelah menikah dengan Dewi Nawangwulan, Jaka Tarub mendapat gelar Ki Ageng Tarub dan meneruskan perjuangan ayahnya, Syekh Maulana Maghribi, dalam pengembangan dakwah dan syiar Islam. Maka tidak aneh bila di kemudian hari, Ki Ageng Tarub juga populer sebagai seorang aulia, yang makamnya selalu dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah sampai sekarang. Saat ini, makam Ki Ageng Tarub yang berada di Desa Tarub, Tawangharjo, menjadi salah satu destinasi wisata religi favorit di Kabupaten Grobogan.

Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)
Buku karya Damar Shashangka yang juga mengupas cerita lebih logis tentang Jaka Tarub dan “tujuh bidadari”/Penerbit Dolphin

Jaka Tarub Tidak Menikah dengan Bidadari

Dari rangkaian ulasan tentang sosok Ki Ageng Tarub, tentu kisah pernikahannya dengan seorang bidadari masih menyisakan pertanyaan yang mengganjal. Sayangnya, sulit mendapatkan sumber data yang valid untuk memverifikasi kisah tersebut, mengingat transmisi kisah ini memang dituturkan dari mulut ke mulut. 

Sejauh ini belum ada data sahih, apalagi tertulis yang bisa dirujuk, kecuali kisah yang dituturkan oleh Damar Shashangka lewat novel sejarahnya yang lain. Dalam Sabda Palon: Tonggak Bumi Jawa (2015), Damar Shashangka mengisahkan Jaka Tarub dan tujuh bidadari yang sebenarnya. Menurut sejarawan muda asal Malang ini, Dewi Nawangwulan adalah seorang perempuan berdarah Jawa-Sunda. Ia manusia biasa, bukan bidadari, tetapi memiliki paras yang cantik bak bidadari.       

Dikisahkan, suatu ketika ada tujuh gadis berparas cantik dari Parahyangan—bukan kahyangan—yang datang ke Tarub. Mereka diantar oleh beberapa laki-laki. Mereka bertujuh adalah putri dari tiga brahmana yang tinggal di Parahyangan, yaitu Danghyang Ragasuci, Danghyang Langlang Wisesa, dan Danghyang Wulungan. 

Rara Purwaci dan Rara Asri adalah putri Danghyang Ragasuci. Rara Kencana dan Rara Manik adalah putri Danghyang Langlang Wisesa. Rara Cinde, Rarasati, dan Rara Sindhang adalah putri Danghyang Wulungan.

Mereka menuju ke Tarub dengan menempuh jalur laut, bertolak dari Pelabuhan Kelapa (Jakarta sekarang) menuju ke Pelabuhan Simongan (Semarang saat ini). Dari Simongan mereka berjalan kaki menuju ke Tarub. Sesampainya di Tarub mereka tidak masuk ke Pedukuhan Tarub, melainkan memilih berdiam di hutan yang terkenal angker di sebelah selatan pedukuhan.

Kedatangan mereka diendus oleh penduduk Tarub. Orang-orang mulai kasak-kusuk membicarakan adanya para wanita di tengah hutan, yang mereka katakan sebagai bidadari karena paras cantik dan tubuh yang sempurna. Didesak oleh rasa penasaran, Jaka Tarub memberanikan diri masuk ke hutan. Ia menemukan mereka sedang mandi di sendang.

Jaka Tarub awalnya juga mengira mereka para bidadari. Namun, setelah mengamati dengan saksama, barulah ia menyadari mereka adalah manusia biasa. Setelah bertemu, Jaka Tarub memperkenalkan diri dengan nama Kidang Telangkas, putra dari janda Akuwu Tarub (Nyi Ageng Kasihan). Mendengar itu, mereka terlihat sangat gembira.    

Para wanita kemudian memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kedatangan mereka ke Tarub. Mereka mengaku kedatangan ke Tarub atas perintah bapak-bapak mereka yang mendapatkan petunjuk, bahwa salah satu di antaranya kelak akan menjadi tanah subur bagi tumbuhnya benih penguasa Jawa. Mereka diperintah melakukan perjalanan ke Tarub, yang disebut sebagai tempat amajang wulan tinaruban (di bawah cahaya bulan dan dinaungi tarub).

Sesuai petunjuk, ketika tiba di Tarub mereka tidak diperbolehkan masuk ke pedukuhan, tetapi harus menunggu di tengah hutan. Mereka akan didatangi oleh seseorang yang akan memilih salah satu dari mereka untuk diperistri. Orang yang akan datang itu segesit kidang (kijang). Dan orang yang dimaksud itu adalah Kidang Telangkas yang kini sudah ada di hadapan mereka.

