Widhi Bek naik gunung untuk melihat langit, membidiknya melalui lensa, kemudian memencet rana untuk mengabadikannya dalam bingkai-bingkai foto. Lewat buku foto “Merbabu, Pendakian Bertabur Bintang,” fotografer Landscapeindonesia.com ini mengajak kamu menengadah ke atas untuk bersama-sama mengagumi keelokan gemintang yang bertaburan di angkasa raya tanpa batas. Sesuai judulnya, cerita yang diangkat adalah pendakian Gunung Merbabu (3142 mdpl) yang dilakukan sang penulis beberapa tahun lalu, tepatnya pertengahan tahun 2015, bersama kawan-kawannya.
Dijuluki Gunung Seribu Jalur, Merbabu memang punya banyak rute pendakian. Sebagian—seperti Selo, Wekas, dan Kopeng—mungkin sudah sangat populer di kalangan pendaki namun masih banyak lagi yang belum terekspos. Widhi Bek dkk. memilih untuk ke Puncak Merbabu via salah satu jalur gurem yang saat itu masih belum terlalu tenar di telinga para avonturir, yakni Suwanting.
Selain waktu tempuh yang tak jauh berbeda dari jalur-jalur lain (7-8 jam), daya tarik Suwanting sebenarnya sama saja dengan Selo, Wekas, dan Kopeng: padang sabana. Dengan kawasan puncak yang dikelilingi padang rumput, lewat jalur mana pun mendaki Merbabu kamu tetap akan bisa menikmati keindahan sabana.
Namun sabana di Suwanting katanya adalah yang paling fotogenik. Widhi Bek bahkan berani menyamakannya dengan padang rumput di tanah seberang: “Padang sabana yang kering dengan rumputnya yang melambai-lambai tertiup angin seakan membawa imajinasi melayang ke tanah seberang” (hal. 47).
Memandang Merbabu dari sudut yang berbeda
Mengangkat kisah pendakian Merbabu ke dalam buku sebenarnya agak berisiko walaupun yang diceritakan adalah pendakian lewat jalur yang relatif jarang didaki seperti Suwanting.
Jika tidak jeli memilih sudut, ceritanya akan terasa membosankan dan terkesan repetitif karena mengulang-ulang kisah yang sudah pernah diceritakan oleh jutaan orang, sebab Merbabu yang dari atas tampak seperti mangkuk terbalik ini adalah salah satu gunung yang populer di kalangan para petualang sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Widhi Bek menjadikan potret-potret bintang sebagai daya tarik utama buku foto ini. Mulai halaman 25, siap-siap menganga melihat foto-foto bimasakti yang mengambang di kubah langit.
Di gunung, daripada tiduran di tenda Widhi Bek memang lebih senang begadang untuk mengabadikan taburan bintang di angkasa. Di saat kawan-kawannya tidur, ia bertahan di luar ditemani api unggun sambil menyetel kameranya untuk menangkap gugusan bintang, sebab “Langit juga masih cerah bertaburan bintang sehingga akhirnya saya kembali begadang mengabadikan langit malam hingga sekitar pukul 4 pagi” (hal. 83).
Melalui buku foto ini kamu akan tahu bahwa memotret bimasakti bukanlah aktivitas yang bisa dilakukan oleh semua orang. Butuh kesabaran untuk menyetel kamera, mencari komposisi yang paling artistik, menemukan titik yang pas untuk menangkap gambar, lalu mencoba berkali-kali sampai mendapatkan gambar yang memuaskan hati. Tapi tidak usah khawatir, kalau kamu memang ingin mencobanya sendiri, penulisnya juga memberikan beberapa tips dan trik untuk menangkap foto milky way.
Buku foto Widhi Bek ini juga mengajarkan kita betapa berharganya sebuah dokumentasi perjalanan, baik berupa tulisan, gambar, atau video; dokumentasi baru akan terasa berharga bertahun-tahun setelah perjalanan itu dilakukan.
Karena pendakian ini dilakukan saat Jalur Suwanting baru dibuka kembali setelah lama ditutup, melalui buku ini kita yang tidak merasakan “masa-masa sulit” ketika Jalur Suwanting belum populer bisa dapat gambaran betapa susahnya akses transportasi dari Yogyakarta ke base camp di masa itu. Pada pendakian 2015 itu mereka masih mengandalkan kemurahan hati dari orang-orang Base Camp Suwanting untuk menjemput di Kota Gudeg. Barangkali keadaan sekarang sudah sedikit berbeda sebab jalur ini sudah semakin dikenal sehingga akses transportasi sudah tak lagi sebangke dahulu.
Buku ini menawarkan alternatif lain cara mendaki gunung. Di saat orang-orang berlomba-lomba menaklukkan 7 puncak tertinggi di Indonesia atau Seven Summits dunia, Widhi Bek malah berjalan lebih lambat di Gunung Merbabu dan menghitung langkah demi langkah yang ditempuhnya. Tidak ada ketergesa-gesaan.
“Beyond” buku panduan perjalanan
Buku foto seperti ini masih jarang di Indonesia. Kebanyakan buku tentang gunung lebih mirip buku panduan daripada narasi perjalanan. Jadilah buku-buku tersebut cuma sekali-sekali saja dibaca ketika akan menuju sebuah gunung tertentu.
“Merbabu, Pendakian Bertabur Bintang” ini tidak akan membosankan walaupun dibaca berulang-ulang. Jika sudah “khatam” membaca narasi perjalanannya, kamu bisa menikmati foto-fotonya dan menemukan keindahan-keindahan baru yang barangkali sebelumnya luput dari pengamatan kamu—buku-foto ini bisa menjadi semacam coffee-table book yang bisa dibaca di kala bosan. Tapi kalau kamu pembaca serius yang biasa berkutat dengan manuskrip tebal, buku ini akan terasa terlalu cepat habis sebab hanya terdiri dari 108 halaman.
Barangkali tulisan ini bisa diakhiri dengan mengutip endorsement TelusuRI di sampul belakang: “Penuh dengan foto-foto indah dan cerita-cerita menyentuh, buku foto ini recommended untuk kamu yang ingin memulai karir sebagai fotografer atau penulis perjalanan. Membuka lembaran demi lembaran buku ini ibarat menerima pelajaran demi pelajaran soal pendokumentasian perjalanan.”
Sebelumnya dimuat di www.travellerkaskus.com.