Setelah memahami maksud kedatangan para wanita tersebut, meski merasa aneh, Jaka Tarub alias Kidang Telangkas memilih salah satu di antara mereka. Jaka Tarub memilih Rara Purwaci. Setelah Jaka Tarub menjatuhkan pilihan, pada hari itu juga rombongan dari Parahyangan pamit.

  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)
  • Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)

Nawangwulan Meninggalkan Jaka Tarub

Penduduk Tarub pun gempar setelah mengetahui Jaka Tarub membawa pulang seorang wanita cantik dari hutan belantara. Jaka Tarub menyembunyikan jati diri Rara Purwaci, dengan alasan dia merupakan putri seorang brahmana, sehingga dalam dirinya juga memiliki warna brahmana.

Dalam aturan Dharmasastra—salah satu susastra Hindu yang berkaitan dengan agama, kewajiban, dan hukum—pernikahan antara putri seorang brahmana dengan seorang kesatria yang lebih dekat dengan kehidupan sudra akan menemui banyak kerumitan.

Alasan itu yang membuat Jaka Tarub memutuskan untuk menyembunyikan jati diri Rara Purwaci. Jaka Tarub meminta Rara Purwaci untuk tidak membuka jati dirinya sebagai putri seorang brahmana. Bahkan Jaka Tarub sendiri bersumpah, bila ia sendiri yang justru melanggar hal itu, disengaja atau tidak, maka Rara Purwaci boleh meninggalkannya.

Jaka Tarub kemudian memberi nama baru untuk Rara Purwaci: Nawangwulan. Nawang berarti menatap, wulan berarti rembulan; karena kecantikan Rara Purwaci serupa rembulan yang sangat berkesan ketika dipandang.

Jati diri Rara Purwaci yang disembunyikan dan ketidakjelasan asal usulnya, menjadikan penduduk Tarub meyakini bahwa Rara Purwaci yang sudah beralih nama menjadi Nawangwulan itu benar-benar seorang bidadari. Demikianlah, akhirnya Jaka Tarub hidup dengan penuh cinta dan kasih dengan Rara Purwaci hingga melahirkan seorang putri jelita yang diberi nama Nawangsih.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat berlangsung panen raya di Pakuwon Tarub, tatkala ritual pemujaan Bhatara Shri siap dilaksanakan, pandhita satu-satunya di Pakuwon Tarub mendadak meninggal dunia. Padahal menurut kepercayaan masyarakat Tarub ketika itu, ritual tersebut tidak boleh ditunda karena bisa menimbulkan malapetaka berkepanjangan.

Di tengah kebingungan mencari pandhita pengganti, Jaka Tarub tanpa sadar mengatakan bahwa Nawangwulan bisa mengisi posisi pandhita untuk memimpin ritual pemujaan terhadap Bhatara Shri, karena ia adalah putri seorang brahmana. Setelah mengatakan itu, Jaka Tarub baru menyadari bahwa ia telah melanggar sumpahnya sendiri.

Saat itulah Nawangwulan marah. Meski akhirnya Nawangwulan bersedia memimpin ritual pemujaan kepada Bhatari Shri, tetapi setelahnya ia memilih pergi dari Tarub, sesuai dengan sumpah yang telah diucapkan Jaka Tarub dahulu.. 

Jaka Tarub sangat sedih dengan kenyataan getir yang dihadapinya. Namun, ia hanya bisa pasrah. Nyatanya, Nawangwulan atau Rara Purwaci memang putri seorang brahmana dan tugasnya telah berakhir, setelah dari pernikahan dengannya melahirkan Nawangsih. Kelak, Nawangsih dinikahkan dengan Raden Bondan Kejawan—putra Prabu Brawijaya V—yang disebut-sebut sebagai lalajÄ›r bhumi Jawa, yang akan melahirkan penguasa Jawa sesudah kehancuran Majapahit. Dan ramalan itu pada akhirnya terbukti. 

Rangkaian kisah tersebut, yang saya rangkum dari novel sejarah karya Damar Shashangka, tetapi hemat saya kesahihan ceritanya masih perlu diverifikasi. Terutama terkait sumber yang dirujuk. Agar alur kisah Jaka Tarub atau Ki Ageng Tarub versinya—yang memang terasa lebih rasional dan logis itu—bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Wallahu a’lam.


Referensi

Oetomo, T. Wedy. (1983). Ki Ageng Selo Menangkap Petir. Surakarta: Yayasan Parikesit.
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647 (edisi hard cover). Yogyakarta: Narasi.
Purwadi dan Kazunori Toyoda. (2005). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Santoso, Teguh. (2016). Cerita Rakyat Grobogan. Yogyakarta: Histokultura.
Shashangka, Damar. (2011). Sabda Palon: Kisah Nusantara yang Disembunyikan. Jakarta: Dolphin.
Shashangka, Damar. (2015). Sabda Palon: Tonggak Bumi Jawa. Banten: Dolphin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar